(Minghui.org) Sepasang praktisi Falun Gong dianiaya secara brutal di kantor polisi setelah penangkapan mereka pada tanggal 25 Agustus 2017. Sang istri, Zhang Jingqiong berhasil melarikan diri dan menceritakan kejadian ini kepada koresponden Minghui. Suaminya, Weng Zuguo, masih ditahan. Belum diketahui apa yang menyebabkan penangkapan mereka.

Menurut Zhang, beberapa polisi menerobos masuk ke dalam restoran kecil mereka pada 25 Agustus 2017. Mereka menyuruh pasangan ini tiarap, memborgol, mendorong, dan menyeret mereka ke dalam mobil patroli di depan kerumunan orang.

Polisi juga menggeledah rumah mereka dan menyita materi-materi Falun Gong, termasuk buku-buku, selebaran, dan sebuah foto pencipta Falun Gong. Polisi juga mengambil kunci dan banyak barang pribadi lainnya. Setelah polisi pergi, anggota keluarga pasangan ini segera mengganti kunci rumah mereka.

Pasangan ini ditahan di Kantor Polisi Xindi di sebuah ruangan tanpa jendela atau pendingin ruangan. Saat itu pertengahan musim panas, tubuh pasangan ini bersimbah keringat. Ketika Weng ingin meminta air, polisi malah mengabaikan permintaan Weng dan mengancam akan menganiaya mereka sampai mati.

Selain memukul mereka berdua dengan brutal, polisi juga mengikat mereka pada kursi harimau selama dua jam dan menyeret mereka di tanah dengan borgol mereka. Ketika pasangan ini mencoba membujuk mereka agar menghentikan penyiksaan ini, polisi malah memaki mereka dan terus menerus mengancam akan menganiaya mereka hingga meninggal.


Kening dan lengan Zhang terluka

Saat Zhang melarikan diri dari kantor polisi, baik kepala, lengan, kaki maupun punggungnya mengalami luka yang parah. Selain itu ia mengalami pendarahan dalam dan sangat kesakitan.

Karena berlatih Falun Gong, Zhang pernah menjalani hukuman penjara selama empat kali antara tahun 1999 dan 2004. Ovariumnya pecah akibat penganiayaan brutal saat ia berada di Kamp Kerja Paksa di Shayang tahun 2004.

Laporan sebelumnya dalam bahasa Inggris:

Ms. Zhang Jingqiong Suffers a Ruptured Ovary as a Result of a Brutal Beating by an Inmate at Shayang Forced Labor Camp