Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Kisah Xiulian Buddha Milarepa (2)

26 Juni 2018 |   Oleh Editorial Minghui

(Minghui.org) Pegunungan Himalaya sepanjang sejarah selalu menjadi tempat tinggal bagi banyak orang Xiulian, orang-orang menjalani hidup dengan sederhana, setiap orang pandai menyanyi dan menari, selain ini semua -- adalah menganut Fa Buddha. Pada saat itu ada seorang praktisi Xiulian bernama Milarepa. Semua status Buddha dan Bodhisattva adalah buah hasil kultivasi dari banyak kehidupan dan kalpa, tetapi Milarepa sebaliknya telah berhasil mencapai GongDe yang sepadan seperti Buddha dan Bodhisattva ini dalam satu generasi dan kehidupan, dan kemudian hari menjadi leluhur pendiri Tantra Tibet aliran Putih.

-------------------------------------------------------------------------

(Menyambung artikel sebelumnya) Milarepa berkata sambil tersenyum: “Baiklah, saya beri tahu kalian saja!”

“Ketika saya berumur tujuh tahun, ayah mengalami sakit parah, dan para dokter tidak berdaya sama sekali, peramal juga mengatakan bahwa penyakit ayah sudah tidak ada harapan. Keluarga dan teman-teman juga tahu bahwa ayah sudah sakit kritis dan sulit disembuhkan, ayah sendiri juga tahu bahwa penyakitnya akan merengut nyawanya, maka memutuskan untuk menangani urusan kami dan ibu serta aset-aset keluarga sebelum meninggal dunia.”

"Ayah saya mengundang paman, bibi, kerabat, dan teman-teman yang jauh maupun dekat, dan para tetangga kami untuk berkumpul di rumah dan membacakan wasiatnya di depan umum.

“Dalam surat wasiat tersebut dengan detail menjelaskan, seluruh aset harus diwariskan kepada putra tertua.”

“Setelah selesai membaca surat wasiat, ayah berkata dengan pelan: {Kali ini penyakit saya sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Umur anak-anak saya masih kecil, hanya bisa merepotkan paman dan bibi serta para teman kerabat untuk mengurusnya. Walaupun saya bukanlah orang yang kaya sekali, namun juga masih memiliki harta keluarga yang cukup banyak. Di peternakan saya, tiga jenis ternak yaitu sapi - domba - kuda semuanya ada; soal ladang utamanya adalah sebidang ladang segitiga ErMa, dalam kandang kuda di lantai bawah, ada sapi, ada domba, ada keledai; di lantai atas ada furnitur, ada barang antik yang terbuat dari emas dan perak; ada permata, juga ada batu giok; ada pakaian dari sutra, juga ada gudang lima jenis biji-bijian. Singkatnya, aset saya sangat berlimpah, dan tidak perlu bergantung kepada orang lain. Ketika saya meninggal, harus menggunakan sejumlah aset saya untuk mengatur pemakaman saya. Seluruh aset yang tersisa, harus meminta kalian semua yang hadir, terutama paman dan bibi, untuk membantu Nyangtsa Kargyen mereka bertiga ibu dan anak menangani semuanya. Tunggu hingga Thopaga tumbuh dewasa, hingga saatnya menikah, tolong nikahkan anak gadis Zessay yang telah mengikat jodoh. Biaya pengeluaran pernikahan harus sesuai dengan kemampuan status kami. Setelah tiba saatnya itu, aset saya harus diurus oleh Thopaga. Hidup mereka bertiga ibu dan anak, tolong paman dan bibi menjaganya dengan baik, tolong semuanya peduli, jangan membuat mereka bertiga ibu dan anak mengalami derita; setelah meninggal, saya juga harus menjaga mereka dari balik peti mati!}”

“Setelah selesai berbicara, dia langsung meninggalkan kami.”

“Setelah kami menguburkan ayah, semua orang berdiskusi, dan sependapat, bahwa semua aset sepenuhnya kembali ke kendali ibu; tetapi paman dan bibi dengan tegas berkata kepada ibu: “Kamu walaupun adalah kerabat dekat, akan tetapi kami masih lebih dekat sedikit dibanding kamu, kami pasti tidak akan membiarkan kalian ibu dan anak menderita, oleh karena itu sesuai surat wasiat semua aset harus dikendalikan oleh kami!” Jiujiu [saudara laki ibu] saya dan ayah Zessay meskipun telah banyak membahas dasar alasan kenapa aset harus dikendalikan oleh ibu, namun mereka sama sekali tidak mau mendengarnya. Sebagai hasilnya aset dari anak laki pulang kembali ke kendali paman, aset anak gadis kembali ke kendali bibi, sedangkan aset yang lain, dibagi setengah-setengah antara paman dan bibi.”

“Mereka juga memberi tahu kami bertiga ibu dan anak: {Mulai sekarang, kami harus merawat kalian dengan baik!} Setelah kata-kata itu selesai diucapkan, aset kami bertiga ibu dan anak, semuanya telah tercerai-berai.”

“Hasilnya, di waktu cuaca panas, paman ingin kami membajak sawah; ketika cuaca sangat dingin, bibi ingin kami menenun wol; yang dimakan adalah makanan anjing; yang dikerjakan adalah pekerjaan Yak; pakaian yang dikenakan luar biasa compang-camping; sabuk yang digunakan adalah hasil sambungan tali rumput satu per satu. Dari pagi hingga malam, sedikit waktu santai pun tidak ada; pekerjaan yang terlalu banyak membuat tangan dan kaki pecah-pecah, darah menetes dari celah-celah kulit ...... pakaian yang dikenakan tidak hangat; makanan yang dimakan tidak mengenyangkan; warna kulit pun berubah menjadi putih keabu-abuan; orang saking kurusnya sampai tersisa satu kerangka tulang dan selapis kulit. Saya ingat di atas ikatan rambut saya ada rantai yang penuh dengan emas dan giok, namun kemudian giok dan hiasan lainnya secara perlahan hilang semua, hanya tersisa sebuah tali hitam keabu-abuan. Pada akhirnya kepala dipenuhi oleh kutu, telur kutu telah bersarang di dalam tumpukan rambut yang kusut! Orang yang melihat kami ibu dan anak, semuanya mencaci maki kekejaman paman dan bibi. Paman dan bibi mukanya tebal seperti kulit sapi, sama sekali tidak ada rasa malu sedikit pun, dan bahkan tidak meletakkan sindiran-sindiran ini ke dalam hati. Oleh karena itu ibu saya memanggil bibi dengan sebutan Dumo Takdren (setan harimau betina), tidak menyebutnya Khyung-Tsha Peydon lagi. Julukan setan harimau betina ini belakangan menjadi populer di mulut penduduk desa. Pada waktu itu, penduduk desa satu per satu mengatakan:”

“Setelah merebut aset orang lain, masih ingin membuat tuan rumah asli menjadi anjing penjaga pintu, ternyata di kolong Langit sungguh ada ketidak-adilan semacam ini!"

"Ketika ayah saya masih hidup, tidak peduli orang itu ada uang ataupun tidak, semuanya datang ke rumah kami untuk menyanjung-nyanjung. Sekarang setelah paman dan bibi memiliki uang, hidup seperti kaum bangsawan, mereka ini semuanya pergi ke tempat paman dan bibi. Bahkan ada banyak orang yang mengkritik ibu saya dengan berkata: "Seperti kata pepatah, pakaian wol kualitas tinggi, hanya bisa dibuat dengan bulu binatang bagus; ketika suami punya uang, istri juga harus cekatan. Perkataan ini sungguh benar sekali! Kamu lihat! Pada awalnya ketika suami dari Nyangtsa Kargyen masih hidup, dia adalah seorang wanita yang murah hati dan suka membantu, sekarang setelah dia tidak memiliki tempat bergantung, langsung menjadi demikian miskin menyedihkan.”

“Ada pepatah di Tibet yang mengatakan: {Manusia sekali terkena bakteri, menyebarkan hal buruk di sepuluh penjuru.} Situasi kami tidak bagus, peruntungan tidak baik, simpati orang-orang terhadap kami, tidak saja tidak bertambah, malah sebaliknya semakin lama semakin berkurang, gosip dan ejekan semakin lama semakin banyak.”

"Karena mengasihani kemalangan saya, ada kalanya, orang tua Zessay memberi saya sedikit pakaian dan sepatu untuk dikenakan, masih dengan sangat hangat menghibur saya: {Thopaga! Anda harus tahu, aset di atas dunia bukanlah terus bertahan tidak berubah, kepemilikan duniawi semuanya seperti embun pagi yang tidak bertahan lama, anda tidak perlu bersedih karena anda tidak punya uang, leluhur anda pada awalnya bukankah juga seorang yang miskin menyedihkan? Di kemudian hari anda juga bisa menghasilkan uang dan menjadi kaya!}”

“Dalam hati -- saya sangat berterima kasih kepada mereka.”

“Ibu saya memiliki sebidang ladang dari mahar pernikahan, yang disebut Trede Tenchung [ombak besi], nama ladang ini walaupun tidak terlalu enak didengar, namun merupakan sebuah lahan yang sangat baik, hasil panen sangat baik. Ladang ini diolah oleh Jiujiu saya yang paling tua, setiap tahun biji-bijian hasil panen disimpan untuk mendapatkan keuntungan lebih, dan selama bertahun-tahun modal dan keuntungan yang telah terkumpul sangat banyak. Masa-masa sulit sehari demi sehari terlewati. Ketika saya berumur lima belas tahun, ibu lalu menjual setengah dari lahan itu, ditambah dengan keuntungan dari biji-bijan, uang tersebut digunakan untuk membeli banyak daging, membeli banyak jelai untuk membuat Zanba [roti Tibet], membeli banyak gandum hitam untuk membuat arak. Aksi ibu yang seperti ini, membuat penduduk desa sangat tercengang, lalu semua orang diam-diam menerka: “Mungkinkah Nyangtsa Kargyen ingin secara resmi mengadakan acara meminta kembali aset keluarga!” Setelah ibu dan Jiujiu mempersiapkan segalanya, di rumah sendiri, di dalam ruang tamu utama dari Rumah Empat Pilar Delapan Balok, bantal tempat duduk yang dipinjam dari mana-mana, disusun satu per satu secara teratur dalam ruang tamu; mengundang paman dan bibi sebagai tamu utama, menyambut para kerabat dan teman, dan para tetangga sekitar, terutama mereka yang hadir saat ayah mengucapkan kata-kata terakhirnya, semuanya telah diundang. Ibu meletakkan daging dan sayuran terbaik di depan tempat duduk paman dan bibi, di depan semua tamu lain juga penuh dengan aneka ragam makanan, di hadapan setiap orang ada semangkuk besar arak, itu sungguh merupakan sebuah perjamuan yang megah!”

“{Para hadirin: Hari ini saya telah menyiapkan sedikit arak encer dan sayuran sederhana untuk mengundang kedatangan anda semua, hanya ingin mengungkapkan sedikit keinginan saya.} Para tamu telah duduk, ibu lalu berdiri dari tempat duduk dan berkata dengan serius di tengah banyak orang:”

“{Hari ini meskipun adalah hari ulang tahun anak saya, namun sebenarnya itu tidak lebih hanyalah sebuah nama belaka, saya ingin mengatakan beberapa kata kepada anda semua: Ketika almarhum suami Mila Gyaltsen meninggal dan meninggalkan surat wasiat, para hadirin yang saya hormati dan paman serta bibi juga hadir, semuanya tahu dengan sangat jelas, sekarang saya ingin mengundang para hadirin yang sedang duduk di sini untuk mendengar sekali lagi isi surat wasiat ini.}”

“Kemudian Jiujiu bangun berdiri, di depan semua orang membaca sekali lagi surat wasiat ayah dengan suara lantang, semua tamu juga tidak terlewat satu kata pun.”

“Ibu segera menyambung:”

“{Sekarang Thopaga sudah menjadi dewasa, sudah cukup umur untuk mengambil istri, menurut surat wasiat ayah dia Mila Gyaltsen, sekarang sudah seharusnya memakai tradisi status kami, menikahi anak gadis Zessay; Thopaga juga seharusnya patuh menanggung tanggung jawab kendali aset keluarga kami. Mengenai surat wasiat yang baru saja dibacakan, hadirin pada saat Mila Gyaltsen di ujung napasnya juga ikut mendengarnya dengan jelas, tidak perlu saya mengulangnya lagi. Hari ini tolong paman dan bibi menjamin menyerahkan aset untuk dikembalikan kepada kami. Beberapa tahun terakhir, atas perhatian dari paman dan bibi serta teman-teman hadirin, kami dari hati sangat berterima kasih!}”

“{Ha! Kalian masih memiliki aset!” Paman dan bibi dengan serentak berteriak: {Aset kalian ada di mana?}”

“Biasanya, paman dan bibi tak peduli urusan apa pun – dalam hal pendapat selalu tidak sama, namun ketika melahap milik orang lain, mereka sebaliknya malah bersatu. Mereka dengan serentak berkata:”

“{Ha! Kalian masih memiliki aset? Aset kalian ada di mana? Ketika Mila Gyaltsen masih muda, telah meminjam banyak ladang, emas, batu giok, kuda, sapi, dan domba! Karena dia telah meninggal, hal-hal ini tentu saja itu harus dikembalikan kepada kami. Aset kalian adalah bintang emas yang gemerlapan di langit, segenggam gandum, sedikit mentega, sehelai pakaian rusak, seekor ternak tua, semuanya juga tidak kelihatan! Huh! Sekarang masih ingin membicarakan kata khayalan semacam ini! Surat wasiat kalian ini -- siapa yang mewakili kalian tulis? Kami merawat kalian ibu dan anak sampai seperti ini sudah sangat cukup! Pepatah ditulis dengan baik, Menggigit Tangan Sang Pemberi -- tepatnya adalah orang-orang macam kalian ini!}”

“Sambil berbicara -- amarah meluap-luap, gigi digigit hingga timbul bunyi gemeretak, dari tempat duduk langsung melompat bangun, lalu membantingkan kaki ke lantai sambil berteriak keras:”

“{Hei! Apakah kalian sudah mengerti atau belum? Rumah ini adalah milik kami. Kalian cepat keluar!}”

“Sambil berkata sambil mengambil cambuk kuda untuk memukul ibu saya, dan menggunakan lengan baju yang lebar untuk menghempaskan saya dan adik perempuan saya Peta. Ibu kesakitan sekali di lantai, dan menangis dengan keras:”

“{Oh Mila Gyaltsen! Apakah kamu sudah melihat kami bertiga ibu dan anak belum? Kamu bilang kamu akan merangkak keluar dari peti mati untuk melihatnya, sekarang kamu sudah melihatnya belum?}”

“Saya dan adik serta ibu meringkuk di satu tempat, tiga orang menangis sejadi-jadinya. Jiujiu yang paling tua melihat banyak orang menyoraki paman, juga hanya dapat terdiam menyimpan amarah. Ada sejumlah orang berkata: {Ah! Mereka ibu dan anak sungguh kasihan!} bahkan karena kemalangan kami -- hati sedih hingga meneteskan air mata, namun juga hanya bisa menghela napas secara diam-diam.”

“Kemarahan paman dan bibi belum selesai terlampiaskan, karena marah telah dipermalukan, lalu mengutuk kami bertiga ibu dan anak:”

“{Hei! Apakah kalian ingin kami mengembalikan aset? Tidak salah, aset adalah milik kalian, tapi memang tidak ingin mengembalikan kepada kalian, kalian ada cara apa untuk mengambilnya kembali? Kami senang sekali menggunakannya untuk minum arak dan mengundang tamu, juga tidak peduli dengan urusan kalian!} Dengan sikap menghina dan kasar -- paman dan bibi menertawai kami: {Jika punya kemampuan boleh cari sejumlah orang untuk ikut melawan, merebut kembali asetnya! Jika tidak punya kemampuan untuk mencari orang, maka pergilah baca mantra saja!} Selesai berbicara, langsung membawa teman-teman dia berbalik dan pergi.”

"Kesedihan yang mendalam membuat ibu yang malang menangis tanpa henti. Di tengah ruang tamu utama Rumah Empat Pilar Delapan Balok, hanya tersisa kami bertiga ibu dan anak dan sejumlah kerabat teman yang bersimpati kepada kami, gadis Zessay dan saudara serta ayahnya dengan baik hati menghibur kami; semua orang setuju mengirimkan sejumlah barang untuk membantu kemalangan kami. Jiujiu kemudian meminta saya untuk mempelajari sebuah keterampilan, ibu dan adik boleh membantu dia bertani; dia lebih bertekad untuk meminta kami melakukan sesuatu untuk ditunjukkan kepada paman dan bibi ---- keluarga Mila Gyaltsen sama sekali tidak lemah dan tidak berkemampuan, yang boleh dihina-hina.”

“Ibu telah menekan kesedihan tanpa batas ini, menyeka dan mengeringkan air matanya, dengan sedih bercampur geram mengatakan:”

“{Walau saya tidak berdaya mengambil kembali aset milik sendiri, juga sama sekali tidak boleh bergantung pada pemberian orang lain untuk memberi makan anak saya sendiri, sekarang bahkan jika paman dan bibi bersedia mengembalikan kepada kami beberapa aset, saya juga tidak akan pernah mau; tetapi biar bagaimana pun juga, Thopaga kamu harus belajar sebuah keterampilan. Kami berdua ibu dan anak perempuan, sebelum bisa membayar pemberian yang murah hati dari paman dan bibi, menjadi pembantu atau pesuruh orang lain pun -- kami bersedia lakukan dengan senang hati! Kita harus lakukan untuk ditunjukkan kepada mereka!}”

“Ibu lalu berkata kepada Jiujiu:”

“{Kami bersedia membantu kamu bertani!}”

“Semua orang setelah melihat tekad kuat ibu, tidak ada apa pun yang bisa dikatakan, maka dijalankan sesuai dengan kehendak ibu saja.”

“Di tempat tinggi Mithogekha, ada seorang Lama aliran Merah yang khusus berkultivasi metode Delapan Naga (Lama aliran Merah ---- aliran Merah adalah agama Buddha yang paling awal di Tibet, Bahasa Tibet Nyingmapa awalnya diterjemahkan sebagai aliran Tua, dan semua Lama mengenakan kain merah, itu sebabnya sering disebut aliran Merah), sangat dipengaruhi oleh keyakinan lokal penduduk desa, dan ritual keagamaannya sangat beragam. Ibu menyuruh saya untuk belajar pada Lama aliran Merah. Ketika dalam perjalanan meninggalkan rumah, masih ada dua tiga orang kerabat datang menghantar kepergian saya. Selama periode ini, orang tua Zessay sering meminta Zessay mengantar sejumlah makanan, masakan sayur dan minyak diantar hingga ke tempat saya belajar. Ketika ibu dan adik tidak dapat menemukan pekerjaan, Jiujiu juga memberi kami sedikit makanan; dia karena tidak ingin ibu pergi mengemis, ke mana-mana mencari cara untuk menggantikan ibu mencari pekerjaan. Dengan segala kemampuannya, dia telah melakukan yang terbaik untuk kami bertiga ibu dan anak. Adik kadang-kadang menggantikan pekerjaan orang, bantu memukul drum, dan kadang-kadang menggantikan orang melakukan pekerjaan sampingan membersihkan bangunan, berusaha menggunakan segala cara untuk memperoleh makanan dan pakaian. Tetapi masih sangat sulit memperoleh makanan, pakaian yang dikenakan masih sangat compang-camping, selain kesedihan, sama sekali tidak ada kebahagiaan.”

Ketika Yang Mulia Milarepa berbicara sampai di sini, orang-orang yang mendengarkan Fa -- semuanya merasa sedih dan meneteskan air mata, timbul hati yang pesimis; para pengikut yang memenuhi tempat duduk untuk mendengar Fa -- semuanya secara hening tenggelam dalam suara isakan tangis.

(Bersambung)