(Minghui.org) Saya telah berlatih Falun Gong selama empat tahun. Belum lama ini, seorang rekan praktisi mengatakan bahwa saya bermeditasi dan memancarkan pikiran lurus dengan kepala menunduk, dan terkadang dengan tubuh yang condong miring, hingga tidak enak dilihat.

Hati saya merasa tersinggung dan malu, tapi saya mengatakan, “Terima kasih, saya akan memperhatikan hal ini.” Saya tidak ingin membiarkan perasaan manusia saya menjadi dominan pada saat itu, jadi saya buru-buru mencari ke dalam untuk menemukan akar permasalahannya.

Yang saya sadari adalah: Memang benar bahwa ketika berlatih, saya sering memikirkan hal lain dan tidak dapat tenang.

Guru berkata,

“Dapat dikatakan juga, sebab fundamental seseorang tidak dapat hening, bukan merupakan suatu masalah teknis, bukan karena ada suatu jurus ampuh, melainkan pikiran anda, hati anda tidak bersih. Anda berada di tengah masyarakat manusia biasa, dalam konflik antarmanusia, demi kepentingan pribadi, tujuh perasaan dan enam nafsu, keterikatan pada berbagai nafsu keinginan, lalu anda bersaing dan bertengkar dengan orang lain, anda tidak dapat melepas semua hal tersebut, tidak dapat memandang hambar padanya, anda sudah ingin dapat mencapai hening, tidak akan semudah itu! Ada yang berlatih Gong berkata: “Saya justru tidak percaya, saya harus dapat mencapai hening, tidak boleh berpikir yang bukan-bukan.” Baru saja selesai berucap sudah timbul lagi, adalah pikiran anda yang tidak bersih, oleh karena itu anda pun tidak dapat hening.” (“Ceramah Sembilan” dari Zhuan Falun)

Saya memang punya banyak nafsu keinginan. Saya suka berkelahi dengan orang lain dan tidak mau melepaskannya. Pikiran saya menjadi tidak murni dan sulit untuk tenang. Saya berkata pada diri sendiri bahwa saya harus berkultivasi dengan pikiran yang murni.

Selama Tahun Baru Imlek, anak-anak saya beserta cucu kami datang berkunjung. Pada Malam Tahun Baru, keluarga kami yang berjumlah sepuluh orang, tua dan muda, berkumpul bersama dan bersenang-senang. Kami makan, minum, tertawa dan berbincang-bincang.

Kemudian saya mengucapkan sesuatu yang tidak pantas, hingga membuat suami saya tiba-tiba menegur saya dengan ekspresi geram dan menempatkan diri saya dalam posisi memalukan di depan anak-anak dan cucu. Saya membantahnya dengan mengatakan bahwa ia tidak lebih baik daripada saya.

Ia menjadi marah. Anak saya mencoba menengahi pertikaian kami, namun tidak berhasil. Saya sadar bahwa saya telah menyebabkan masalah, maka saya diam--tapi sudah terlambat. Suami saya mengeluarkan semua keluhannya.

Mendengar dia, saya menyadari keterikatan buruk saya. Terutama, saya tidak melihat ke dalam saat menghadapi konflik dan melupakan diri sebagai seorang kultivator.

Guru berkata:

“Dengan demikian bilamana sewaktu timbul konflik harus masing-masing mencari sebab di dalam diri sendiri, tak peduli hal tersebut mencela anda atau tidak. Ingatlah perkataan saya ini: tak peduli masalah ini mencela anda atau tidak mencela anda, anda tetap mencari pada diri sendiri, anda akan menemukan masalahnya. Bila masalah ini mutlak tidak ada hubungan dengan anda, tidak mempunyai hati yang harus anda singkirkan, kalau begitu hal tersebut sangat jarang akan timbul pada diri anda.” (“Ceramah Fa pada Konferensi Fa di Eropa”

Konflik dengan suami saya bukan suatu kebetulan--kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor yang menghendaki saya untuk berkultivasi dan meningkat.

Setelah mencari ke dalam, saya merasa tenang. Saya berkata pada putra saya bahwa saya akan meminta maaf pada ayahnya. Putra saya menjadi gembira dan bersama-sama masuk ruangan dengan saya. Suami saya masih marah, namun menantu saya mendorong dia untuk melupakan apa yang terjadi. Saya maju dan berkata, “Saya minta maaf. Saya tahu saya salah. Saya seharusnya tidak mengalihkan perhatian, menuduh orang lain ... ”

Menantu saya dengan cepat menenangkan suami saya, sambil berkata, “Anda lihat, ibu telah meminta maaf, jadi anda seharusnya tidak marah lagi bukan?” sambil ia menganggukkan kepala dengan ekspresi ceria.

Pada saat itu, cucu saya yang masih di sekolah dasar, mengangkat kepalan tangannya dan berseru, “Ya! Lulus ujian.” Saya terkejut bahkan cucu saya tahu bahwa ini adalah ujian bagi saya.

Saya menyadari bahwa saya bisa melewati ujian ini ini karena saya mencari ke dalam. Selain kehilangan muka di depan anak-anak dan cucu, saya masih memiliki banyak keterikatan buruk lainnya, seperti rasa takut kehilangan muka, tidak mau menerima kritikan, melalaikan tanggung jawab, mentalitas pamer, dan mentalitas berkelahi.