(Minghui.org) Bertahun-tahun kemudian, setiap kali memperingati hari-hari Yang Mulia Milarepa, di langit akan muncul pelangi, turun hujan bunga, memainkan kicauan musik langit, berhembus wewangian unik, menghasilkan berbagai macam keajaiban; pada saat yang sama di atas tanah juga tumbuh banyak sekali bunga aneh yang berbeda-beda, gandum masak tumbuh subur, manusia tanpa bencana dan penyakit, juga tidak ada peperangan. Bermacam-macam keajaiban ini, tidak selesai diceritakan.

--------Kisah Xiulian Buddha Milarepa

-------------------------------------------------------------------------

(Menyambung artikel sebelumnya)

Yang Mulia menampilkan kondisi berpenyakit di gua Driche. Saat itu di langit telah muncul fenomena keberuntungan pelangi - hujan bunga seperti saat membabarkan Fa. Kemudian semua orang pun tahu bahwa Yang Mulia sungguh akan pergi ke dunia surganya. Shiwarepa -- Ngandzongrepa -- Sebanrepa dan pengikut lainnya pun bertanya kepada Yang Mulia: “Setelah Yang Mulia mencapai Nirvana, akan pergi ke Tanah Suci yang mana? Kami para pengikut harus berdoa ke arah mana?”

Yang Mulia berkata: “Terserah kalian berdoa ke arah mana -- semuanya sama saja. Asalkan ada keyakinan, berdoa dengan tulus, saya pasti akan berada di hadapan kalian. Hal yang kalian ucapkan dalam doa, saya pasti anugerahkan.”

“Kali ini, saya akan pergi ke Tanah Suci Xianle [Bahagia Sekarang; Abhirati] di belahan timur untuk memberi hormat kepada Rulai Tak Tergerakkan [Buddha Akshobhya]. Saya dulu pernah menyinggung masih ada perkataan yang ingin disampaikan kepada kalian, itu adalah wasiat saya. Setelah saya Milarepa meninggal, selain beberapa barang keperluan yang sangat sedikit itu, harta apa pun juga tidak ada. Kalian boleh memberikan jubah dan tongkat saya kepada Rechungpa, dia segera akan pulang, beritahu dia bahwa dua barang ini memiliki hubungan dengan Sebab-Musabab [Yuan] berkultivasi Qigong. Saat Rechungpa belum tiba, jangan sekali-kali menyentuh jasad saya.”

“Topi dari Maitripa dan tongkat dari kayu gaharu ini, memiliki Sebab-Musabab [Yuan] menyebarluaskan Fa Buddha dengan pandangan Shan dan tujuan Shan, antarkan kepada Upa Tunpa [Gampopa]. Mangkuk kayu ini -- Shiwarepa kamu ambillah! Payung jiwa ini, Ngandzongrepa -- untukmu saja. Batu api kasih Sebanrepa. Sendok tulang ini berikan pada Digompa. Alas kain ini bagilah menjadi bagian kecil, bagikan ke para pengikut yang lain, satu orang bisa mengambil satu bagian. Barang-barang saya ini sama sekali tidak memiliki nilai uang, makna dari memberinya kepada kalian, utamanya hanya menampilkan Sebab-Musabab [Yuan] saja!”

“Wasiat saya yang paling penting dan emas yang dikumpulkan oleh saya Milarepa sepanjang hidup, disembunyikan di bawah tungku. Setelah saya meninggal, banyak pengikut yang tidak sadar mungkin akan berselisih karena urusan pemakaman saya, kala itu kalian boleh membuka wasiat itu untuk dilihat-lihat. Di dalamnya juga ada instruksi cara kalian dalam menjalankan kultivasi.”

“Juga ada sejumlah pengikut ajaran Buddha yang hanya memiliki sedikit De keberuntungan, demi kehormatan dan reputasi di kehidupan ini, secara permukaan di timur mengikuti ajaran Buddha, di barat melakukan GongDe; namun sebenarnya, dia mempersembahkan seratus, dalam hati sebenarnya ingin memperoleh seribu. Manusia sekuler yang memiliki buah karma keserakahan namun menjalankan ajaran Buddha ini, persis seperti makan dengan mencampurkan racun ke dalam makanan enak. Oleh karena itu kalian tidak seharusnya meminum racun ‘nama baik’ demi kehormatan dan reputasi di kehidupan ini. Itu semua di permukaan menjalankan Fa Buddha, namun sebenarnya menjalankan Fa duniawi, kalian semuanya harus tinggalkan semuanya, sepenuh hati gigih maju, menjalankan kultivasi Fa Buddha yang murni -- itu barulah benar.”

Semua pengikut kembali bertanya kepada Yang Mulia: “Jika ada manfaat bagi semua makhluk, kami apakah boleh menjalankan sedikit Fa duniawi?”

Yang Mulia berkata: “Motivasi dari menjalankan Fa duniawi, jika sedikit pun bukan demi kepentingan pribadi, itu boleh dijalankan. Namun jika dijalankan seperti ini, sungguh terlalu sulit. Jika demi keserakahan diri lalu menjalankan hal yang bermanfaat untuk orang lain, maka ketika manfaat pribadi masih belum tercapai, lebih-lebih tidak bisa dibilang bermanfaat untuk orang lain. Persis seperti orang yang tidak bisa berenang -- pergi berenang, bukan berenang tidak tercapai, sebaliknya mati tenggelam oleh air. Oleh karena itu di saat belum dapat membuktikan sifat Kosong, paling baik jangan membicarakan Misi bermanfaat untuk semua makhluk! Diri sendiri belum berhasil kultivasi dan membuktikan, walau ingin bermanfaat untuk semua makhluk, persis seperti si buta menarik orang buta, pada akhirnya akan terjatuh ke dalam lubang keserakahan. Aslinya ruang hampa itu tak terbatas, semua makhluk juga tak terhingga, setelah diri sendiri menjalankan kultivasi dan memperoleh keberhasilan, kesempatan untuk menyelamatkan semua makhluk sungguh terlalu banyak; segala waktu, segala tempat, juga bisa untuk menyelamatkan semua makhluk. Di saat belum memperoleh keberhasilan, kalian seharusnya memancarkan ‘hati maha belas kasih’ dengan ‘niat yang murni’, giat memohon status Buddha demi bermanfaat kepada seluruh makhluk hidup. Lepaskan pikiran tentang makanan pakaian dan nama kepentingan, tubuh menahan derita kesukaran, hati membawa beban berat, menjalankan kultivasi seperti ini barulah benar. Ini tepatnya adalah menyelamatkan semua makhluk, juga berarti berhasil menjalankan kultivasi memasuki Jalan yang akhirnya akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.”

Yang Mulia Milarepa kembali meneruskan: “Sekarang saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi, kalian harus ingat perkataan saya, meneruskan ajaran saya!” Selesai berkata lalu memasuki Maha Ding, memasuki kondisi kematian. Menikmati delapan puluh empat tahun, di tahun tikus kayu (tahun 1135) musim dingin akhir bulan -- tanggal empat belas saat fajar, cahaya bintang memudar, saat matahari pagi mulai membubung, tubuh berwarna Yang Mulia pindah memasuki dunia Fa, menampilkan wujud Nirvana.

Waktu ini, wujud agung dari manusia langit dan para Dakini berkumpul, dibanding sebelumnya jauh lebih luar biasa megahnya. Di langit muncul pelangi yang mencolok, pelangi ini jelasnya seakan tangan pun bisa menyentuhnya. Berbagai macam warna saling terjalin di angkasa, di tengah pelangi ada wujud bunga teratai berdaun delapan, di atas bunga teratai, ada mandala yang sangat indah; pelukis terbaik di atas dunia pun tidak bisa melukiskan mandala yang demikian indah. Awan dengan lima warna di puncak, berubah menjadi bendera kemenangan - jaring pita - bendera pusaka dan bentuk tak terhingga lainnya, bunga-bunga dengan berbagai macam jenis dan warna -- turun dari langit, turun bagaikan hujan. Awan bergulung-gulung di empat penjuru puncak gunung. Awan berbentuk pagoda berkumpul di tengah-tengah Chuwar. Semua orang mendengar musik langit dan kata-kata pujian yang indah. Wewangian unik membanjiri bumi pertiwi. Manusia di dunia juga dapat melihat manusia langit dan wujud Dewa memenuhi udara, dan melakukan persembahan yang sangat banyak. Orang-orang melihat Dewa-dewa langit telanjang tidak berpakaian pun tidak merasa aneh; para Dewa langit sebaliknya satu per satu takut mencium bau tubuh manusia, begitu bertemu manusia sering menutupi muka dan berlalu. Ada Dewa langit yang saling menyapa dan bercakap-cakap dengan manusia. Setiap orang melihat bermacam-macam keajaiban luar biasa ini.

Para pengikut awam Nyanang, mendengar Yang Mulia sudah mencapai Nirvana, semuanya berlari ke Chuwar, telah menuntut semua pengikut utama dan pengikut awam Chuwar dengan banyak argumen, ingin membawa jasad Yang Mulia ke Nyanang untuk dimakamkan, namun ditolak oleh para pengikut utama Yang Mulia. Kemudian para pengikut awam meminta untuk menunda pengadaan ritual besar, demi memberi sebuah kesempatan terakhir kepada para pengikut dari Drin dan berbagai daerah, datang memberi hormat kepada penampilan sakral Yang Mulia sekali saja. Para pengikut awam Chuwar telah menyetujui permintaan ini. Penduduk Nyanang kemudian pulang untuk mengumpulkan pendapat darurat, hasilnya membawa sekelompok orang pemberani dan berkemampuan untuk bersiap-siap merebut jasad Yang Mulia. Akhirnya timbul pertengkaran dengan para pengikut awam Chuwar, rusuh hingga hampir akan menggunakan kekerasan. Para pengikut utama melihat situasi semacam ini, segera berkata kepada mereka: “Kalian semua adalah pengikut Yang Mulia! Mohon jangan bertengkar. Karena Yang Mulia telah mencapai Nirvana di Chuwar, tentu saja tidak cocok mengadakan ritual besar di Nyanang, mohon kalian di sini menunggu, setelah ritual besar selesai diadakan, kalian pasti bisa mendapat bagian sarira dan abu tulang milik Yang Mulia untuk diberi persembahan.” Namun orang-orang Nyanang bersenjata dan jumlahnya banyak, tidak bersedia mendengarkan, masih ingin bersiap-siap merebut dengan kekerasan. Tiba-tiba di langit muncul seorang Dewa langit, di mulut mengeluarkan suara milik Yang Mulia.

Para pengikut awam dan murid seperti kembali melihat Yang Mulia, timbul suka cita dan kegembiraan yang tak terucapkan, semua orang tidak bertengkar lagi, dan berdoa dengan satu hati dan satu niat. Akhirnya di tengah jelmaan ilusi yang sulit dibayangkan, selain jasad yang semula disimpan oleh para pengikut utama dan pengikut awam Chuwar, penduduk daerah Nyanang juga telah memperoleh sebuah jasad lain milik Yang Mulia, mereka pun membawa jasad ini, dan dibawa ke gua telur burung Dapeng di puncak gunung bersalju Lachi untuk menjalankan kremasi. Di langit pun kembali muncul cahaya pelangi lima warna - awan kemerahan - musik langit - wewangian unik - dan berbagai macam fenomena ajaib lainnya seperti saat mencapai Nirvana yang terjadi sebelumnya.

Sementara di Chuwar, semua pengikut utama dan para pengikut awam berturut-turut berdoa sepenuh hati selama enam hari, wajah Yang Mulia tiba-tiba menjadi ceria, berwajah muda seperti bocah berumur delapan tahun pada umumnya. Saat ini beberapa pengikut utama pun berdiskusi: “Rechungpa takutnya tidak akan datang. Jika kita terus menunda lagi, mungkin apa pun tidak ada yang tertinggal. Bahkan sedikit abu tulang untuk diberi persembahan pun tidak dapat diperoleh. Kita lebih baik bergegas menjalankan kremasi saja!” Setelah semua orang berdiskusi, maka satu per satu memberi hormat yang terakhir kepada Yang Mulia. Pada saat yang sama memindahkan tubuh sakral ke singgasana di depan gua Driche, sekaligus membangun rangka panggung untuk kremasi, kemudian tubuh sakral dibaringkan ke atas panggung, dan menyiapkan altar. Walau tidak dapat dibandingkan dengan persembahan dari manusia langit, namun barang-barang terbaik di dunia manusia ditampilkan semuanya. Menjelang fajar, telah menjalankan berbagai macam doa dan ritual, semua orang pun ingin menjalankan kremasi. Namun tak peduli bagaimana pun juga, api selalu tidak dapat dinyalakan. Pada waktu ini, di langit tiba-tiba muncul sebuah pelangi, yang membawa lima Dakini.

Kemudian Ngandzongrepa pun berkata: “Kata terakhir Yang Mulia dan beberapa Dakini, semuanya memberi tahu kami bahwa sebelum Rechungpa tiba, jangan menyentuh jasad Yang Mulia. Namun Rechungpa sampai sekarang masih belum tiba, takutnya tidak lama lagi jasad akan membusuk, bagaimana ini?”

Shiwarepa berkata: “Dari petunjuk Yang Mulia dan Dakini, dan dilihat dari berbagai macam Yinyuan seperti api yang tidak dapat membakar jasad, maka Rechungpa pasti segera akan kembali. Kita lebih baik berdoa dengan tulus saja!” Semua orang mengembalikan tubuh sakral ke dalam gua, dan kembali berdoa dengan tulus.

Namun, pada saat itu Rechungpa sedang berkultivasi Fa di kuil Loro Dol. Suatu hari setelah lewat tengah malam, dalam kondisi campur aduk antara sadar dan tertidur, dia melihat daerah di Chuwar, ada sebuah pagoda kristal melepaskan cahaya yang meliputi seluruh angkasa; para Dakini yang tak terhitung jumlahnya mengelilingi pagoda ini, menyambutnya ke dunia mereka; di bumi semua tempat penuh dengan saudara Vajra sendiri dan para pengikut awam Yang Mulia. Suara nyanyian Dewa langit dan Dakini bergema di udara, setiap tempat penuh dengan awan megah persembahan yang sulit diterima akal sehat. Rechungpa pun memberi hormat kepada pagoda itu, tiba-tiba wajah Yang Mulia tampil keluar dari dalam pagoda, dan berkata kepada Rechungpa: “Anakku! Walaupun kamu tidak mengikuti kata-kata saya untuk pulang tepat waktu, namun jika kita ayah dan anak dapat bertemu sekali lagi, saya akan sangat gembira sekali. Kita ayah dan anak takutnya tidak dapat sering bertemu lagi, jangan melewatkan lagi kesempatan yang demikian sulit diperoleh, biarkan kita ayah dan anak berbicara sekali ini saja!” Selesai berkata, Yang Mulia pun meletakkan tangan ke atas kepala Rechungpa, dengan wajah penuh senyum sedang melihat dia. Rechungpa dalam hati sedih juga gembira, telah tumbuh keyakinan yang belum pernah ada sebelumnya dan perasaan yang sangat tidak biasa.

Setelah Rechungpa terbangun, teringat Yang Mulia dulu pernah berkata kepada dia, bahwa ingin dia pulang kembali pada waktu tertentu, dalam hati sangat panik: “Jangan-jangan Yang Mulia telah mencapai Nirvana?” Segera timbul kesedihan yang tak tertahankan dan keyakinan yang kuat. Kemudian sepenuh hati berdoa kepada Yang Mulia: “Oh Maha Guru! Saya tidak bergegas tepat waktu, sungguh menyesal! Namun saya segera akan pulang!” Tepat terpikir demikian, di udara muncullah dua gadis, berkata kepada dia: “Rechungpa! Yang Mulia sudah akan pergi ke Tanah Suci! Kamu jika tidak segera pergi, takutnya di kehidupan ini tidak dapat melihat Yang Mulia lagi! Cepatlah pergi!”

Rechungpa kali ini dalam hati memvisualisasikan Maha Guru, sepenuh hati bergegas pulang, segera menggerakkan badan pulang. Burung-burung di kuil Loro Dol, saat itu tepat sedang berkicau menyambut hari.

Rechungpa sepenuh hati berdoa kepada Maha Guru, sambil menggunakan kemampuan Qigong, terbang pulang seperti lesatan anak panah. Rute perjalanan yang harus ditempuh keledai selama dua bulan, tidak lama setelah pagi menjelang sudah terbang ke sana. Ketika tiba di gunung Podzi yang menjadi perbatasan Dingri dan Drin, langit baru saja bersinar terang, matahari baru saja muncul keluar. Dia pun duduk ke bawah, untuk beristirahat sejenak. Menengadah untuk melihat, di semua tempat penuh dihiasi awan yang indah; terutama di puncak gunung tempat Yang Mulia memasuki pengasingan, ada sebuah parasol awan besar yang luasnya tanpa batas, melepaskan cahaya ribuan depa jauhnya. Dewa langit - Dakini yang tak terhitung jumlahnya sedang memberi persembahan megah dengan awan pembawa lima kenikmatan. Ada manusia langit yang sedang berdoa, ada yang sedang mengucap sumpah, ada yang sedang memberi hormat, ada yang sedang menyanyikan lagu pujian. Rechungpa melihat ini, dalam hati sedih juga gembira, dengan ragu bertanya kepada sesosok Dewa langit: “Kalian memberi hormat dan persembahan seperti ini, demi apa?”

Dewa langit menjawab: “Kamu ini jangan-jangan sudah tuli ya? Atau mata sudah buta? Pertemuan jodoh luar biasa di mana manusia dan langit memberi persembahan seperti ini, kamu juga tidak tahu? Ini adalah hari Yang Terhormat Mila Shepa Dorje [Vajra Tertawa] pergi ke tanah sakral Jalan Kosong, semua manusia langit sedang memberi persembahan dan berdoa kepada dia, jangan-jangan kamu tidak tahu?”

Setelah Rechungpa mendengar perkataan ini, hati bagai diiris pisau, bergegas terbang menuju gua tempat Yang Mulia memasuki pengasingan. Ketika berlari hingga sebuah dataran berbentuk pagoda, persis seperti di mimpi, terlihat Yang Mulia berkata kepada dirinya sambil tersenyum lebar: “Apakah anakku Rechungpa telah tiba!”

Rechungpa begitu melihatnya, dalam hati timbul suka cita yang tak terucapkan, mengira Yang Mulia sama sekali belum Nirvana, segera menghadap memberi hormat ke kaki Yang Mulia, mengucapkan doa penghormatan. Rechungpa juga menanyakan banyak hal kepada Yang Mulia, Yang Mulia menjawab semuanya. Terakhir Yang Mulia berkata kepada Rechungpa: “Anakku! Saya pergi dulu, kamu menyusul nanti saja! Di masa mendatang saya akan datang menjemputmu! Jangan lupakan perkataan saya!” Selesai berkata, tiba-tiba dalam satu kedipan mata, Yang Mulia pun tidak terlihat lagi.

Rechungpa dengan hati bercampur aduk bergegas ke Chuwar, setelah tiba di depan gua tempat Yang Mulia akan dikremasi, terlihat para murid dan pengikut awam sedang menangis di samping jasad Yang Mulia dan berdoa mengelilingi. Ada banyak murid yang baru, mereka belum pernah bertemu dengan Rechungpa, maka menghalangi dia memasuki gua dan mendekati jasad Yang Mulia. Rechungpa dalam hati sedih bukan main, menangis dan mengeluarkan air mata.

“Oh Maha Guruku -- ayah yang penuh kasih! Kebijaksanaan Anda yang maha kasih itu, apakah tidak dapat mendengar jeritan tangis ananda? Kebijaksanaan Anda yang maha kasih itu, apakah tidak menaruh kasihan terhadap penderitaan ananda? Ah! Maha Guruku -- ayah yang penuh kasih!”

Suara nyanyian Rechungpa begitu merambat masuk ke dalam gua, jasad Yang Mulia tiba-tiba mengeluarkan cahaya terang benderang, raut wajah bagaikan hidup. Jasad Yang Mulia tiba-tiba menyalakan api sendiri. Shiwarepa -- Ngandzongrepa -- para pengikut utama dan pengikut awam begitu mendengar suara lagu Rechungpa, semuanya bergegas keluar menyambut. Namun dikarenakan para pengikut baru tidak mengenal Rechungpa, tidak membiarkan dia masuk, dalam hatinya sangat sedih, makanya tidak segera masuk. Setelah selesai menyanyikan tujuh lagu persembahan, barulah melangkah masuk ke dalam gua. Karena kesungguhan dan ketulusan dari Rechungpa -- suara doa lagunya telah membuat haru Yang Mulia, walaupun Yang Mulia sudah memasuki Maha Nirvana Cahaya Terang, saat itu dari dalam cahaya terang, telah bangun terduduk, dan berkata kepada para murid baru itu: “Wahai kalian murid yang baru mulai berkultivasi! Jangan berbuat demikian! Rechungpa adalah singa di tengah manusia, kalian seharusnya menghormati dia.” Juga berkata kepada Rechungpa: “Anakku! Kamu jangan bersedih seperti ini, datanglah ke sisi ayahmu!”

Orang-orang begitu melihat keajaiban semacam ini, semuanya menjadi takjub terheran-heran, dalam hati tumbuh suka cita yang tak terhingga.

Rechungpa segera berjalan ke hadapan jasad Yang Mulia, memeluk Yang Mulia dan menangis dengan keras. Karena terlalu sedih, Rechungpa tak disangka pingsan jatuh ke tanah. Setelah dia terbangun kembali, melihat para murid dan pengikut awam mengelilingi altar, tubuh sepasang keberuntungan Vajra tak terusakkan milik Yang Mulia sama sekali tidak jatuh tumbang, di tengah api berbentuk teratai berdaun delapan, duduk dengan tenang dan damai, tubuh Yang Mulia seperti benang sari di tengah mahkota, duduk di tengah kobaran api teratai berdaun delapan, tangan kanan membentuk Shouyin menunjuk ke bawah lidah api, tangan kiri menyentuh pipi muka, membentuk postur bernyanyi, dan berkata kepada Rechungpa beserta para pengikut “Kalian dengarlah lagu terakhir dari saya si tua bangka ini!” Maka dari atas altar menyanyilah sebuah lagu Enam Jenis Kunci Hati:

Putra yang paling saya sayangi si Rechungpa, dengarlah lagu wasiat saya yang paling akhir:

Di tengah lautan api reinkarnasi Triloka, tubuh ilusi Lima Skandha adalah kunci penting;

berlari mengejar harta dan pakaian karena serakah, urusan duniawi tak akan terselesaikan untuk selamanya;

lepaskan saja Fa duniawi oh wahai Rechungpa!

Di dalam batasan tubuh jelmaan ilusi ini, hati yang tak berwujud adalah kunci penting;

hati ini jika telah dikendalikan oleh tubuh, selamanya sulit membuktikan wujud nyata prinsip Fa;

genggam erat hati yang Shan wahai Rechungpa!

Makna muskil dalam memilih hati dan materi, kebijaksanaan asal yang asli adalah kunci penting;

dikarenakan sebab musabab pengejaran terhadap segala perubahan, selamanya sulit memperoleh pembuktian kebenaran Tak Terlahirkan;

pandanglah Tak Terlahirkan dengan Shan wahai Rechungpa!

Dalam memilih kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, kesadaran hati alam Bardo adalah kunci penting;

kadang ditemani tubuh atau juga tanpa tubuh, selamanya sulit memperoleh pembuktian tentang kebenaran wujud;

pandanglah wujud sebenarnya dengan Shan wahai Rechungpa!

Dalam kota Avidya [khayalan] enam jalur yang kacau, rintangan dosa dan karma berkumpul bagaikan gunung;

nafsu dan amarah bila tidak habis dimusnahkan, selamanya sulit memperoleh pembuktian prinsip kesetaraan manusia;

lepaskan nafsu dan amarah oh wahai Rechungpa!

Di dalam tanah sakral beribu-ribu Buddha, semua kebaikan dan ucapan Buddha bagaikan Fa;

jika menggunakan prinsip layaknya memerintah dengan kekerasan, selamanya sulit memperoleh Wu kebenaran yang terakhir;

lepaskan segala ajaran kekerasan oh wahai Rechungpa!

Maha Guru dan para Yidam serta Dakini, berdoalah memohon kepada mereka sebagai satu kesatuan;

berpandangan lurus - tindakan gagah serta berkultivasi Ortodoks, tiga jalan kultivasi yang tak akan terpisahkan;

Kehidupan sekarang - dunia mendatang dan alam Bardo, sebagai satu kesatuan dari niat yang dikultivasikan.

Saya sekarang mewariskan kepada kamu lafalan terakhir, anggap ini sebagai kata wasiat yang terakhir;

sedekahkan warisan ajaran telepati Maha Nihil ini, yang mengikuti jalan kultivasi ini adalah anakku.

Setelah Yang Mulia selesai mengajarkan ajaran terakhir, kembali memasuki kondisi Cahaya Terang. Yang Mulia baru saja mangkat, altar segera memancarkan cahaya terang, yang berubah menjadi sebuah istana pagoda berbentuk persegi, bermacam-macam parasol bercahaya terang - awan warna warni - bendera pusaka dan masih banyak benda persembahan lainnya, sakralnya bukan main. Dari dalam cahaya terang itu juga tampil keluar bidadari langit yang tak terhitung banyaknya, diiringi musik yang indah -- mereka bernyanyi dan menari. Di udara di atas altar, putra-putri langit memegang kendi yang penuh dengan embun manis dengan dua tangan dan memberi persembahan kepada Yang Mulia. Para murid dan pengikut awam, ada yang melihat bahwa Yang Mulia di altar adalah Hevajra, ada yang melihat bahwa Yang Mulia adalah Cakrasamvara, atau pun Guhyasamaja Vajra, ada yang melihatnya adalah Vajravarahi, sesuai bawaan dasar dan Yinyuan yang tidak sama, masing-masing melihat tubuh Buddha yang tidak sama.

Saat ini, para Dakini yang memenuhi langit dan tak terhitung jumlahnya, bernyanyi bersama-sama secara serentak:

Ketika Yang Terhormat yang bagaikan permata meninggal, manusia dan langit semuanya ikut dalam kesedihan;

Ada yang menangis air mata bagaikan sutra, ada yang pusing diri tak bisa bertahan.

Api yang menyala sendiri membakar secara alami, kobaran api dengan bentuk teratai berdaun delapan;

dengan membawa tujuh pusaka dan delapan kemujuran, sesuai kehendak bersedekah mempersembahkan beribu-ribu hadiah.

Petikan senar Sitar dan alat musik lainnya, memainkan musik indah beragam dan tak terhitung;

dari dalam api keluar banyak bidadari langit, menampilkan persembahan maha megah luar dan dalam.

Bau wewangian unik mengelilingi udara dengan pekat, payung pusaka melindungi turunnya bunga bagaikan hujan;

bidadari langit memberi persembahan kemujuran dan keberuntungan, menanti tulang kembali ke tubuh yang murni;

isi tubuh tidak meninggalkan debu kecil sedikitpun, sisa tulang Maha Guru sangat luar biasa.

Tubuh Fashen [Dharmakaya] yang bagaikan setara dengan langit, tubuh Sambhogakaya Maha Kasih bagaikan awan Dharma;

Misi dari tubuh jelmaan bagaikan hujan bunga, tiada hentinya memanen buah status semua makhluk.

Alam Dharmadatu aslinya Kosong tiada makhluk hidup, oleh karenanya disebut Yang Tak Bisa Melahirkan;

sifat Kosong juga tiada wujud hidup mati, makanya hidup mati juga disebut sifat Kosong;

ini kebenaran ‘Eksistensi Kosong’ yang sangat mendalam, percayalah jangan ada keraguan serta pandangan palsu.

Setelah para Dakini selesai menyanyikan lagu ini, hari sudah menjelang malam, langit perlahan-lahan menjadi gelap, api di atas altar juga sudah padam. Namun di luar dan di dalam altar malah diselimuti oleh seberkas cahaya yang transparan. Para murid merasa sangat aneh, lalu melihat ke dalam altar, ternyata di bagian tengah altar, telah muncul sebuah pagoda yang bercahaya terang. Di bagian tengah pagoda, ada orang melihat Cakrasamvara, ada orang melihat Vajravarahi atau Hevajra, ada orang melihat bel Vajra - gada Vajra - kendi - Shouyin - berbagai macam aksara Tubuh - Mulut - Pikiran. Ada orang melihat seberkas cahaya terang berwarna emas, ada orang melihat air laut, atau kobaran api, juga ada orang yang tidak melihat apa pun.

Para murid kemudian membuka pintu altar, agar hawa panas menyebar keluar, dan bersiap-siap mengambil Sarira keesokan harinya. Saat ini kembali muncul banyak fenomena aneh yang tidak masuk akal. Malam itu, semua orang tidur di bawah dengan kepala menghadap ke arah altar. Keesokan paginya, ketika Rechungpa baru saja bangun, melihat lima sosok Dakini yang mengenakan kalung dengan ornamen tulang dan banyak dekorasi dari permata serta membawa berbagai macam barang persembahan lima kenikmatan, memasuki altar untuk melakukan persembahan. Tak lama kemudian, terlihat lima sosok Dakini utama, dari dalam altar mengambil sebuah benda bercahaya terang dengan dua tangan dan terbang keluar. Rechungpa ketika melihat Dewa-dewa ini, tiba-tiba teringat, ini pasti para Dakini telah membawa pergi Sarira abu tulang Yang Mulia, dalam hati khawatir, segera bergegas keluar, saat ini para Dakini sudah memegang Sarira, membubung ke langit. Rechungpa segera kembali ke dalam untuk membangunkan semua saudara seperguruannya. Semua orang membuka pintu altar, melihat ke dalam, bahkan secuil Sarira pun tidak tersisa! Rechungpa sedih bukan main, lalu memohon Dakini berbelas kasih membagikan sedikit Sarira kepada para pengikut di dunia manusia.

Dakini berkata: “Kalian para pengikut utama, sudah memperoleh Sarira yang paling luar biasa, melihat langsung tubuh Fa, jika ini masih dianggap belum cukup, boleh berdoa memohon kepada Yang Mulia, Yang Mulia pasti akan memberinya kepada kalian. Mengenai orang lain, dibandingkan Yang Mulia yang bercahaya terang bagaikan matahari dan bulan -- bahkan menjadi kunang-kunang saja tidak pantas, orang-orang ini buat apa diberikan Sarira? Sarira ini adalah milik kami.” Selesai berkata demikian lalu berhenti di udara tidak bergerak. Para murid setelah mendengar perkataan Dakini, semua orang berpikir, perkataan ini tidak ada salahnya, hati timbul penyesalan.

Semua orang melihat dari telapak tangan Dakini mengeluarkan pancaran cahaya dengan lima warna, Sarira Yang Mulia besarnya bagaikan telur burung, turun ke atas altar. Para pengikut begitu melihat Sarira turun ke bawah, semuanya menjulurkan tangan ingin mengambilnya, Sarira tiba-tiba kembali terbang ke udara, kembali lenyap di dalam pancaran cahaya yang terpancar dari telapak tangan Dakini. Tiba-tiba pancaran cahaya itu kembali terbagi ke dua arah, arah pertama berubah menjadi singgasana Leo yang beralaskan matahari dan bulan, arah yang lain berubah menjadi sebuah pagoda Lapis Lazuli yang luar dan dalamnya transparan, dari pagoda terpancar lima warna cahaya terang yaitu merah - putih - biru - kuning - hijau, yang menerangi tiga ribu Dunia Besar, dikelilingi oleh seribu dua Buddha Agung dari empat penjuru, di bagian tengah duduklah Yang Terhormat Milarepa. Berjuta-juta Dakini berkumpul, memberi persembahan dan pujian, ada dua bidadari langit di bawah pagoda sedang memegang pagoda dengan dua tangan.

Setelah Yang Mulia selesai berkata, Dakini memegang pagoda dengan dua tangan, kemudian bersiap-siap menyambut Yang Mulia ke tanah sakral Jalan Kosong. Saat ini Shiwarepa dalam hati berpikir: “Saya harus berupaya untuk kebahagiaan semua makhluk di ruang manusia, memohon Dakini menganugerahkan pagoda ini, agar para pengikut di ruang manusia bisa memberi persembahan.” Maka dia pun berdoa dan memohon dengan sungguh-sungguh.

Dakini memegang erat pagoda dengan dua tangan, terbang hingga ke atas kepala para pengikut utama, pagoda tiba-tiba mengeluarkan pancaran cahaya ke berbagai arah, di atas setiap ubun-ubun pengikut juga ada sebuah pancaran cahaya. Semua orang telah melihat Yang Mulia di bagian tengah pagoda -- membubung ke udara, berubah menjadi Hevajra, Cakrasamvara, Guhyasamaja Vajra, Maha Mandala, Buddha yang tak terhitung jumlahnya, dan dikelilingi oleh para Dakini. Terakhir semua Buddha dan Bodhisattva menjelma menjadi cahaya terang, dan lenyap masuk ke ulu hati Yang Mulia. Di tengah iringan musik langit, Yang Mulia disambut memasuki tanah sakral Xianle [Bahagia Sekarang; Abhirati] di belahan timur.

Ada pengikut yang melihat tubuh sakral Sambhogakaya Yang Mulia, duduk di singgasana Leo, empat sudutnya ditopang dengan dua tangan Dakini, Vajravarahi memimpin jalan, diiringi awan persembahan dan musik langit yang sulit diterima akal sehat, terbang menuju ke arah timur yaitu tanah sakral Abhirati.

Semua pengikut utama melihat Yang Mulia sudah terbang pergi dengan tenang, tak bisa memperoleh Sarira sebagai persembahan, maka semua orang pun meratap penuh kesedihan, berdoa dengan pilu. Tiba-tiba di udara terdengar suara Yang Mulia berkata: Wahai para pengikut! Kalian tidak perlu demikian sedih, di bawah batu gua carilah pahatan instruksi empat aksara (dalam buku tidak disebutkan empat aksara tersebut itu apa). Kemudian, kalian akan menemukan benda untuk persembahan.” Kemudian semua orang pun mencari-cari di empat penjuru sekeliling gua, sungguh telah ditemukan batu pahatan instruksi. Batu ini, sekarang di kuil Chuwar masih dapat ditemukan.

Semua pengikut melihat Yang Mulia sudah tiba di dunia surga dia, dalam hati walau sangat sedih, namun semuanya tahu bahwa di kemudian hari pasti dapat terlahir di Tanah Suci Yang Mulia, pada saat yang sama juga mengerti bahwa segala penampilan Yang Mulia, juga adalah demi kepentingan Fa Buddha dan semua makhluk. Semua orang pun menggenggam erat tekad teguh untuk menjalankan Misi demi dua kepentingan tersebut, kemudian pergi melihat-lihat wasiat Yang Mulia dan emas di bawah tungku dapur itu seperti apa.

Semua orang walau tahu bahwa Yang Mulia sama sekali tidak akan mengubur dan menyembunyikan emas apa pun, namun demi memenuhi kata terakhir dia, semua orang pergi melihat-lihat apa yang ada di bawah tungku dapur. Benar saja di bawah tungku ditemukan sebuah kain pakaian, di dalamnya terbungkus sebilah pisau kecil, pisau kecil itu masih sangat tajam. Gagang pisau tersambung dengan sebuah alu, selain itu masih ada sebongkah kecil gula, yang dibungkus bersama dengan batu asahan di dalam kain. Mereka secara teliti melihat di atas pisau masih terpahat beberapa aksara kecil: “Gunakan pisau ini, memotong gula dan kain ini, mereka ini selamanya tidak akan habis dipotong. Kalian potonglah gula dan kain seperti ini untuk dibagikan kepada semua orang; setiap orang yang telah memakan gula ini, atau memperoleh bagian kain ini, tidak akan terjatuh dalam tiga jalur kejahatan lagi. Makanan dan pakaian Samadhi dari Milarepa, semuanya telah di-Jiachi oleh Maha Guru dan semua Buddha. Bila ada makhluk hidup, mendengar nama saya, tumbuh sebuah niat keyakinan, dalam tujuh kehidupan, juga sama sekali tidak akan terjatuh dalam kejahatan, bahkan dapat mengingat kembali peristiwa dalam tujuh kehidupan. Ini adalah pertanda dari semua Buddha dan Bodhisattva. Jika ada orang mengatakan Milarepa memiliki emas, maka orang itu seharusnya memakan kotoran.” Semua pengikut di bawah kesedihan mendalam -- begitu membaca kata terakhir dari wasiat ini, sungguh tidak tahan hingga tertawa terbahak-bahak, mereka sungguh sangat bersuka cita.

Kemudian semua orang menggunakan pisau untuk memotong gula, benar saja tak peduli memotong berapa kali gula itu -- namun masih juga tidak habis dipotong. Kain juga sama demikian, telah dipotong banyak kali, sepotong kain semula sedikit pun tidak berkurang. Demikianlah dipotong tanpa batas dan akhir, semua orang pun memperoleh bagian kain dan gula. Banyak orang sakit, setelah memakan gula -- penyakit pun segera sembuh. Orang yang berbakat dasar rendah dan penuh tekanan mental berat, setelah memakan gula, perlahan-lahan juga tumbuh kebijaksanaan, belas kasih pun bertambah banyak.

Ketika mengadakan pertemuan pemakaman, dari langit turun bunga-bunga berwarna lima. Ketika bunga-bunga ini turun ke bawah, kira-kira turun tidak jauh di atas ubun-ubun semua orang -- bunga-bunga itu pun meleleh tak terlihat lagi. Ada bunga yang terjatuh ke tanah, begitu dipungut untuk dilihat, tipisnya bagaikan sayap lebah, indahnya tiada tara.

Di sekitar desa Chuwar, bunga langit yang turun ke bawah memenuhi bumi pertiwi, menumpuk hingga setinggi lutut; daerah lain di dekatnya, bunga juga turun bagaikan hujan es, telah turun banyak sekali. Ketika upacara pertemuan telah selesai, berbagai macam fenomena aneh dan hal ajaib pun secara perlahan-lahan menghilang.

Bertahun-tahun kemudian, setiap kali memperingati hari-hari Yang Mulia Milarepa, di langit akan muncul pelangi, turun hujan bunga, memainkan kicauan musik langit, berhembus wewangian unik, menghasilkan berbagai macam keajaiban; pada saat yang sama di atas tanah juga tumbuh banyak sekali bunga aneh yang berbeda-beda, gandum masak tumbuh subur, manusia tanpa bencana dan penyakit, juga tidak ada peperangan. Bermacam-macam keajaiban ini, tidak selesai diceritakan.

(Tamat)