(Minghui.org) Dalam sejarah Tiongkok, Dinasti Ming (1368-1644) dikenal karena hubungan perdagangan dan budaya dengan Barat, serta drama, sastra, dan porselennya. Salah satu faktor yang menyebabkan keruntuhannya adalah terjadinya wabah selama 65 tahun pada tahun 1580 dan menghancurkan dinasti itu pada tahun 1644.

Wabah di Akhir Dinasti Ming

Pada tahun 1580, sebuah wabah menyerang lebih dari setengah keluarga di Datong (di Provinsi Shanxi hari ini), kemudian menyebar ke Beijing dan juga Tiongkok selatan. Ketika wabah pecah di Provinsi Shanxi lagi pada tahun 1633, banyak orang melarikan diri dan beberapa keluarga tidak selamat. Lonjakan lain dari wabah pada tahun 1641, tiga tahun sebelum dinasti berakhir, menyerang sebagian besar populasi di Tiongkok.

Selain wabah, Dinasti Ming juga mendapat ancaman lainnya, seperti pasukan pemberontak dari Li Zicheng (juga dikenal Raja Dashing). Untuk mematahkan pengepungan selama 6 bulan oleh Li, gubernur Kota Kaifeng memerintahkan untuk membuka tepi Sungai Kuning pada tahun 1642, yang menewaskan 300.000 orang, mayoritas penduduk Kaifeng. Terjadi kelaparan dan wabah lebih lanjut.

Namun, wabah itu tampaknya hanya menginfeksi pasukan Dinasti Ming, bukan tentara Li Zicheng atau Manchu yang melakukan invansi. Ini lebih jauh menentukan nasib Dinasti Ming.

Setelah menginfeksi Tiongkok selama beberapa dekade dan melemahkan kekuatan Dinasti Ming, wabah berkurang pada tahun 1644 setelah Manchu mendirikan Dinasti Qing.

Pengobatan Herbal Wu Youxing

Salah satu tabib paling terkenal yang memerangi wabah di masa Dinasti Ming adalah Wu Youxing (1580-1660, juga dikenal sebagai Wu Youke). Dia melakukan penelitian yang luas tentang epidemi dan menulis buku Wenyi Lu (Risalah tentang Wabah Penyakit), juga pada tahun 1642.

Obat utama yang ditemukan Wu untuk wabah disebut dayuanyin, yang membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh pasien dan menyeimbangkan organ tubuh mereka. Sebuah film berdasarkan wabah dan Wu, Da Ming Jie (Jatuhnya Ming)memenangkan Golden Angel di Festival Film Tionghoa Amerika pada tahun 2013.

Obat Wu tidak menyembuhkan semua pasien. Hanya mereka yang mengindahkan nasihatnya yaitu dengan tulus melafalkan ayat-ayat Tao sebelum minum obat sehingga kesehatan mereka pulih kembali.

Wabah di Kekaisaran Romawi Kuno

Demikian pula, wabah juga terlihat di Barat, seperti tiga wabah utama pada Kekaisaran Romawi. Nero mulai menganiaya orang-orang Kristen pada tahun 64 M, dan sebuah wabah pecah pada musim gugur berikutnya di Roma dan menewaskan 30.000 jiwa. Setelah Marcus Aurelius (121-180) menjadi kaisar Romawi pada tahun 161, dia melangkah lebih jauh dari pendahulunya dalam menganiaya orang-orang Kristen. Wabah Antonine pecah pada tahun 165 dan berlangsung selama 16 tahun, menewaskan rata-rata 2.000 orang per hari. Wabah Cyprian dimulai pada tahun 250 dan berakhir pada tahun 270, menewaskan sebanyak 5.000 orang per hari di Roma.

Penindasan terhadap agama Kristen secara resmi berakhir pada tahun 311 oleh Galerius. Toleransi yang lebih besar terhadap umat Kristen dimungkinkan setelah Konstantin Agung mengeluarkan Edict of Milan pada tahun 313. Rekannya, Licinius, masih belum dapat sepenuhnya mentolerir orang Kristen. Terjadi perang saudara antara kedua kaisar ini.

Simbol Chi Rho dari Konstantin Agung

Selama perang, Konstantin diberi petunjuk dalam mimpi agar pasukannya membawa simbol Chi (X) yang dibawa oleh Rho (P), yang mewakili dua huruf pertama dari kata Yunani ΧΡΙΣΤΟΣ (Christos). Dia mengalahkan Licinius dan Kekaisaran Romawi sekali lagi bersatu pada tahun 324.

Pengamatan

Kisah Konstantin dan tabib Wu menunjukkan satu hal yang sama: mereka yang percaya pada petunjuk ilahi akan dilindungi dan diberkati. Yang pertama memenangkan pertempuran dan memenuhi misinya untuk mengakhiri penganiayaan terhadap agama, sementara yang terakhir mampu menyembuhkan pasien yang percaya dan melafalkan ayat-ayat Tao.