(Minghui.org)
Masing-masing kebudayaan sejarah yang agung sedikitnya mempunyai
cerita “kebudayaan lonceng.”
Lonceng Tiongkok paling antik ditemukan dalam sebuah penggalian di
Provinsi Shanxi, berusia kira-kira 5000 tahun. Orang di jaman itu
membuat lonceng dari bahan keramik dan digunakan sebagai hiburan
setelah bekerja. Lama kelamaan, lonceng menjadi semakin
besar.
Selama Dinasti Han Barat dan Timur, karena
penyebaran agama Buddha, lonceng-lonceng dipakai di kuil-kuil dan
digunakan untuk memanggil para biarawan agar berkumpul
bersama-sama, itu menjadi instrumen ritual agama Buddha.
Penelitian menunjukkan bahwa selama Dinasti-Dinasti Selatan dan
Utara, lonceng-lonceng berukuran bundar dapat ditemukan di berbagai
kuil. Pada jaman Dinasti Selatan tercatat sekitar 500 kuil di dalam
wilayah kekaisaran, dan setiap kuil mempunyai lonceng–lonceng.
Selama Dinasti Tang dan seterusnya, teknik-teknik pembuatan lonceng
dikembangkan secara besar-besaran, dicetak dengan sempurna dan
dikreasikan dengan aneka bentuk yang unik, dan selama
dinasti-dinasti seterusnya, lonceng-lonceng menyebar populer di
setiap bangsa. Muncul ungkapan, “Di mana ada kuil pasti ada
lonceng; di mana tidak ada lonceng tidak akan ada kuil.”
Lonceng-lonceng ditemukan di kuil-kuil di mana-mana.
Lonceng merupakan hal penting dalam kebudayaan tradisional
Tiongkok. Di dalam banyak kuil di masa lalu, menara lonceng yang
besar meningkatkan kecemerlangan dan martabat kuil itu. Pada
tradisi agama Buddha, lonceng nyaring bergema merdu, dikatakan,
“Membangkitkan kesadaran dari orang-orang yang mengejar nama dan
keuntungan, memanggil orang-orang yang terbenam dalam lautan dosa.”
Lonceng kuil sebenarnya ada 2 jenis, yaitu Lonceng Fan, yang
tergantung di dalam menara lonceng, digunakan untuk memanggil
orang-orang untuk berkumpul atau mengumumkan waktu. Satu jenis lagi
adalah Lonceng Huan (lonceng kecil). Biasanya tergantung di dalam
sudut yang sepi dan digunakan untuk mengumumkan awal dari
acara-acara di kuil, oleh karena itu ia juga disebut “lonceng
acara.”
Di dalam buku Temple Regulations - Buddhist Instrument
(peraturan-peraturan kuil – instrumen agama Buddha), konon,
lonceng-lonceng memainkan peran sebagai komando di dalam kuil-kuil.
“Ketika ia berdentang di pagi hari, dapat membangunkan orang dari
tidur. Ketika berdentang di sore hari, ia menyingkirkan unsur-unsur
buruk.” Sudah umum jika lonceng digunakan untuk memanggil
orang-orang ke ruang utama, untuk belajar kitab suci, untuk
mengumumkan datangnya pagi, sebagai tanda waktu untuk tidur, untuk
makan dan lainnya, semua aktivitas ini dilaksanakan menurut
perintah dari lonceng.
Lonceng pagi-pagi sekali berbunyi dengan cepat pada mulanya, lalu
melambat, untuk membangunkan setiap orang. Ketika malam yang
panjang berlalu; jangan terus-menerus tidur, harus bangun dini hari
memanfaatkan waktu secara maksimal untuk berkultivasi. Bunyi
lonceng tiap malam lambat pada mulanya lalu berputar. Itu
mengingatkan bahwa berkultivasi adalah bersifat siaga pada senja
hari, serta membuang unsur-unsur yang tidak baik. Jadwal kuil
sehari-hari dimulai dan berakhir dengan membunyikan lonceng.
Dua cerita tentang seorang biksu muda yang pernah bertugas
untuk membunyikan lonceng
Seorang biksu muda di sebuah kuil bertugas untuk membunyikan
lonceng menurut perintah kuil, sebagai tanda untuk melakukan
sesuatu sehari-hari, pada pagi hari dan sekali pada sore hari. Pada
mulanya ia sangat serius. Tetapi enam bulan kemudian ia merasakan
tugas ini seperti mesin dan membosankan serta merasa tidak bebas.
Suatu hari kepala kuil mengumumkan perubahan tugas untuk biarawan
muda ini dan dia ditugaskan membawa potongan kayu dan air ke
pelataran belakang. Ia tidak lagi dekat dengan lonceng. Biksu muda
merasa aneh dan bertanya kepada kepala kuil, “Apakah karena saya
membunyikan lonceng tidak tepat waktu, tidak bergema dengan keras?”
Kepala kuil berkata, “Bunyi lonceng sangat nyaring, tetapi bunyi
itu sangat suci. Namun pikiran anda tidak memahami makna tentang
membunyikan lonceng, juga anda tidak melakukan itu dengan sepenuh
hati. Bunyi lonceng itu tidak hanya sekedar jam kuil, bagian
terpentingnya adalah untuk membangkitkan kesadaran semua makhluk
hidup yang tenggelam dan terlena. Oleh karena itu, bunyi lonceng
tidak hanya nyaring serta merdu, tetapi juga bulat, bertenaga, jauh
dan mendalam. Jika hati seseorang tidak memahami arti mendalam dari
hal ini, sama seperti tidak hormat kepada Buddha. Jika tidak tulus
hati, bagaimana mungkin anda menerima tugas tersebut?” Mendengar
kata-kata ini, biksu muda merasa malu. Sesudah itu, ia berkultivasi
dengan lebih serius dan akhirnya menjadi seorang biksu yang luar
biasa.
Pada pagi hari seorang biarawan lanjut usia mendengar lantunan
lonceng yang merdu. Ia dengan penuh perhatian mendengarkannya.
Dengan cepat bunyi lonceng berakhir, ia memanggil seseorang di
atas, bertanya, “Siapakah yang membunyikan lonceng?” Biarawan yang
dipanggil menjawab, “Seorang biarawan muda yang baru tiba.”
Biarawan tua berkata pada biarawan baru itu, “Pagi ini, ketika
membunyikan lonceng, bagaimana suasana hatimu?” Biarawan baru yang
sedikit bingung ditanya demikian menjawab, “Tanpa suasana hati
tertentu. Saya hanya membunyikan lonceng.” Biarawan tua berkata,
”Masa? Ketika membunyikan lonceng, pasti anda mempunyai suatu
pemikiran, karena suara yang saya dengar hari ini sangatlah mulia.
Hanya seseorang yang melakukan dengan sepenuh hati - baru dapat
menimbulkan suara demikian.” Biarawan baru berpikir sejenak dan
berkata, ”Sebenarnya, saya tidak berpikir tentang hal lain. Sebelum
saya menjadi seorang biarawan, guru keluarga saya seringkali
mengingatkan - ketika membunyikan lonceng, saya harus tulus
menghormati lonceng sebagai Buddha karena maknanya yang mendalam,
dan menggunakan segenap hati bisa menimbulkan bunyi agung,
menghormati Buddha agar berhasil melakukannya.” Biarawan tua itu
sangat senang atas jawaban biarawan muda dan berkata kepadanya,
“Mulai sekarang, saat anda menghadapi apa pun, pastikan anda tidak
melupakan pola pikir demikian.”
Sebetulnya, hal ini tidak hanya berlaku pada lonceng saja. Dalam
segala sesuatu, menggunakan pikiran dan mempunyai perhatian penuh
sangatlah penting. Kepala biara membebastugaskan biksu muda dalam
kisah pertama karena ia hanya mengerjakannya sebagai formalitas dan
tidak menganggapnya sebagai sebuah tugas yang sakral dalam
kultivasinya. Ia kurang rasa hormat, tidak memandang tugas ini
sebagai prioritas, dan kurang bertanggung jawab. Itulah sebabnya
lonceng yang dibunyikannya tidak bermakna. Biarawan yang kedua
memukul lonceng dengan baik, karena ia memahami “rasa hormat pada
lonceng sebagai Buddha.” Pikirannya diisi dengan rasa hormat kepada
Sang Buddha. Itulah mengapa dengan sendirinya ia telah bersikap
penuh tanggung jawab serta sepenuh hati melakukan tugas ini.
Pengaruhnya tentu saja baik.
Sebuah pepatah berkata, “Kita dapat menilai apakah seseorang punya
tekad atau tidak hanya dengan memperhatikan bagaimana cara ia
menyalakan api dan menyapu lantai.” Hanya ketika seseorang
melakukan dengan baik dalam berbagai hal kecil, baru dapat berhasil
di dalam melakukan hal besar. Ini juga melandasi kebenaran bahwa
hanya orang dengan pikiran lurus yang dapat melakukan perbuatan
lurus.
Yang dipikirkan hari ini
Para biarawan di dalam kuil pada masa lalu mengikuti bunyi lonceng
sebagai sebuah perintah, penanda kapan waktu bekerja dan istirahat,
menjalankan jadwal harian sesuai bunyi lonceng. Setiap orang
menganggap lonceng sebagai jam, secara konsisten memanfaatkan waktu
dengan ketat untuk berkultivasi.
Sementara berkultivasi di dalam masyarakat hari ini, kita para
pengikut Dafa sehari-hari tidak mempunyai “lonceng pagi dan sore”
untuk mengingatkan kita agar belajar Fa, melakukan latihan dan
memancarkan pikiran lurus. Kadang-kadang kita kehabisan waktu untuk
memancarkan pikiran lurus - barangkali karena pekerjaan atau
sebaliknya tidak berbuat lain. Lalu bagaimana kekuatan kita
melakukan lebih baik dan tepat waktu? Banyak praktisi menggunakan
alarm-alarm jam dan telepon genggam. Beberapa alarm yang di-set
tiap jam per hari. Selama kondisi mengijinkan, mereka menyampingkan
sejenak hal lain dan membersihkan pikiran mereka dengan memancarkan
pikiran lurus setiap jam.
Kultivasi sangatlah sangatlah serius. Di dalam agama Buddha ada
sebuah pepatah, “Hidup adalah sebuah napas.” Maknanya adalah
seorang kultivator harus menghargai waktu, dan memanfaatkan waktu
untuk gigih maju. Karena masa hidup hanyalah sekitar seratus tahun,
nama dan kekayaan berlalu dengan cepat. Hanyalah dengan
memanfaatkan waktu bagai emas, barulah orang dapat mengurangi karma
penderitaan samsara dan meningkat.
Guru berkata,
“Kalian mungkin berpikir: “Oh, jadi tidak masalah apakah saya
melewati ujian dengan baik atau tidak. Bagaimanapun juga, saya akan
santai saja, karena jika gagal hal ini akan merupakan kultivasi.”
Hal itu tak dapat diterima! Kalian harus giat. Jika kalian merosot
dan tidak gigih, maka saya juga dapat melihat hati kalian, dan
kalian tidak bertanggung jawab terhadap diri kalian sendiri. Jadi
kalian harus memperlakukan diri kalian sendiri sebagai seorang
kultivator sejati dan menangani masalah ini dengan serius. Hanya
dengan demikian kalian dapat menaikkan tingkat kalian secepat
mungkin.”(Ceramah Fa pada Konferensi Fa di Singapura”)
Seorang kultivator haruslah tepat waktu. Ketika waktunya untuk
memancarkan pikiran lurus, setiap praktisi menjadi kesatuan tubuh
dalam pikiran. Tak perduli bagaimana pentingnya hal-hal lain yang
dilakukan, tidak sepenting daripada satu kesatuan tubuh membasmi
kejahatan. Jika semua praktisi dapat benar-benar tenang dan
memiliki pikiran yang tenang untuk memancarkan pikiran lurus dengan
serentak dalam waktu yang bersamaan, serta memancarkan belas kasih
dan pikiran lurus, akan terlihat gambaran yang sangat bagus pada
dimensi-dimensi lain. Pikiran lurus yang kuat dapat membasmi
kejahatan dan membangkitkan kesadaran para makhluk.
Sumber: Clearwisdom.net