KAIFENG, China (Washington Post Foreign Service) – Ada sebuah pemukiman yang terletak di bagian timur kota yang dahulu sangat megah ini, namanya Apple Orchard. Tetapi sekarang tidak ada satu pun pohon apel, hanya ada gedung-gedung tua yang sudah suram dihuni oleh para pengangguran, yang sering bergerombol di tepi jalan berlumpur. Dahulu Liu Chunling dan putrinya Liu Siying, 12 tahun, bertempat tinggal di apartemen berlantai empat di Gedung Enam.
Sang ibu sangat pendiam yang hidup untuk dirinya sendiri, si anak adalah siswi kelas lima yang murah senyum dan selalu menegur orang-orang yang ditemuinya. Para tetangganya mengatakan ada sesuatu yang aneh dan menyedihkan pada diri Liu Chunling, dia sering memukuli anaknya, dan bahkan mengusir ibunya yang sudah tua. Dia bekerja di sebuah klub malam dan memperoleh uang dengan menemani pengunjung laki-laki.
Tak seorang pun menduga bahwa Liu, 36 tahun, ikut bergabung dalam
kelompok spiritual Falun Gong yang dilarang. Dan juga hampir tak
seorang pun memperhatikan ketika mereka berdua menghilang.
Dan tiba-tiba, mereka muncul di televisi nasional, tubuh mereka
diselimuti jilatan api oranye di Lapangan Tiananmen. Tampak Liu
Siying terbaring di usungan, wajah dan bibirnya terbakar hangus,
mengeluarkan suara lirih: “Mama, mama.” Sementara ibunya, menurut
penyiar, sudah meninggal.
Apa yang mendorong Liu, putrinya dan tiga lainnya dari Provinsi
Henan yang berjarak 350 mil (± 560 km) di selatan Beijing
menyiramkan bensin ke tubuh dan menyulutnya dengan api pada 23
Januari, pada malam Tahun Baru Imlek?
Suatu perdebatan seru sedang berlangsung untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan terkait kelima orang itu, apakah menjadi
korban aliran sesat, melakukan protes terhadap pemerintah yang
represif, atau perbuatan orang putus asa yang tersisih dari
masyarakat yang berkembang sangat cepat.
Partai Komunis yang sedang berkuasa telah melancarkan kampanye
besar-besaran, memanfaatkan insiden-insiden ini sebagai pembuktian
klaim mereka bahwa Falun Gong adalah sekte yang berbahaya, dan
memutarbalikkan opini publik di China maupun di luar negeri
terhadap kelompok ini yang telah dilarang 18 bulan yang lalu, dan
telah mencoba menghancurkannya, dari waktu ke waktu dengan
cara-cara brutal.
Setiap pagi dan malam, media yang dikontrol pemerintah menyiarkan
serangan-serangan baru kepada Falun Gong dan pemimpinnya yang
berada di AS, Li Hongzhi. Sekolah-sekolah diwajibkan “mengajar”
para murid tentang sekte ini. Berbagai sesi diskusi diorganisir di
pabrik-pabrik, kantor-kantor dan universitas. Para pemimpin agama,
hingga Tibet telah mengirimkan pernyataan tertulis. Di Kaifeng,
kantor pos menerbitkan perangko anti-Falun Gong, dan 10.000 orang
telah menandatangani petisi anti kelompok ini.
Pemerintah China juga telah menggunakan insiden ini untuk menekan
Hong Kong agar melarang Falun Gong, uji coba terhadap kekukuhan
kebijakan “satu negara, dua sistem” yang memberikan mantan koloni
Inggris tersebut otonomi terkait urusan dalam negeri mereka. Falun
Gong sah secara hukum di Hongkong; tetapi kepala keamanan wilayah
pada hari Kamis memperingatkan bahwa polisi akan memonitor
aktivitas grup ini dengan ketat.
Para pimpinan Falun Gong menyatakan tidak mungkin keluarga Liu dan
teman-temannya pernah menjadi anggota gerakan mereka, yang
mempromosikan campuran dari Buddhisme, Taoisme dan latihan
pernapasan China tradisional. Mereka berkata Falun Gong secara
jelas melarang kekerasan dan bunuh diri, serta menduga bahwa
pemerintah telah merekayasa insiden itu.
Beberapa aktivis pembela hak azasi manusia mengatakan bahwa aksi
bakar diri itu adalah wujud protes atas penindasan pemerintah
terhadap Falun Gong, yang berakibat ribuan orang ditahan dan 105
orang diantaranya meninggal dalam tahanan polisi. Tetapi Liu Siying
yang berumur 12 tahun itu pernah memrotes tindakan Beijing terhadap
Falun Gong di Lapangan Tiananmen sebelumnya, menurut Pusat
Informasi untuk Hak Azasi Manusia dan Demokrasi yang bermarkas di
Hong Kong
Ada tradisi bunuh diri bermotivasi politik di China. Pada awal
dinasti China terakhir, pada tahun 1640-an, ada ratusan orang bunuh
diri ketimbang hidup di bawah penjajahan bangsa Manchu. Kira-kira
250 tahun kemudian beberapa orang sarjana melakukan bunuh diri
memrotes tindakan dinasti Qing yang menolak konstitusi republik.
Dan yang paling akhir, banyak orang telah mengakhiri hidupnya untuk
menghindari kekerasan selama Revolusi Kebudayaan yang dicetuskan
Mao Zedong.
Tetapi sulit ditemukan contoh sebelumnya dari orang-orang yang
membakar diri di depan umum. Di Kaifeng, kota yang berpenduduk
700.000 jiwa, yang dahulu adalah ibu kota kekaisaran China, salah
satu kota yang terpadat penduduknya pada akhir abad 20, kebanyakan
penduduknya tidak menyetujui tindakan Liu dan teman-temannya
itu.
“Mereka telah mempermalukan Kaifeng, dan mereka mempermalukan China
di hadapan seluruh dunia. Itu sungguh keterlaluan,” kata Tang
Shaohua, 60 tahun, yang membuka toko makanan di sudut jalan dekat
tempat tinggal Liu.
“Sangat menyedihkan apa yang terjadi pada gadis kecil itu. Dulu
saya sering melihat dia bermain di sekitar sini,” tambah
tetangganya, Zhang Binglian, 60 tahun. “Falun Gong memang aliran
sesat. Saya sejak dulu berpikir begitu, sekarang saya semakin
yakin.”
Tetapi bahkan di Kaifeng, ada tanda-tanda kampanye propaganda
pemerintah telah kehilangan efektivitasnya. Beberapa penduduk
merasa jenuh dengan serangan terus-menerus terhadap Falun
Gong.
“Saya tidak mengatakan tidak percaya kepada pemerintah, tetapi juga
tidak mengatakan percaya,” kata Liu Xiaoyu, 39 tahun sambil membuat
kue bola di pasar malam. “Pemerintah mengontrol berita. Kami semua
tahu itu sekarang.”
Supir taksi Wang Chaohui mengatakan ia yakin Falun Gong adalah
agama seperti juga lainnya, dan berkata tidaklah adil menyalahkan
perbuatan lima individu pada sebuah kelompok dengan jutaan
praktisi. Ia melanjutkan, setidaknya penindasan terhadap Falun Gong
pasti akan memukul pemerintah sendiri.
“China sekarang berbeda, mereka tidak bisa menangkap setiap orang
yang percaya pada sesuatu seperti ini,” ujarnya. “Ini hanya akan
memperparah keadaan.”
Wang berkata pertanyaan sesungguhnya yang China harus hadapi adalah
mengapa demikian banyak orang percaya kepada sesuatu seperti Falun
Gong. “Mereka tidak puas dengan masyarakat,” katanya. “Itulah
masalahnya.”
Seperti di wilayah lain di China, Kaifeng telah mengalami kehidupan
kembali beragam agama ketika ideologi komunis turun pamornya. Lebih
dari satu dekade ini banyak warga beralih ke Nasrani, Buddhisme,
Taoisme – dan Falun Gong. Sebelum grup ini dilarang, banyak orang
berlatih meditasi di taman-taman kota.
Falun Gong telah menarik seluruh lapisan masyarakat China – anggota
partai, perwira militer senior, kalangan birokrat, guru dan jutaan
penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Di Kaifeng, di mana beberapa
pabrik ditutup dan ekonominya sedang merosot, banyak orang yang
mencari sesuatu yang bisa dipercayai.
Media pemerintah hanya bicara sedikit tentang mengapa lima orang
yang membakar diri itu bergabung ke Falun Gong. Beijing menolak
permintaan untuk mewawancarai Liu Siying dan ketiga orang yang
selamat, yang semuanya sedang dalam perawatan di rumah sakit karena
luka bakar yang serius. Seorang pejabat di Kaifeng mengatakan hanya
China Central Television (CCTV) dan perwakilan New China News
Agency yang diperbolehkan berbicara dengan keluarga dan koleganya.
Seorang pria yang menjawab pertanyaan di pintu rumah Liu merujuk
pertanyaan-pertanyaan agar diajukan ke pemerintah.
Tetapi para tetangga di Apple Orchard menggambarkan Liu Chunling
sebagai seorang wanita yang bernasib sial, menderita masalah
kejiwaan. Media pemerintah mengenali Hao Xiuzhen, 78 tahun, sebagai
ibu asuh yang memungutnya. Para tetangganya mengatakan mereka
sering bertengkar sebelum Liu mengusirnya tahun lalu.
“Ada sesuatu yang salah padanya,” kata Liu Min, 51 tahun,
tetangganya. “Ia memukuli ibunya, sampai ibunya menangis sambil
berteriak-teriak. Ia memukuli putrinya juga.”
Ada beberapa pertanyaan lagi, bagaimana Liu membiayai hidupnya, dan
di mana keberadaan bapak dari putrinya. Para tetangga bercerita
bahwa Liu bukan penduduk asli Kaifeng, dan seorang laki-laki di
Provinsi Guangdong selatan membayar sewa rumahnya. Tetangga yang
lain, termasuk Wen Jian, 22 tahun, mengatakan Liu bekerja di sebuah
klub malam setempat, dan mendapatkan uang dari menemani para
pelanggan makan malam dan berdansa.
Tak seorangpun pernah melihatnya berlatih Falun Gong.
© 2001 The Washington Post (Philip P. Pan 2/6/01
11:17)