(Minghui.org)
Setelah gelombang pemunduran diri dari keanggotaan Partai Komunis
Tiongkok dan dua organisasi pemudanya - yang terjadi selama 10
tahun terakhir ini - mencapai angka lebih dari 200 juta orang, kini
menyusul sebuah tren baru melanda daratan Tiongkok, yaitu:
gelombang tuntutan pidana terhadap Jiang Zemin, arsitek utama
penganiayaan terhadap Falun Gong di Tiongkok.
Sejak pengadilan di Tiongkok diwajibkan menerima tuntutan pidana
tertulis tanpa kecuali, dan tidak dapat secara otomatis menolak
tuntutan seperti di masa lalu, puluhan ribu rakyat Tiongkok kini
menggunakan hak hukum mereka, menuntut Jiang Zemin, mantan ketua
Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Aksi Damai di depan Kedubes Tiongkok
Dari 1 Mei 2015, saat perubahan
diberlakukan - hingga saat ini, lebih dari 25.000 tuntutan hukum
pidana terhadap Jiang Zemin, yang terkait penahanan ilegal,
penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, pencemaran terhadap praktisi
Falun Gong telah didaftarkan pada Kejaksaan Agung dan Mahkamah
Agung Rakyat Tiongkok.
Di bawah perintah dan kendalinya, Jiang Zemin pada Juni 1999
membentuk satuan rahasia yang berada di luar dan di atas kerangka
hukum – “Kantor 610” untuk melaksanakan perintah Jiang Zemin
terkait Falun Gong, yaitu: “Cemarkan Reputasinya, Bankrutkan secara
Finansial, Hancurkan secara Fisik.” Tiga kebijakan tersebut di
jenjang bawah telah diinterpretasikan sebagai kebebasan untuk
menahan, menyiksa, memperkosa dan membunuh praktisi Falun Gong,
bahkan mengambil organ tubuh mereka hidup-hidup tanpa perlu takut
akan sanksi hukum.
Kekejaman semakin dieskalasikan
oleh rejim komunis Tiongkok, dibarengi propaganda kebohongan,
pemutarbalikkan fakta dan pencemaran terhadap Falun Gong, yang
digambarkan sebagai kelompok anti-sosial, anti-kemanusiaan, sesat
dan lain-lain untuk menimbulkan kebencian publik terhadap kelompok
massa praktisi Falun Gong yang sesungguhnya sangat cinta damai dan
baik ini.
Sejak Juli 1999, 4000 praktisi Falun Gong telah diverifikasi
meninggal akibat penganiayaan, dan puluhan ribu lainnya meninggal
tanpa nama, menjadi korban pengambilan organ paksa di rumah
sakit-rumah sakit militer di Tiongkok.
Kebiadaban yang tanpa contoh, tentu tidak dapat terus dibiarkan.
Untuk itu, pada Sabtu sore, 4 Juli 2015, para praktisi Falun Gong
di Jakarta kembali menggelar aksi damai di depan Kedubes Tiongkok
dan menyerukan penghentian penganiayaan rejim komunis Tiongkok
terhadap praktisi Falun Gong di Tiongkok.
Selama aksi damai, sebagian dari tuntutan pidana dua praktisi
Tiongkok terhadap Jiang Zemin dibacakan. Chen Handong mengutarakan
pernah mengalami dua kali penahanan ilegal (tanpa melalui
pengadilan), masing-masing pada 2001 dan 2003 karena berlatih Falun
Gong. Pria yang tinggi besar namun lembut ini disiksa, dipukuli
selama penahanan pertama. Saat penahanan kedua, dia dikurung di
pusat pencucian otak, dan para petugas dari Kantor 6-10 setempat
melarangnya tidur dalam upaya untuk memaksanya melepaskan
keyakinannya pada Falun Gong dan prinsip Sejati-Baik-Sabar. Ia
sempat dipukuli hingga muntah darah di pusat pencucian otak.
Praktisi perempuan Li Xiuyun yang belum lama ini juga mengajukan
tuntutan hukum terhadap Jiang melalui Kejaksaan Agung Tiongkok,
menceritakan bahwa dia pernah ditahan sekitar 2 tahun karena
berlatih Falun Gong. Selama periode tersebut, dia disetrum dengan
tongkat listrik pada area sensitif perempuan, dilarang tidur dan
mengalami berbagai bentuk penyiksaan lainnya. Dia telah menjadi
saksi mata, bagaimana banyak praktisi di kamp kerja paksa yang sama
ditangani dengan obat-obatan tak dikenal, sehingga mereka
yang sebelumnya sehat jiwa dan raga, mengalami gangguan jiwa dan
kehancuran fisik.
Ketua Himpunan Falun Dafa di Indonesia, Gatot Machali
Ketua Himpunan Falun Dafa di
Indonesia, Gatot Machali mengatakan bahwa dirinya percaya keadilan
akan tiba dan akan tiba dengan cepat. Dia lebih lanjut mengatakan,
“Falun Gong mengajarkan Belas Kasih dan Toleransi terhadap sesama,
namun terhadap kejahatan yang sungguh keterlaluan, kita semua tentu
tidak bisa berdiam diri dan harus bersama-sama menghentikannya dan
para pelakunya harus diajukan ke muka pengadilan.”
Beberapa media seperti Antara, Epoch Times dan lainnya turut
meliput aksi damai tersebut dan mewawancarai praktisi. Petugas
polisi yang mengamankan kegiatan, bersikap simpatik. Banyak warga
yang melintas mengekspresikan dukungan moril mereka bagi
penghentian penganiayaan.
Liputan dari Media
Menjelang berakhirnya kegiatan, seorang warga Belanda yang tengah melintas, mengamati kegiatan dengan saksama. Dia berkata, “Saya sering pergi ke Tiongkok, dulu yang protes hanya orang miskin, sekarang banyak kalangan intelektual juga protes seperti dokter gigi dan lain-lain. Saya tidak percaya berita-berita yang berasal dari Media Tiongkok. Di sana bahkan mau buka Gmail saja tidak bisa. Di Indonesia media sudah beragam, mau kritik presiden pun bisa.” Dia berkata sering melihat aksi damai praktisi di depan kedubes Tiongkok, namun skala kecil dan ingin tahu kenapa praktisi melakukannya berulang-ulang. Praktisi menjelaskan bahwa sepanjang penganiayaan tidak dihentikan, tentu saja praktisi di Indonesia juga tidak akan berhenti menyuarakan penghentian penindasan di Tiongkok. Warga Belanda ini menunjukkan dukungannya dan berkata beberapa kali, “Saya percaya kalian akan berhasil.”