Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Kisah Xiulian Buddha Milarepa (7)

6 Juli 2018 |   Oleh Editorial Minghui

(Minghui.org) Pegunungan Himalaya sepanjang sejarah selalu menjadi tempat tinggal bagi banyak orang Xiulian, orang-orang menjalani hidup dengan sederhana, setiap orang pandai menyanyi dan menari, selain ini semua -- adalah menganut Fa Buddha. Pada saat itu ada seorang praktisi Xiulian bernama Milarepa. Semua status Buddha dan Bodhisattva adalah buah hasil kultivasi dari banyak kehidupan dan kalpa, tetapi Milarepa sebaliknya telah berhasil mencapai GongDe yang sepadan seperti Buddha dan Bodhisattva ini dalam satu generasi dan kehidupan, dan kemudian hari menjadi leluhur pendiri Tantra Tibet aliran Putih.

-------------------------------------------------------------------------

(Menyambung artikel sebelumnya)

Rechungpa kembali bertanya kepada Yang Mulia Milarepa: {Maha Guru yang saya hormati, bukankah Anda mengikuti instruksi dari Maha Guru Marpa untuk menetap beberapa tahun?}

Yang Mulia berkata: “Saya sama sekali tidak tinggal beberapa tahun, setelah menetap di sana tidak lama, saya pun kembali ke kampung halaman, alasan saya pulang kembali ke kampung halaman, akan saya ceritakan kepada kalian!”

“Ketika saya mengasingkan diri, dengan gigih berkultivasi memasuki Ding, hingga agak melampau batas. Sebelumnya saya belum pernah tertidur. Pada suatu pagi, tiba-tiba tanpa sadar telah tertidur, dan mengalami sebuah mimpi, dalam mimpi saya sudah kembali ke rumah tua di Kya Ngatsa. Terlihat rumah saya Empat Pilar Delapan Balok itu lapuk bagaikan telinga keledai tua, Sutra Maharatnakuṭa yang merupakan aset berharga turun-temurun, juga menjadi lusuh rusak parah karena tetesan air hujan yang bocor ke bawah, ladang segitiga ErMa di luar rumah juga penuh ditumbuhi oleh rumput liar yang menjalar, ibu telah meninggal, adik berubah menjadi pengemis, dan mengembara ke negeri asing. Saya teringat diri sendiri yang dari kecil mengalami kesialan, berpisah jauh dengan ibu, beberapa tahun ini, ibu dan anak tidak dapat bertatap muka, dalam hati timbullah kesedihan yang sangat besar, tidak tahan akhirnya menangis keras: {Oh ibu! Oh adik Peta!} Demikianlah dalam mimpi menangis hingga terbangun, air mata telah membasahi kerah baju, memikirkan ibu, membuat saya tidak dapat menahan derasnya air mata, kemudian bertekad ingin pulang ke rumah untuk menjenguk ibu.”

“Begitu hari menjadi terang, saya tanpa ragu menghancurkan pintu gua, datang ke kamar tidur Maha Guru, memohon Guru untuk mengizinkan saya pulang ke kampung halaman. Tak disangka Maha Guru masih tidur, saya pun berlutut di depan ranjang dia, melaporkan di samping bantal Maha Guru.”

“Maha Guru pun terbangun.”

“Waktu itu, matahari pagi, telah bersinar melalui jendela, menyinari kepala Maha Guru Marpa yang sedang terbaring di bantal. Pada saat yang sama, Shimu tepat sedang membawakan sarapan memasuki ruangan. Maha Guru Marpa berkata: {Oh anakku! Kamu tiba-tiba keluar dari pengasingan, apa alasannya? Khawatirnya ini gangguan dari Mara, cepatlah kembali kultivasi memasuki Ding!}”

“Saya pun kembali melaporkan kepada Maha Guru tentang mimpi dan suasana hati rindu terhadap ibu.”

“Maha Guru berkata: {Oh anakku! Ketika kamu pertama kali datang, pernah berkata, tidak menginginkan kampung halaman dan keluarga! Sekarang kamu sudah meninggalkan kampung halaman begitu lama, walaupun pulang kembali, juga belum tentu dapat bertemu dengan ibu kamu! Mengenai orang lain, dapat atau tidak dapat bertemu, saya juga tidak berani mengatakan, kamu telah tinggal lama di U Tsang, juga telah tinggal beberapa tahun di tempat saya ini. Apabila kamu sudah memutuskan ingin pulang kembali, saya bisa membiarkan kamu pergi, kamu bilang setelah kamu kembali ke kampung halaman akan kembali lagi ke tempat saya. Walaupun kamu berkeinginan demikian, takutnya sangat sulit untuk tercapai. Barusan ketika kamu masuk ke sini, tepat saya sedang tidur, ini tepatnya adalah Sebab-Musabab [Yuan] bahwa kita ayah dan anak di kehidupan ini tidak dapat bertemu sekali lagi!}”

“{Namun, matahari menyinari ruangan saya, menandakan bahwa ajaran kamu, akan seperti matahari pagi yang menyinari seluruh penjuru; terutama saat matahari tepat menyinari kepala saya, ini adalah Sebab-Musabab [Yuan] bahwa ajaran dari perguruan kultivasi ini akan tumbuh berkembang dan bersinar terang. Dakmema kebetulan membawa sarapan ke sini, juga menandakan kamu akan dapat menggunakan Samadhi untuk menyiapkan makanan dan menghidupi tubuh.}”

“{Oh! Sekarang saya juga mau tidak mau harus membiarkan kamu pergi? Dakmema, tolong kamu persiapkan sebuah pertemuan yang layak!}

“Demikianlah Shimu menyiapkan persembahan, Maha Guru mendirikan Mandala, menggunakan jalan pematangan dari ajaran telinga Jalan Kosong untuk memberi Guanding, juga lafalan pembebasan yang tidak pernah terdengar sebelumnya, semuanya diwariskan kepada saya.”

“Maha Guru berkata: {Oh! Lafalan ini, semuanya adalah isyarat yang diberikan kepada saya oleh Yang Paling Mulia Naropa, yang meminta saya mewariskannya kepada kamu, kamu juga seharusnya mengikuti isyarat dari Dakini agar mewariskan lafalan ini kepada pengikut yang berbakat paling baik hingga tiga belas generasi.”

“{Jika karena demi harta kekayaan, nama kepentingan, atau berharap mendapat persembahan dari orang, atau karena kesenangan pribadi, lalu mewariskan Fa ini, maka ini telah melanggar sumpah Jalan Kosong! Oleh karena itu kamu harus sangat berhati-hati dan menghargai ajaran lafalan ini, sungguh-sungguhlah menjalankan kultivasi dengan ‘rahasia’ ini. Jika bertemu pengikut yang berbakat baik, walaupun dia sangat miskin, tidak mempunyai materi apa pun untuk dipersembahkan, juga harus mewariskan Guanding dan lafalan kepada dia agar dia gunakan untuk menyebar-luaskan Fa Buddha. Mengenai Guru Leluhur Tilopa yang memberi Maha Guru Naropa berbagai macam penderitaan dan saya yang memberi kamu berbagai macam siksaan, cara-cara ini terhadap orang-orang yang berbakat rendah di kemudian hari, tidak akan ada gunanya, oleh karena itu tidak boleh digunakan lagi, sekarang ini walau di India sekalipun, jalan Fa sudah agak longgar; oleh karena itu di kemudian hari di Tibet, cara yang terlalu ketat semacam ini, juga tidak cocok untuk digunakan lagi.}”

“{Dafa Jalan Kosong, seluruhnya ada sembilan bagian, saya sudah mewariskan empat bagian kepada kamu, masih ada lima bagian lainnya, di kemudian hari di antara pengikut pewaris saya, akan ada satu orang pergi ke India untuk memohon Fa kepada pengikut keturunan langsung dari Naropa, bagi semua makhluk akan ada manfaat besar, kamu harus berupaya keras untuk memohon Fa utama ini.}”

“{Dalam hati kamu mungkin akan berpikir: {Saya sangat miskin, juga tidak ada barang persembahan, apakah Maha Guru telah sepenuhnya mewariskan lafalan kepada saya?} Kamu tidak perlu ada kecurigaan semacam ini. Harus tahu bahwa saya terhadap persembahan harta milik, sama sekali tidak ambil peduli; Kamu gunakan upaya keras dan gigih maju dalam menjalankan kultivasi sebagai persembahan, itu barulah persembahan yang sungguh-sungguh saya senangi! Kamu harus gigih maju dan berupaya keras, untuk menegakkan bendera kemenangan mencapai keberhasilan!}”

“{Saya telah mewariskan semua Fa utama tidak umum dari Yang Mulia Naropa, warisan dari ajaran telinga Jalan Kosong kepada kamu, lafalan-lafalan ini, Yang Mulia Naropa tidak mewariskannya kepada pengikut lain, hanya menurunkannya kepada saya seorang, dan sekarang saya akan wariskan lafalan ini kepada kamu, bagaikan menuangkan sebotol air ini ke botol yang lain, tak tersisa satu tetes pun, demi membuktikan bahwa ucapan saya bukanlah omong kosong belaka, atau pun berlebihan, sekarang, saya akan sampaikan sumpah di depan Maha Guru dan semua Buddha dari Tiga Dunia serta para Yidam pelindung Fa.}”

“Selesai berkata, tangan diletakkan di atas ubun-ubun kepala saya: {Anakku! Kali ini kamu akan pergi, saya dalam hati sangat sedih! Akan tetapi segalanya demi Fa, sumbernya adalah ketidak-abadian, saya juga tidak ada cara lain. Kamu jangan terburu-buru pergi, menginaplah di sini beberapa hari lagi, tinjaulah kembali semua Fa utama dan lafalan secara saksama; jika ada suatu pertanyaan -- ungkapkanlah, saya bisa membantu kamu menjawabnya.}”

“Saya mengikuti keinginan Maha Guru, kembali menginap beberapa hari, segala hal yang sulit dimengerti akhirnya berhasil diperjelas. Maha Guru pun berkata: {Dakmema! Persiapkan sebuah pertemuan yang paling baik untuk mengantar kepergian Mila.} Demikianlah Shimu pun mempersiapkan benda-benda persembahan untuk Maha Guru -- Buddha -- Bodhisattva, makanan persembahan untuk para Dakini sang pelindung Fa serta persembahan-persembahan untuk para saudara Vajra, mempersiapkan sebuah pertemuan yang sangat megah, Maha Guru menampilkan semua kemampuan supranatural [Shentong], yang tiba-tiba berubah menjadi Hevajra, yang tiba-tiba berubah menjadi Cakrasamvara Vajra, yang tiba-tiba berubah menjadi Guhyasamaja Vajra dan Vyuha para Yidam lainnya, peralatan Vajra seperti lonceng - alu - roda - permata - pedang dan dekorasi lainnya; merah - putih - biru - Om - Ah - Hum (Kouniu [moncong sapi]) (Tiga huruf Om - Ah - Hum (Kouniu) adalah dasar dari segala mantra Tantra. Huruf Om berwarna merah, Ah berwarna putih, Hum berwarna biru.) Tiga huruf memancarkan cahaya terang benderang, menampilkan berbagai macam bentuk Dewa yang belum pernah tampil sebelumnya. Dan berkata: {Semua ini hanyalah kemampuan supranatural tubuh saja, walaupun dapat tampil besar-besaran, juga masih ilusi buatan saja, tidak ada manfaat yang seberapa besar, hari ini demi mengantar kepergian kamu Milarepa, saya barulah menampilkannya.}”

“Setelah menyaksikan GongDe dan kemampuan Maha Guru yang tidak ada bedanya dengan semua Buddha, dalam hati timbul kegembiraan yang tak terhingga, berpikir: {Saya pasti harus berusaha keras menjalankan kultivasi. Juga memperoleh kemampuan supranatural yang sama dengan Maha Guru.}”

“Maha Guru bertanya: {Kamu sudah menyaksikan belum? Sudah tumbuh ketetapan hati belum?}”

“Saya berkata: {Sudah menyaksikan, Maha Guru! Jika tidak -- saya tidak akan tumbuh keyakinan hati untuk memutuskan! Saya ingin berusaha keras menjalankan kultivasi, di kemudian hari juga dapat memperoleh kemampuan supranatural seperti Maha Guru.}”

“Maha Guru berkata: {Benar sekali! Kamu harus menjalankan kultivasi dengan baik, ingatlah semua Fa yang diajarkan oleh saya dan pengajarannya yang bagaikan ilusi, kultivasilah bagai dalam khayalan. Mengenai tempat untuk menjalankan kultivasi, harus menggunakan gua di gunung bersalju, jurang berbahaya dan kedalaman hutan. Di antara lubang gua pegunungan ini, gunung Gyalgyi Sri [hari gembira] dari Lato adalah tempat terkenal yang telah di-Jiachi oleh semua praktisi India yang berhasil mencapai keberhasilan, boleh ke sana untuk menjalankan kultivasi. Gunung bersalju Lachi yang termasuk salah satu dari dua puluh empat tempat sakral, juga merupakan tempat terkenal untuk menjalankan kultivasi. Gunung Riwo Palbar di Mangyul, Yolmo Gangra di Nepal -- tempat terkenal yang diberi isyarat dalam sutra Avatamsaka [Huayuan jing], Dingri Chuwar, sebagai tempat berkumpulnya Dakini pelindung bumi, juga merupakan tempat terkenal untuk menjalankan kultivasi. Yang lainnya, segala tempat yang tidak ada manusianya, ketika jodoh [Yuan] mencukupi, juga dapat untuk menjalankan kultivasi. Kamu harus mendirikan bendera kemenangan dalam menjalankan kultivasi di tempat ini!}”

“{Dari semua tempat terkenal tersebut -- di belahan timur, ada Devikoti dan Tsari. Sekarang ini Yinyuannya belum tiba, jadi belum muncul, di kemudian hari -- saat kamu membabarkan Fa, akan muncul sekelompok orang berbakat untuk membawa tempat ini menjadi terang benderang.}”

“{Kamu harus menjalankan kultivasi di tempat terkenal yang diceritakan di atas. Bila berhasil memperoleh pencapaian, itu juga termasuk persembahan terhadap Maha Guru, balas budi terhadap Shimu, dan manfaat bagi semua makhluk. Selain hasil akhir menjadi Buddha, segala hal apa pun tidak dapat dihitung sebagai persembahan terbaik, suatu balas budi, atau pun misi yang sungguh bermanfaat untuk orang lain. Jika tidak berhasil mencapai keberhasilan, walaupun panjang umur ratusan tahun, juga tidak lebih -- hanya hidup untuk melakukan lebih banyak dosa karma saja. Oleh karena itu kamu harus melepaskan segala keserakahan dalam kehidupan ini dan kecintaan terhadap dunia fana ini; jangan menjalin hubungan dengan orang yang terjatuh dalam urusan duniawi, jangan membicarakan gunjingan yang tiada gunanya, harus sepenuh hati berusaha keras menjalankan kultivasi!}”

“Maha Guru sambil berkata demikian, sambil meneteskan air mata, menatap saya dengan belas kasih dan berkata: {Anakku! Kita ayah dan anak di kehidupan ini sudah tidak dapat bertemu muka lagi, saya selamanya tidak akan melupakan kamu! Kamu juga jangan melupakan saya! Bila kamu dapat berbuat sesuai dengan semua perkataan saya, di kemudian hari, kita pasti akan bertemu di tanah sakral Jalan Kosong yang murni. Anakku! Kamu seharusnya bersuka cita!}”

“{Di kemudian hari saat kamu menjalankan kultivasi, akan terjadi halangan serius terhadap meridian Qi, setibanya saat itu, barulah surat ini dibuka untuk dilihat isinya. Belum tiba saat itu, sama sekali tidak boleh dibuka.} Sambil berkata lalu memberi saya sebuah surat yang telah disegel rapat dengan lilin. Saat itu semua kata-kata yang disampaikan oleh Maha Guru, saya rekam sungguh-sungguh di dalam hati, ajaran Maha Guru bagi saya sungguh bermanfaat dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di kemudian hari setiap kali terpikir dengan ajaran Maha Guru, hati Shan [Baik] segera akan tumbuh, kultivasi segera akan selangkah lebih maju; Oh karunia mendalam Maha Guru, sungguh tidak selesai untuk dibicarakan!”

“Maha Guru kemudian berkata kepada Shimu: {Dakmema! Kamu bersiap-siap besok mengantar kepergian Mila si Dali! Saya dalam hati walaupun sangat sedih, saya tetap harus mengantar dia. Anakku! Malam ini tidurlah bersama saya, biar kita ayah dan anak bisa bercakap-cakap lebih banyak!}”

“Malam itu, saya pun tinggal di dalam kamar Maha Guru, untuk menemani Maha Guru; Shimu juga ikut bersama, Shimu sangat sedih, tidak tahan meneteskan air mata. Maha Guru pun berkata: {Dakmema! Nangis apa! Dia sudah di depan Maha Guru memperoleh lafalan paling mendalam dari ajaran telinga Jalan Kosong, dan akan pergi ke dalam gua untuk menjalankan kultivasi, apa ada yang perlu ditangisi? Sifat dasar dari semua makhluk bersumber dari sifat Kebuddhaan, dikarenakan oleh ketidak-tahuan [avidya], bukan saja tidak dapat membuktikan akar dari kesadaran Kebuddhaan sendiri, sebaliknya malah tersesat dalam hidup mati penderitaan. Sebenarnya orang-orang yang telah memperoleh tubuh manusia namun tidak dapat bertemu dengan Fa Ortodoks, barulah sungguh patut dikasihani, orang-orang itu, barulah sungguh-sungguh pantas menangis. Jika kamu ingin menangisi orang-orang itu, maka, takutnya kamu harus menangis sepanjang hari!}”

“Shimu berkata: {Perkataan Maha Guru memang benar, tetapi siapa yang bisa demikian belas kasih sepanjang hari? Putra kandung saya sendiri, baik Fa duniawi maupun Fa luar duniawi -- semuanya sangat dikuasai, pasti dapat menjalankan misi besar yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, namun dia malah telah mati. Saya dalam hati sudah sangat sedih; sekarang murid yang patuh dan menjalankan segala perintah - yang tanpa kelalaian sedikit pun - yang memiliki keyakinan dan kebijaksanaan serta belas kasih, juga sudah harus berpisah dengan saya. Saya belum pernah ada seorang murid yang demikian baik, saya sungguh tidak dapat menahan kesedihan dalam hati ......} Kata-kata belum selesai diucapkan, air mata sudah mengalir makin banyak, pada akhirnya hanya bisa menangis tersedu-sedu!”

“Saya juga mulai menangis karena tidak tahan, Maha Guru pun tiada hentinya menggunakan tangan untuk menyeka air mata dia. Tiga orang guru dan murid saling meratap tak mau berpisah, sedih tanpa henti, tak ada siapa pun yang bisa mengucapkan kata-kata; demikianlah malam itu, sebenarnya sama sekali tidak dapat mengobrol hal apa pun.”

“Keesokan harinya, sambil membawa makanan dari pertemuan, tiga belas orang guru dan murid mengantar saya sampai belasan Li jauhnya, di jalan semua orang sangat murung karena sedih, sangat enggan untuk berpisah. Setibanya di Chola Gang, pemandangan dari empat penjuru semuanya terpampang, semua orang pun duduk di lereng itu, dan mempersiapkan pertemuan.”

“Maha Guru menarik tangan saya dan berkata: {Anakku! Kamu sudah akan pergi ke U Tsang! Di Silma daerah Tsang dan daerah lainnya, para bandit sangat banyak berkeliaran, saya awalnya memang ingin mengutus seseorang untuk mengantar kamu, namun Yinyuan menampilkan, hanya cocok kamu seorang yang pergi. Sekarang walaupun kamu melakukan perjalanan seorang diri, namun saya akan berdoa memohon Maha Guru dan para Yidam untuk memberikan Jiachi, memerintahkan Dakini pelindung Fa untuk melindungi kamu; kamu tidak perlu khawatir, di jalan tidak akan timbul masalah apa pun. Walaupun dikatakan demikian, namun kamu masih harus berhati-hati sedikit.}”

“{Kamu bisa terlebih dulu tiba di tempat Lama Ngokton, coba bandingkanlah lafalan dengan dia, coba lihat apakah ada perbedaan apa. Dari sana barulah pulang ke rumah. Di kampung halaman kamu, hanya boleh tinggal tujuh hari, kemudian harus pergi ke pegunungan untuk menjalankan kultivasi, demi misi mencapai keberhasilan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.}”

“Kemudian Shimu pun menyiapkan pakaian - topi - sepatu saya dan makanan yang dibutuhkan di perjalanan dan lain-lain, semuanya dianugerahkan kepada saya. Berkata sambil meneteskan air mata: {Anakku! Ini tidak lebih hanyalah sedikit cendera mata saja, ini adalah saat terakhir dari kita ibu dan anak saling bertemu di kehidupan ini. Saya berharap kamu aman damai sepanjang jalan, kemudian mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Harus janji kita berdua ibu dan anak di kemudian hari dapat bertatap muka di tanah sakral Ugyen!}”

“Selesai Shimu berkata demikian, kembali mulai menangis karena sedih. Orang-orang yang mengantar kepergian juga ikut meneteskan air mata. Saya dengan khidmat memberi hormat kepada Maha Guru dan Shimu, menyentuhkan kening ke kaki mereka; Setelah Shifu dan Shimu meraba ubun untuk memberi Jiachi dan mengikat janji, kami pun berpisah.”

“Saya terus menolehkan kepala ke belakang, untuk melihat orang-orang yang mengantar kepergian, semua orang masih tiada hentinya meneteskan air mata, saya sungguh tidak dapat menahan sehingga menolehkan kepala kembali. Secara perlahan jalan pegunungan mulai bercabang, secara bertahap tidak terlihat lagi Maha Guru dan Shimu.”

“Ketika saya selesai melewati sebuah jalan kecil, melompati sebuah anak sungai, ketika menolehkan kepala melirik, walaupun jarak terpisah sudah sangat jauh sehingga tidak terlihat jelas; namun masih dapat secara samar-samar terlihat Maha Guru dan semua orang, seakan masih tidak rela melepas saya dan menatap ke arah kepergian saya. Saya diselimuti kesedihan, tidak tahan hampir ingin berlari pulang ke sana; namun terpikir lagi, saya sudah memperoleh lafalan untuk mencapai kesempurnaan, asalkan tidak melakukan dosa karma yang melanggar Fa, setiap saat mengingat Maha Guru, memberi hormat kepada Maha Guru, juga tidak ada bedanya dengan berkumpul bersama Maha Guru. Di kemudian hari pasti akan bertemu lagi dengan Maha Guru dan Shimu di tanah sakral murni. Kali ini, terlebih dulu pulang kembali ke kampung halaman untuk menjenguk ibu, barulah kembali untuk bertemu Maha Guru -- bukankah juga boleh demikian? Demikianlah dengan usaha keras menekan kesedihan dalam hati, dan berjalan menuju kediaman Lama Ngokton.”

“Setelah bertemu Lama Ngokton, lalu melakukan sebuah perbandingan antara lafalan milik dia dan saya; dalam aspek penjelasan ajaran Tantra dan kemampuan teori, dia lebih baik dari saya; namun dalam hal lafalan untuk menjalankan kultivasi, saya sama sekali tidak lebih lemah dibanding dia; terutama lafalan Jalan Kosong, yang saya ketahui malah lebih banyak dibanding dia. Pada akhirnya saya memberi hormat kepada Lama Ngokton, setelah mengikat janji, lalu langsung pulang ke kampung halaman sendiri.”

“Rute perjalanan lima belas hari, telah ditempuh dalam tiga hari. Saya dalam hati berpikir: {Daya kemampuan dari kultivasi Qigong, sungguh sangat besar sekali!}”

Rechungpa kembali bertanya: “Wahai Maha Guru yang saya hormati! Setelah Anda pulang ke kampung halaman, situasi di kampung halaman apakah sama dengan yang ada dalam mimpi? Akhirnya apakah berhasil bertemu dengan ibu Anda?”

Yang Mulia berkata: “Situasi di rumah, persis seperti pertanda dalam mimpi, saya sama sekali tidak bertemu dengan ibu saya.”

Rechungpa berkata: “Kalau begitu setelah Anda pulang ke rumah, situasinya seperti apa? Di desa terlebih dulu bertemu dengan apa?”

“Ketika saya tiba tidak jauh dari kampung halaman, terlebih dulu pergi ke aliran sungai di dekat desa, dari sana dapat terlihat rumah saya. Di dekat situ ada banyak sekali anak-anak sedang menggembala domba. Saya pun berkata kepada mereka: {Teman! Mohon tanya -- apakah kalian tahu rumah besar di sana milik siapakah?}

“Seorang anak penggembala yang umurnya lebih tua berkata: {Rumah itu bernama ‘Rumah Empat Pilar Delapan Balok’, dalam rumah selain ada hantu, tidak ada bayangan seorang manusia pun!}”

“Pemilik rumah apakah sudah mati? Ataukah sudah pergi ke tempat jauh?”

“{Dulu keluarga itu adalah sebuah keluarga yang paling kaya di desa ini, dalam keluarga itu ada seorang putra, karena ayahnya yang mati lebih awal, ketika mati, surat wasiat tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga semua aset keluarga mereka direbut oleh para saudaranya. Setelah sang putra tumbuh dewasa menjadi orang, meminta serah terima kembali; namun para saudaranya tidak bersedia mengembalikan kepada dia. Akhirnya sang putra bersumpah pergi belajar teknik mantra. Seperti yang diperkirakan dia kemudian melepas mantra dan menurunkan hujan es batu, telah membunuh banyak sekali orang, membuat desa hancur berantakan! Kami selaku orang desa, semuanya takut dengan Dewa pelindung Fa milik dia; jangankan pergi ke dalam rumah dia itu, bahkan melihat pun tidak berani! Saya rasa sekarang ini di dalam rumah itu takutnya mungkin hanya ada mayat sang putra dan ibu serta para hantu. Dia masih memiliki seorang adik perempuan, anak gadis itu saking miskinnya hingga menelantarkan mayat ibu dia, tidak tahu sudah pergi ke mana untuk mengemis makanan. Sedangkan sang putra itu, apakah hidup atau mati, beberapa tahun terakhir sebuah surat pun juga tidak ada. Dengar-dengar katanya dalam rumah itu masih ada banyak kitab sutra, jika kamu punya keberanian, tidak ada salahnya masuk ke dalam untuk melihat-lihat.}”

“Saya bertanya terus kepada anak penggembala itu: {Hal ini sudah berlalu berapa tahun?}”

“Anak penggembala berkata: “Ibu dia telah mati kira-kira delapan tahun. Persoalan melepaskan mantra dan menurunkan hujan es, saya masih ingat dengan sangat jelas; hal-hal yang lain semuanya adalah hal yang saya dengar dari orang-orang ketika saya masih sangat kecil, sekarang sudah tidak terlalu ingat lagi.}”

“Saya berpikir dalam hati; para penduduk desa takut dengan Dewa pelindung Fa saya, mungkin tidak berani mencelakakan saya. Juga tidak tahu apakah ibu sungguh telah mati, adik telah pergi ke tempat lain untuk mengemis makanan, dalam hati sedih sekali.”

“Ketika tidak ada orang menjelang malam, saya sendirian berlarian di sisi sungai, menangis sekeras-kerasnya, begitu langit menjadi gelap langsung masuk ke dalam desa. Semua situasi yang terlihat persis seperti yang terlihat dalam mimpi: ‘ladang pertanian di luar penuh dengan gulma dan semak belukar; rumah dan aula Buddha yang megah berkilauan -- sekarang telah lapuk’. Ketika memasuki dalam rumah terlihat: ‘Peralatan dan sutra Fa Ortodoks sudah ditetesi oleh air hujan hingga hancur berantakan, lumpur dan kotoran burung di tembok juga jatuh bertebaran dari atas; setumpuk sutra hampir berubah menjadi sarang dari tikus dan burung kecil’.”

“Melihat ini semua, teringat kembali masa lalu, satu gelombang perasaan sedih langsung menyelimuti hati. Berjalan hingga di pintu masuk, terlihat sebuah gundukan bercampur bersama dengan pakaian lapuk dan tanah, di atasnya penuh dengan gulma. Saya menggunakan tangan untuk membuka gundukan, di dalamnya ditemukan setumpuk besar tulang manusia. Pada awalnya dalam hati timbul rasa bingung, tiba-tiba teringat, ini adalah tulang ibu! Kesedihan mencekik tenggorokan saya, dalam hati sakit bukan main, tak disangka pingsan dan jatuh ke lantai. Tak lama kemudian tersadar kembali, segera teringat dengan lafalan Maha Guru, lalu memvisualisasikan jiwa ibu dan mengharmoniskan hati sendiri dengan belas kasih Maha Guru yang diwariskan langsung secara lisan. Saya memberi hormat dengan kepala ke tulang ibu, Tubuh, Mulut, Pikiran dalam sekejap secara teratur memasuki Maha Shouyin Samadhi. Demikianlah melewati tujuh hari tujuh malam, menyaksikan sendiri ayah dan ibu terbebas dari penderitaan, telah membubung hingga ke Tanah Suci.”

“Tujuh hari kemudian, saya pun keluar dari kondisi Ding Samadhi. Memikirkan dengan teliti, dalam siklus reinkarnasi -- segala metode juga tidak ada maknanya; segala hal duniawi, sungguh sedikit kegunaan pun tidak ada. Saya ingin membuat tulang ibu menjadi sebuah patung Buddha, dan mempersembahkan peralatan dan sutra Fa Ortodoks di depan patung Buddha; diri sendiri pun bertekad masuk ke gua Humapai [Kuda Putih Pelindung] untuk menjalankan kultivasi siang malam; jika hati tidak mantap, tergerak oleh delapan angin duniawi ([delapan angin] juga disebut delapan hal duniawi ---- penderitaan - kesenangan - miskin - kaya - gunjingan - reputasi - nama - uang. Delapan hal ini dapat menggerakkan hati biksu, nama kunonya adalah delapan angin), maka lebih baik bunuh diri saja daripada terpikat olehnya. Jika dalam hati timbul sedikit saja hati yang memohon kenyamanan dan kesenangan, maka berharap Dakini pelindung Fa untuk mencabut nyawa saya. Demikianlah berulang kali bersumpah terhadap diri sendiri, menetapkan tekad hati.”

“Pada akhirnya, sisa tulang ibu dikumpulkan dengan baik; ketika membersihkan kotoran burung di atas kumpulan sutra yang berharga, ditemukan bahwa bagian yang hancur karena tetesan hujan masih belum terlalu banyak, tulisan tangan masih dapat terlihat dengan sangat jelas. Kemudian tulang ibu dan kumpulan sutra berharga sekaligus dipikul di punggung, dalam hati ada kesedihan tanpa batas. Terciptalah sifat antipati yang ekstrem terhadap siklus reinkarnasi duniawi, memutuskan untuk melepas semua duniawi, dengan rajin berkultivasi Fa Ortodoks. Ketika melangkah keluar dari pintu rumah, kesedihan memenuhi hati, sambil berjalan sambil menyanyikan sebuah lagu tentang berhasil Wu [Sadar] terhadap kepalsuan duniawi.”

“Saya sambil menyanyi sambil melangkah, melangkah hingga ke rumah guru yang dulu mengajari saya membaca tulisan. Namun guru itu juga sudah meninggal dunia; saya pun mempersembahkan kumpulan sutra berharga kepada putra dia, dan berkata: {Semua sutra ini saya persembahkan kepada anda, mohon anda buat sebuah patung Buddha dengan sisa tulang ibu saya.}”

“Putra dari guru berkata: {Tidak! Sutra anda ada Dewa pelindung Fa di belakangnya, saya tidak berani terima; namun perihal membuat patung Buddha, saya bisa membantu anda membuatnya.}”

“Saya berkata: {Anda tenang saja! Ini adalah saya secara pribadi persembahkan kepada anda, Dewa pelindung Fa tidak akan datang.}”

“Dia berkata: {Kalau demikian saya bisa tenang!} Demikianlah dia pun membantu saya membuat patung Buddha dengan tulang ibu; setelah melakukan upacara Kaiguang, diletakkan di dalam pagoda. Setelah semuanya beres, dia dengan tulus berkata kepada saya: {Mohon anda tinggallah beberapa hari di tempat saya ini, kita bisa mengobrol dengan baik-baik.}”

“Saya berkata: {Saya tidak ada waktu untuk mengobrol panjang dengan anda, saya tidak sabar lagi ingin menjalankan kultivasi!}”

“Dia berkata: {Kalau begitu mohon anda malam ini menginap semalam di tempat saya, besok saya masih akan mempersembahkan bahan makanan kepada anda untuk menjalankan kultivasi.} Demikianlah saya pun setuju untuk menginap di tempat dia semalam. Dia berkata: {Ketika anda masih muda, berkultivasi metode kutukan dan teknik melepas mantra; sekarang berkultivasi Fa Ortodoks, sungguh kesempatan yang sulit diperoleh; di kemudian hari pasti dapat mencapai keberhasilan besar, mohon anda beritahu saya, anda telah bertemu seorang Maha Guru yang seperti apa? Telah memperoleh Fa utama apa!}”

“Saya pun menceritakan perihal awal memperoleh Maha Fa Pencapaian Kesempurnaan [Da Yuan Man Fa] ketika mengikuti Lama aliran Merah dan kemudian bertemu Maha Guru Marpa dan situasi lainnya secara detail kepada dia.”

“Setelah dia mendengarnya lalu berkata: {Sungguh kesempatan yang sulit diperoleh! Kalau begitu, anda dapat belajar dari contoh Maha Guru Marpa, diri sendiri membangun sebuah rumah, ambillah tunangan anda Zessay sebagai istri, mewariskan aliran dari Maha Guru -- bukankah itu hal yang sangat bagus?}”

“Saya berkata: {Maha Guru dikarenakan demi memberi manfaat kepada semua makhluk, barulah mengambil istri, saya tidak memiliki kemampuan seperti ini. Tempat singa melompat, jika kelinci terlalu percaya diri juga ikut melompat, pasti akan terjatuh mati. Apalagi, terhadap siklus reinkarnasi duniawi, saya secara ekstrem merasa jijik! Di atas dunia, selain lafalan dan jalan kultivasi milik Maha Guru, segala hal yang lain saya pun tidak mau, dengan saya pergi ke dalam gua menjalankan kultivasi, berarti memberi persembahan yang paling baik terhadap Maha Guru; juga berarti mewariskan aliran Maha Guru; juga berarti cara terbaik untuk membuat Maha Guru bersuka cita. Bermanfaat untuk semua makhluk, menyebar-luaskan Fa Buddha. Juga hanya dengan menjalankan kultivasi barulah bisa tercapai; Chaodu [menyeberangkan roh] ayah dan ibu hanya dengan menjalankan kultivasi barulah dapat tercapai; memberi manfaat untuk diri sendiri juga harus bergantung pada kultivasi. Selain menjalankan kultivasi, hal yang lain saya semuanya tidak tahu, juga tidak ingin peduli, lebih-lebih tidak timbul ketertarikan.}”

“{Kali ini saya pulang ke kampung halaman, melihat rumah hancur lebur, keluarga meninggal dan terpisah, membuat saya secara mendalam memperoleh Wu [Sadar] bahwa ilusi hidup manusia tidak abadi. Orang-orang mengadu nasib untuk memperoleh uang, pada akhirnya dengan susah payah berhasil menikah dan membangun rumah, juga tidak lebih hanyalah sebuah mimpi ilusi; membuat saya makin timbul hati antipati yang tiada bandingnya.}”

“{Bangunan rumah persis seperti dimakan api, banyak orang yang belum mengalami penderitaan hidup manusia, dan mereka yang lupa bahwa hidup manusia pada akhirnya harus mati dan setelah mati bereinkarnasi harus menanggung derita, barulah akan mengejar kesenangan duniawi. Namun saya yang telah melihat tembus kehidupan manusia, walaupun miskin kelaparan dan ditertawai oleh orang lain, telah bertekad akan memanfaatkan sisa hidup saya, untuk menjalankan kultivasi demi kepentingan diri sendiri dan semua makhluk.}”

“Jatuhnya keluarga, fakta matinya ibu dan perginya adik, memberi saya pelajaran moral yang tak terlupakan, secara mendalam mengalami langsung makna sejati dari ketidakabadian [anitya]. Saya tanpa disadari berulang kali mengucapkan {pergi ke pegunungan untuk menjalankan kultivasi}. Di lubuk hati terdalam, juga berulang kali telah menetapkan hati, bertekad meninggalkan segala kesenangan duniawi, menghabiskan sisa hidup saya, sepanjang napas untuk menjalankan kultivasi.”

(Bersambung)