(Minghui.org) Saya mulai berkultivasi Falun Gong sejak akhir Juni 1999. Ketika itu saya sudah melakukan latihan Dafa sekitar tiga bulan, sekaligus belajar Tantra Tibet. Setelah mendengarkan Ceramah Sembilan Hari, saya mengalami pertentangan batin namun tidak lama, akhirnya memutuskan untuk berspesialisasi tunggal pada Falun Dafa—karena saat itu saya tidak mengalami kemajuan dalam kultivasi. Menoleh ke belakang, meski saya masih berada di tengah upaya menjadi orang yang lebih baik, saya telah membuat beberapa kemajuan positif.
Saya orang Amerika generasi kedua, campuran Polandia dan Rusia-Jerman. Meskipun keluarga saya bukan penganut Katolik dan Protestan, mereka menanamkan nilai-nilai Kristiani dalam diri saya untuk membedakan mana yang benar dan salah. Semua dari mereka dibesarkan oleh ibu yang sangat religius. Terlepas oleh latar belakang orang tua yang sederhana, tumbuh di sebuah keluarga yang bertepatan dengan masa Depresi, mereka berharap anak-anak mereka sukses di aspek kekayaan materi, karena itu prestasi di sekolah dianggap sangat penting. Sebagai seorang anak, saya dibentuk dalam situasi persaingan ketat nilai pelajaran saat di sekolah menengah. Pada saat yang sama, saya juga merasa terpacu untuk menjadi yang terbaik. Hasilnya, saya tidak hanya sukses di sekolah, tapi juga pandai menganalisis kesalahan-kesalahan saya sendiri (termasuk orang lain)—di mata orang, saya adalah anak yang luar biasa. Saya sangat ceria dan senang membantu. Saya memiliki sikap tanpa pamrih. Pada saat duduk di perguruan tinggi, saya berhasil meyakinkan orang-orang akan kelebihan saya, sekaligus meyakinkan diri sendiri.
Karena alasan ini, saya menganggap kultivasi sulit dipraktekkan. Saya sudah puas dengan kehidupan saya karena selaku diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Meski pendidikan pascasarjana menambah tekanan dalam hidup, saya terus belajar dan mendapat rangsangan intelektual. Kendati suami dan saya kadang khawatir dengan masalah keuangan, dia masih memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan tambahan saya juga membantu, sehingga kami dapat membayar biaya sewa, makan, serta kebutuhan lain. Saya punya banyak teman untuk bergosip dan bersenang-senang. Hidup terasa menyenangkan.
Setelah menyelesaikan ujian komprehensif, saya dan suami pindah ke Kota Kansas, di mana dia menemukan pekerjaan yang lebih baik dan menantang. Saya memutuskan untuk bekerja paruh waktu sambil menulis disertasi saya. Hubungan dengan teman-teman menjadi berkurang, dan memicu tantangan untuk membuat proyek serta gagasan baru. Saya masih memiliki sikap yang sangat optimis tentang kehidupan karena saya menganggap Kansas hanya batu loncatan untuk sesuatu yang lebih menarik. Pada saat yang sama, saya juga mulai menilai kemajuan saya sebagai seorang praktisi jalan spiritual.
Setelah pertama kali mendengarkan ceramah Guru Li, saya merasa sangat terbantu. Saya merasa seperti orang berbeda. Saya dapat menahan diri melontarkan sarkasme saat suami marah pada saya. Saya bisa memantau perilaku saya lebih mudah serta dapat memandang dunia dalam warna yang lebih cerah.
Begitu berkultivasi hati dengan sungguh-sungguh, saya mulai merasakan derita penyesalan setelah menyadari apa yang telah saya lalui selama ini. Berbulan-bulan, terutama saat latihan meditasi saya kembali dihadapkan oleh kenyataan, yang membuat saya menangis hingga lelah. Saya menangis bukan karena kasihan pada orang lain, tapi atas segala hal buruk yang pernah saya lakukan, menyadari bahwa saya hidup dalam kebohongan—khayalan indah yang saya ciptakan sendiri, agar tampak bijaksana, penuh kasih sayang. Saya menangis ketika menyadari betapa baiknya orang-orang di sekitar saya selama ini. Orang tua mengabulkan semua permintaan saya. Suami mengorbankan banyak tahun bekerja di tempat yang ia benci, agar saya bisa mengenyam pendidikan pascasarjana. Namun sebaliknya saya membalas kebaikan mereka dengan ketidakpedulian yang angkuh. Saya menangis karena mentalitas pamer yang tertanam dalam di lubuk hati. Hampir semua ucapan saya mengandung hasrat untuk memamerkan diri. Sebagai contoh saat saya diperkenalkan pada seseorang, saya akan berkata bahwa saya sedang menjalani program Doktor (Seakan mereka membutuhkan informasi itu!) Saat mengajar di kelas akting (studi saya di bidang teater), saya meminta para siswa untuk menyanyikan salah satu lagu musikal, serta menyelipkan beberapa komposisi saya sendiri (seakan saya perlu memamerkan bakat saya pada para siswa SMP ini). Semua kejadian kecil ini membuat saya membenci diri sendiri. Mungkin kedengarannya bukan cara yang sehat, tapi penyesalan ini sangat membantu saya. Melihat diri yang sebenarnya, saya bertekad untuk menyingkirkan mentalitas pamer—sampai pada kesempatan berikutnya, kebiasaan buruk tersebut terulang lagi. Tiga bulan lamanya saya berjuang dan menangis, dan sekarang saya hanya membutuhkan waktu sedikit untuk menyingkirkannya. Saya mulai memulihkan kepercayaan diri yang hilang selama bertahun-tahun, memulihkan integritas yang ditanamkan oleh ayah saya serta kasih sayang yang saya rasakan sebagai anak kecil.
Beberapa praktisi memiliki masa lalu yang penuh keputusasaan atau penyakit yang mendera. Saya tidak. Saya datang dari sisi lain dan harus melintasi dunia penuh mimpi yang saya ciptakan sendiri.
Sampai hari ini, saya masih tengah berjuang untuk menjadi orang yang lebih baik. Meski demikian, apakah ada yang lebih berharga dari sebuah perjuangan?