Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Tujuan Terakhir Komunisme – Bab tentang Tiongkok (3)

6 Des. 2019

BAB 3

MEMBANTAI DENGAN MENGGUNAKAN KEKERASAN – KEJAHATAN MENEMBUS KUBAH SEMESTA


PENGANTAR: ROH JAHAT KOMUNIS MEMBUNUH DI SEPANJANG PERJALANANNYA

Berbicara tentang partai komunis, kesan paling krusial bagi orang-orang adalah satu kata: “bunuh”. Pembunuhan oleh partai komunis, kebanyakan terjadi pada masa damai, setidaknya juga dilakukan di dalam wilayah kekuasaan sendiri. Gerakan Pembersihan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah membunuh 100 ribu Tentara Merah, kemudian Gerakan Penyuluhan (Zheng Feng) Yan’an dan Reformasi Lahan Mengganyang Tuan Tanah, berlanjut hingga serangkaian gerakan pembersihan politik setelah tahun 1949, telah membunuh manusia tak terhitung jumlahnya.

Baik perang, maupun tirani dalam sejarah, setelah terlebih dahulu memiliki musuh barulah membunuh. Namun partai komunis bertindak sebaliknya, demi membunuh maka mencari permusuhan, jika tidak ada musuh maka harus menciptakan musuh untuk dibunuh.

Mengapa partai komunis kecanduan membunuh? Karena “membunuh” adalah langkah strategis bagi tujuan terakhir roh jahat komunis untuk menebar medan teror di dunia manusia. Partai komunis menganggap “membunuh” sebagai sebuah cabang “pengetahuan” sejenis “bidang seni”, membuat “pembunuhan” mencapai puncaknya.

Bagaimanakah cara partai komunis membunuh? Membunuh dengan pisau, membunuh dengan mangkuk nasi, membunuh dengan opini publik.

Membunuh dengan pisau, sudah tidak perlu dibahas lagi, bagi PKT yang percaya bahwa “kekuatan politik berasal dari laras senapan”, itu adalah keahlian khusus andalannya.

Apa itu “membunuh dengan mangkuk nasi”? Yaitu adalah menahan mangkuk nasi seseorang, jika tidak tunduk maka tidak diberi makan. Ada begitu banyak kaum intelektual, telah dipaksa bertekuk lutut oleh partai komunis dengan menggunakan mangkuk nasi. Orang terpelajar di Tiongkok, sejak dahulu kala, semua menekankan integritas dan tidak tergoda oleh keuntungan. Pada zaman dulu, setelah tidak mendapat tunjangan jabatan, orang masih dapat mencari nafkah. Kisah klasik “tidak mematahkan pinggang demi nasi lima dou [1]” menceritakan Tao Yuanming [2] yang tidak tahan dengan hinaan pejabat korup, masih dapat dengan kepala tegak menyerahkan stempel pejabat, pergi menjalani kehidupan di pedesaan yang santai dan bebas. PKT telah mengendalikan semua sumber daya sosial yang ada, jika tidak diberikan mangkuk nasi, manusia hanya akan menemui jalan buntu.

Membunuh dengan opini publik, juga merupakan satu karakteristik unik partai komunis. Karena telah mengendalikan seluruh media opini publik, ingin menumbangkan siapa, maka akan ditumbangkan; siapa yang dituduh sebagai orang jahat, maka orang itu adalah jahat; siapa saja dituduh berdosa sepanjang hidupnya, maka orang itu berdosa sepanjang hidupnya.

Apakah yang hendak dibunuh oleh partai komunis? Partai komunis ingin bertarung dengan Langit, bertarung dengan Bumi, bertarung dengan manusia, oleh karena itu membunuh Langit, membunuh Bumi dan membunuh manusia.

Membunuh Langit – mengatas-namakan “ateisme” membunuh kepercayaan terhadap Tuhan, demi memuluskan jalan bagi “ateisme”;

Membunuh Bumi – dengan dalih merombak gunung dan sungai untuk menginjak-injak alam, merusak lingkungan, mempraktikkan “tak kenal takut” dari “ateisme” yang semena-mena berbuat jahat tanpa peduli hukum negara dan hukum Langit.

Membunuh Manusia – membunuh sesama anggota partai, membersihkan anggota yang tidak dapat memenuhi tuntutan partai jahat, untuk mengintensifkan penempaan sifat jahat kepartaian; membunuh kaum elit secara terarah, membunuh orang-orang yang menjadi penghalang terhadap implementasi rencana roh jahat, termasuk kalangan elit masyarakat selaku pewaris kebudayaan; membantai sesuka hati tanpa tujuan, menggerakkan massa melawan massa, demi mendirikan dan mempertahankan medan teror yang penuh dengan nafsu membunuh.

Membunuh, ada beberapa tujuan utama. Pertama adalah memusnahkan musuh-musuh yang diciptakan; kedua adalah agar tangan sang pembunuh berlumuran darah, berbuat kejahatan bersama partai, dengan memiliki dosa asal, tiada pilihan lain kecuali sehati dengan partai komunis, dan menjadi alat pembunuh dari partai komunis; ketiga adalah membangun lingkungan teror merah, dan mengintimidasi semua manusia. Semua perihal “membunuh” ini, adalah demi untuk membuka jalan bagi partai komunis untuk merusak kebudayaan dan menghancurkan moralitas.

Khususnya pembantaian yang dilakukan partai komunis terhadap para kultivator dalam agama dan kaum intelektual, adalah sengaja untuk menciptakan patahan budaya, memutus hubungan antara generasi berikutnya dengan kepercayaan maupun kebudayaan tradisional. Ini adalah bagian yang sangat penting namun seringkali diabaikan dari rencana membuat umat manusia rusak serta melangkah menuju kemusnahan terakhir.

Dalam membunuh akan membunuh sampai kapan?

Pembunuhan terbuka oleh partai komunis, tidak hanya menggunakan teror untuk menekuk tulang punggung seseorang, juga menggunakan ketakutan yang timbul akibat pembantaian meresap ke dalam aliran darah manusia, mengubahnya menjadi gen teror, dan generasi demi generasi terus terwariskan.

Setelah membunuh hingga tahap ini, maka partai komunis akan berubah dari pembunuhan terbuka menjadi pembunuhan secara diam-diam.

“Reformasi Lahan”, “Menekan Kontrarevolusioner”, “Tiga Anti”, “Lima Anti” dan “Revolusi Kebudayaan”, itu adalah pembunuhan terbuka, bahkan mengumpulkan massa untuk menyaksikannya, dengan tujuan membunuh untuk dipertontonkan. Insiden “4 Juni 1989” [3] adalah membunuh secara semi terbuka, pasca kejadian disangkal dengan keras; ketika di tahun 1999 menganiaya Falun Gong, maka tidak lagi membunuh secara terbuka, perampasan organ secara hidup-hidup berskala besar yang terungkap setelahnya, jelas adalah membunuh secara diam-diam yang tertutup sangat rapat.

Sejarah dari partai komunis, jelas adalah sejarah pembunuhan manusia. Tanpa “bunuh” sebagai pembuka jalan, untuk mengindoktrinasikan “ateisme” ke dalam Ibu Pertiwi bangsa Tionghoa, untuk mengubah bangsa Huaxia [4] menjadi bangsa yang “semena-mena”, untuk menghancurkan kebudayaan warisan Dewa di Tiongkok, sama sekali tidak akan dapat terlaksana.

I. SOVIET RUSIA SEBAGAI PRA-PERTUNJUKAN

Demi memusnahkan umat manusia, roh jahat komunis pertama-tama harus memusnahkan kebudayaan bangsa Tionghoa. “Roh jahat” telah memilih tetangga dekat Tiongkok, yakni negara sebesar Uni Soviet secara geografi maupun populasi untuk melakukan pra-pertunjukan. Uni Soviet terletak sangat dekat dengan Tiongkok, dapat menjadi kekuatan yang praktis untuk mendukung ekonomi, militer dan politik regional Tiongkok; juga karena Uni Soviet memiliki wilayah yang luas dan populasi yang besar, maka dapat lolos dari kepungan oleh berbagai negara Eropa di masa awal berdirinya dan juga serangan dari Jerman saat Perang Dunia II, dengan demikian komunisme dapat bertahan di tengah ancaman kematiannya.

Uni Soviet kala itu baru saja berdiri, digunakanlah kekuatan nasionalnya untuk “mengekspor revolusi”. Ia menjadikan Tiongkok sebagai titik fokus ekspor revolusinya, mengirim Grigori Voitinsky [5] ke Tiongkok untuk mendirikan kelompok komunisme, lalu melalui Mikhail Borodin membuat Kuomintang (Partai Nasionalis) agar mau menerima kebijakan “aliansi dengan Rusia toleransi dengan komunis (Tiongkok)”, untuk membuat PKT menumpang hidup di dalam tubuh Kuomintang agar dapat tumbuh dengan cepat.

Uni Soviet saat baru berdiri saja sudah bereksperimen dengan Komisi Luar Biasa Seluruh Rusia untuk Perlawanan Kontra-Revolusi dan Sabotase, yang disingkat menjadi Cheka [6], yang membunuh manusia menggunakan kekerasan dan menciptakan teror. Vladimir Lenin berpendapat bahwa “kediktatoran adalah kekuasaan rezim yang secara langsung dilandasi kekerasan dan tidak dibatasi oleh hukum apa pun”, memberikan kewenangan kepada Cheka untuk membunuh orang sesuka hati tanpa perlu diadili. Riset menunjukkan, dari tahun 1917 hingga 1922, jumlah manusia yang secara langsung digantung dan dieksekusi tembak oleh Cheka mencapai jutaan orang. Hanya di tahun 1921 saja, kelaparan yang diciptakan Partai Komunis Soviet telah menewaskan sekitar 5 juta orang.

Satu lagi eksperimen penting Uni Soviet adalah, dengan kekerasan mendirikan situasi di mana ajaran sesat komunis menyatukan kolong Langit dengan “ateisme” sebagai landasan. Sedangkan ideologi yang lain, tidak peduli apakah itu dari agama ataupun kebudayaan tradisional sedang berada dalam barisan yang akan dimusnahkan.

Setelah merampas kekuasaan pada tahun 1917, Vladimir Lenin segera mengeluarkan jurus secara besar-besaran, mulai menggunakan kekerasan, menindas dan menyerang agama ortodoks maupun kepercayaan ortodoks, merusak kebudayaan, memaksa masyarakat rusak moralitasnya sehingga jauh meninggalkan Tuhan. Ini juga merupakan pratinjau yang dilakukan demi untuk merusak kebudayaan Tiongkok.

Vladimir Lenin di satu sisi terus mempromosikan ateisme, “Dalam teori sosialisme ilmiah dan praktiknya, ateisme adalah bagian dari Marxisme yang tak perlu diragukan dan tak bisa dipisahkan”. Dari tahun 1917 sejak hari pertama Bolshevik memegang tampuk kekuasaan, telah menetapkan perusakan kebudayaan dan pemusnahan kepercayaan kepada Tuhan dengan menggunakan kekerasan sebagai salah satu sasaran utama dari revolusinya.

Setelah Vladimir Lenin meninggal, Joseph Stalin pun mewarisi langkah-langkahnya, maka di tahun 1930-an dimulailah Pembersihan Besar-besaran (Great Purge) yang teramat kejam, selain orang-orang di dalam partai komunis, kaum intelektual dan para pengikut agama juga berada dalam daftar pembersihan.

Joseph Stalin pernah mendeklarasikan ke seluruh negeri akan merealisasikan “rencana lima tahun ateisme”, pada saat menyelesaikan rencana ini, gereja terakhir akan ditutup, pastor terakhir akan dimusnahkan, bumi pertiwi Uni Soviet akan diubah menjadi “lahan subur ateisme komunisme”, jejak agama tidak akan dapat lagi ditemukan sedikitpun.

Menurut perkiraan konservatif, dalam gerakan Pembersihan Besar-besaran, pastor yang dianiaya hingga meninggal mencapai 42.000 orang. Hingga tahun 1939, seluruh Uni Soviet hanya tersisa seratus lebih Gereja Ortodoks Timur yang dibuka untuk umum, padahal sebelum Revolusi Oktober jumlahnya ada 40.437 gereja. Gereja Ortodoks Timur dan biaranya yang ditutup mencapai 98%. Selama periode ini, semakin banyak kaum elit budaya dan kaum intelektual yang dihukum, atau dikirim ke kamp konsentrasi Gulag, atau pun ditembak mati.

Sejak kematian Joseph Stalin hingga Uni Soviet runtuh tercerai-berai, rezim Partai Komunis Soviet tetap melanjutkan serangan ke berbagai kalangan elit kebudayaan dan agama. Novelis dan sejarawan Rusia yang terkenal Alexander Solzhenitsyn memperkirakan, Joseph Stalin secara keseluruhan telah menyebabkan kematian tidak wajar bagi sebanyak 60 juta orang.

Karena Tiongkok merupakan panggung pertunjukan besar umat manusia selama lima ribu tahun, maka perang besar antara yang lurus dan yang jahat di dunia manusia akan dipentaskan untuk terakhir kalinya di Tiongkok, oleh karena itu peran pra-pertunjukan yang dimainkan oleh rezim komunis Uni Soviet setelah usai akan hilang bagai asap di udara, runtuh berguguran, dan kubu paham komunis yang pernah hiruk pikuk sesaat akhirnya juga tercerai-berai.

II. KOMUNIS TIONGKOK MENAIKI PANGGUNG

Setelah Perang Dunia ke-II, walaupun fasisme telah dimusnahkan, namun telah melahirkan “kubu komunisme” yang jahat. Ketika kekuatannya berada di puncak, telah menguasai sepertiga populasi dunia dan wilayah bumi. Jika dilihat dari dalam dan luasnya perusakan kebudayaan dan jumlah pembunuhannya, Partai Komunis Tiongkok (PKT)-lah yang paling jahat dari semua rezim komunis jahat yang ada. Gerakan PKT untuk memusnahkan kebudayaan di Tiongkok adalah melalui perencanaan yang sangat sistematis dan mendetail.

Kebudayaan tradisional Tionghoa adalah kebudayaan yang didirikan oleh Sang Pencipta sendiri di Tiongkok, demi penyelamatan makhluk pada saat terakhir. Menghancurkan kebudayaan tradisional Tionghoa adalah tujuan paling utama dari roh jahat komunis. Ia mengetahuinya dengan sangat mendalam, bahwa yang dapat dimusnahkan oleh kekerasan hanyalah tubuh manusia, dengan kekerasan dan berbagai cara lainnya untuk memusnahkan kebudayaan, barulah dapat memusnahkan jiwa orang-orang Tiongkok. Oleh karena itu ketika direncanakan menggunakan kekerasan untuk membantai kelas kaum elit, ia juga menghancurkan pilar spiritual dan media substansi dari kebudayaan tradisional yang menjadi pegangan hidup manusia di dunia, lebih lanjut memutus hubungan Tuhan dengan manusia, mencapai tujuan memusnahkan kebudayaan tradisional memusnahkan manusia.

Pada proses perusakan dengan kekerasan terhadap landasan ini, dalam gerakan sebelumnya yang telah membungkam dan memusnahkan kaum elit ini, roh jahat komunis yang berhasil mengumpulkan berbagai aspek kejahatan umat manusia, juga sedang mematangkan berbagai macam cara dan muslihat dalam pembantaian brutal, pemaksaan cuci otak dan pengelabuan penindasan, demi persiapan optimal dalam duel pamungkas puncak antara yang lurus dan yang jahat di kemudian hari.

Pada saat yang sama, mereka juga secara terencana dan secara sistematis telah mendirikan “kebudayaan partai” yang jahat, serta menggunakannya untuk mengedukasi dan melatih manusia yang belum dibunuh dan mengubah mereka menjadi alat bagi roh jahat komunis agar dapat terus membantai lebih banyak lagi manusia di dunia.

Roh jahat komunis juga memahami dengan sangat gamblang bagaimana memanfaatkan segala keuntungan ekonomi dan cuci otak politik di dunia dan cara-cara lainnya agar manusia di dunia menyerah, serta patuh dengan pengaturannya. Gerakan, penindasan dan pembantaian yang dilakukan berkali-kali, membuat mereka semakin lama semakin mahir dalam menggunakan cara-cara tersebut.

III. MEMBANTAI KAUM ELIT

Para tuan tanah dan terhormat di pedesaan juga para pedagang perkotaan, para intelektual dan terpelajar yang merupakan kaum elit budaya ini membantu mewariskan lima ribu tahun kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa. Menghancurkan kaum elit ini merupakan satu langkah penting untuk menghancurkan kebudayaan tradisional. Maka, PKT menciptakan musuh, mulai membantai “tuan tanah” dan tokoh masyarakat di desa-desa, membunuh para “kapitalis” di perkotaan, menciptakan teror sekaligus merampok kekayaan masyarakat.

Yang disebut dengan “reformasi lahan”, atau slogan “menggulingkan tuan tanah dan membagikan lahan garapan” sebelum dan sesudah PKT merebut kekuasaan, adalah dengan kekerasan membunuh pewaris kebudayaan di pedesaan. PKT jelas sama sekali tidak ingin memberikan tanah garapan kepada petani. Ia masih menggunakan muslihat yang sama, terlebih dulu memberikan sedikit rasa manis kepada petani, setelah menyelesaikan pembantaian terhadap tuan tanah dan tokoh masyarakat serta perusakan kebudayaan di pedesaan, dengan segera melalui “gerakan kooperatif” (teori Marxist) mengambil kembali tanah garapan yang dibagikan kepada petani. Hasilnya banyak petani terus menderita.

Hartawan di perkotaan juga menjadi sasaran pembantaian yang dilakukan oleh PKT. Ini bukan hanya demi merampok kekayaan mereka, juga dikarenakan mereka adalah pencipta kekayaan masyarakat, kekuatan yang mempertahankan kemakmuran kestabilan masyarakat dan pewaris kebudayaan tradisional, juga merupakan kelompok yang memiliki pemikiran akan hak asasi manusia serta kebebasan dari Barat.

Para bhiksu dan pendeta Tao agama telah memerankan fungsi penting dalam menyebarkan kitab-kitab klasik xiulian (kultivasi) Buddha dan Tao. PKT mengarahkan ujung tombak ke bagian kebudayaan yang berhubungan langsung dengan kepercayaan kepada Tuhan, yakni “agama”, dengan pembantaian, hukuman, cuci otak, sekularisasi paksa dan penyimpangan ajaran agama, menggunakan berandal agama yang sepenuhnya patuh kepada PKT sebagai pemuka agama, untuk mendirikan Asosiasi Agama Buddha dan Asosiasi Agama Tao, lalu menggunakan asosiasi-asosiasi ini sebagai alat bagi PKT untuk mengendalikan dan menghancurkan agama.

Tidak peduli apakah para bhiksu dalam agama, ataupun tokoh masyarakat di dunia sekuler, begitu lenyap, maka akan terjadi patahan budaya. Yang berjalan beriringan dengan pemusnahan agama adalah gerakan “Transformasi Ideologi” PKT yang ditujukan kepada kaum intelektual. Lewat apa yang disebut dengan pendidikan materialisme, ateisme dan teori evolusi, secara sistematis mencuci otak para pelajar, menanamkan kebencian terhadap kebudayaan tradisional. Lalu menggunakan gerakan “Anti-kanan”, mengirim semua kaum intelektual yang tidak patuh ke dalam kamp kerja paksa, dijebloskan ke lapisan terendah dari masyarakat, menggunakan “mangkuk nasi” dan “opini” membungkam mereka, agar para “cendekiawan” yang dulunya memegang hak berbicara dan mendominasi opini publik, berbalik menjadi pihak yang dibenci dan dipandang rendah.

Setelah “Anti-kanan”, tidak peduli itu dalam keluarga dan sekolah, ataupun dalam masyarakat, sama sekali sudah tidak terdengar suara-suara independen. Para pelajar yang tumbuh di tengah lingkungan seperti ini, bukan saja tidak percaya pada sang Pencipta, pun terhadap seni dan kebudayaan tradisional sama sekali tidak ada rasa hormat. Namun PKT terhadap hal ini sama sekali belum puas, biar bagaimanapun orang yang sedikit berumur masih menyimpan ingatan tentang kebudayaan tradisional, benda budaya dan situs sejarah yang menjadi media kebudayaan tradisional juga dapat ditemukan di berbagai tempat, nilai-nilai tradisi masih tersebar lewat berbagai macam bentuk kesenian. Itu sebabnya, PKT memanfaatkan para pelajar yang telah dicuci otak setelah komunis memperoleh kekuasaan, memanfaatkan jiwa pemberontak darah muda mereka untuk melancarkan gerakan “Hancurkan Empat Kuno”, agar kebudayaan bangsa Tionghoa seluruhnya tenggelam dalam bencana menyeluruh mulai dari materi sampai semangatnya.

Di tengah pembantaian terhadap orang-orang ini, PKT dengan satu gerakan memperoleh banyak hasil, niatnya ekstrim ganas: “Pertama, dapat menciptakan atmosfer teror untuk menakuti semua upaya pemberontakan yang ada; kedua, merampok kekayaan masyarakat untuk digunakan sendiri, dan memperkuat kekuatan rezim; ketiga, meletakkan rakyat ke dalam gejolak kemiskinan dan kekacauan, agar rakyat terlalu sibuk untuk peduli hal lain kecuali soal pakaian dan pangan, tak ada waktu dan energi lagi untuk menerima pendidikan dan mewarisi kebudayaan; keempat, membuat rakyat menjadi mati rasa terhadap kekerasan semacam ini, karena menghadapi kejahatan tidak manusiawi semacam ini, jika tidak membuat kondisi mental mati rasa dan tidak memikirkan cara untuk membujuk rakyat membenarkan pembunuhan, maka satu-satunya yang akan terjadi adalah pemberontakan. Proses ini juga merupakan proses untuk menyeret moralitas manusia agar jatuh tergelincir; kelima, menciptakan patahan kebudayaan Tiongkok, agar manusia kehilangan landasan kebudayaan untuk memperoleh kesempatan penyelamatan Sang Pencipta di saat terakhir.

Dari lima tujuan tersebut di atas, berapa banyak yang sekarang sudah dicapai oleh PKT? Tak ada salahnya menganalisa lebih mendalam dari cara-cara pembantaian yang dilakukan PKT dan jumlah manusia yang telah dibunuh.

1. PEMBANTAIAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN

Di bulan Maret 1950, PKT mengeluarkan “Instruksi untuk Menindas Kaum Kontrarevolusi secara tanpa ampun”, dalam sejarah disebut gerakan “Ganyang Kontrarevolusioner”. Pada bulan Februari 1951, PKT menginstruksikan, “di pedesaan, bunuh kontrarevolusioner, secara umum harus melampaui skala seperseribu populasi.” Pada saat itu populasi Tiongkok sebanyak 600 juta orang, dikatakan setidaknya ada 600 ribu manusia tewas dibunuh. PKT memublikasikan, “Kaum Kontrarevolusioner” yang dimusnahkan sampai akhir tahun 1952 adalah 2,4 juta orang lebih, faktanya yang dibunuh paling sedikit mencapai 5 juta orang, hampir satu persen dari populasi saat itu.

Dari satu data, kita dapat mengetahui betapa besar luka yang disebabkan oleh pembantaian semacam ini terhadap kebudayaan. “Tahun 1949, anak muda wilayah Huangdu (Shanghai), 81,4% di antaranya adalah buta huruf. Dalam keluarga petani miskin dan petani menengah ke bawah tidak dapat ditemukan seorang pun yang bisa baca tulis. Contoh pada tahun 1949, dari 24 keluarga di Desa Shenjiabin, 19 keluarga diantaranya yang selama tiga generasi tidak pernah menapakkan kaki ke sekolah, di dalam setiap keluarga bahkan sebuah pensil pun tak dapat ditemukan, untuk keperluan menulis sepucuk surat saja harus pergi sejauh 4 li [7] (2 km) di luar desa untuk memohon orang menuliskannya.” Dengan kata lain, membunuh apa yang disebut sebagai tuan tanah dan petani kaya di pedesaan, berarti hampir membunuh tuntas semua orang yang melek huruf dan berpendidikan.

Jika “Ganyang Kontrarevolusioner” dan “Reformasi Lahan” terutama adalah membunuh tuan tanah dan cendekia desa, gerakan “Tiga Anti dan Lima Anti” tahap berikutnya adalah membantai tokoh masyarakat di perkotaan yang memiliki aset, juga berarti warga perkotaan yang pernah mengenyam pendidikan tradisi dan paham bagaimana caranya menjalankan perusahaan ataupun perdagangan, atau orang yang mengerti masyarakat bebas Barat. Ini untuk menebar atmosfir teror di perkotaan sekaligus merampok kekayaan.

2. MEMBASMI AGAMA, MEMUTUS HUBUNGAN DENGAN KEPERCAYAAN TRADISIONAL

Kepercayaan tradisional adalah sumber kebudayaan Tiongkok, bagaimanapun kebudayaan adalah warisan Dewa kepada manusia, sedangkan prinsip kepercayaan tradisional adalah diciptakan oleh Dewa. Di Tiongkok, pengaruh yang paling mendalam adalah kepercayaan aliran Tao, Buddha dan Konfusius. Mereka memberitahu orang-orang di dunia apa itu Buddha, Tao, bagaimana berperilaku sebagai manusia. Selama ribuan tahun masyarakat percaya pada Dewa dan menghormati Buddha, menjaga standar moralitas agar tidak tergelincir terlalu cepat.

Pada tahun 1950, PKT mengeluarkan instruksi kepada semua pemerintah daerah, meminta mereka sepenuhnya melarang Huitaomen [8], yang merupakan kelompok agama dan ormas setempat. Dalam gerakan yang melibatkan desa di seluruh negeri tersebut, pemerintah telah menggerakkan apa yang dianggap sebagai “kelas yang bisa diandalkan” untuk memaparkan dan menyerang anggota Huitaomen. Berbagai tingkat pemerintahan ikut berpartisipasi membubarkan organisasi “takhayul”, seperti agama Kristen, agama Katolik, agama Tao, agama Buddha dan organisasi lainnya. Menuntut para anggota keagamaan tersebut mendaftar di pemerintahan sekaligus “bertobat dan memulai hidup baru”. Jika tidak mendaftar tepat waktu, begitu kedapatan, maka segera dihukum berat. Pada tahun 1951, pemerintah mengeluarkan hukum tertulis, yaitu menjatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup terhadap para aktivis Huitaomen.

Berbagai kelompok keagamaan di Tiongkok telah jatuh berguguran di tengah penganiayaan PKT, para pengikut sejati agama Buddha dan Tao mengalami penindasan atau pembantaian, mayoritas yang tersisa kembali ke sekuler, juga ada sejumlah anggota partai komunis yang menyusup, secara khusus mengenakan kasaya (jubah bhiksu) dan jubah pendeta Tao untuk menyelewengkan ajaran dalam sutra Buddha dan naskah Tao, dari dalam kitab-kitab ini dicari dasar-dasar acuan untuk gerakan (penindasan) PKT.

Agama ortodoks dihancurkan, tuan tanah desa, kalangan tokoh masyarakat di pedesaan dan para pedagang di perkotaan ada yang dibunuh dan ada yang dipenjara, yang tersisa dalam kondisi mental tertekan dan ketakutan, gelisah sulit melewati hari demi hari.

3. REFORMASI PEMIKIRAN, ATEISME MENGUASAI SEKOLAH

Perubahan, penganiayaan dan penghancuran yang dilakukan oleh PKT terhadap elit kaum intelektual juga melalui pengaturan yang sistematis. “Reformasi Pemikiran” yang dilakukan terhadap kaum intelektual, terutama terhadap kaum intelektual di sekolah-sekolah tingkat tinggi, dimulai pada periode awal PKT memegang tampuk kekuasaan. Tentu saja PKT tidak percaya pada para ahli pendidikan dan kaum intelektual tingkat tinggi dari masa pemerintah sebelumnya (Kuomintang). Masalahnya jika tidak ada mereka maka universitas tidak bisa berjalan, juga tidak bisa membina talenta teknologi, oleh karena itu PKT mengadopsi apa yang disebut dengan metode pengaturan fakultas. Mereka langsung menghapus Universitas Kristen atau Katolik, karena agama kepercayaan tidak cocok dengan Marxisme; sekaligus mengubah sekolah-sekolah swasta, juga menghapus fakultas sebelumnya seperti ilmu filosofi dan sosiologi dalam universitas, karena murid-murid hasil didikan dari fakultas ini, memiliki pemikiran dan penelitian terhadap persoalan-persoalan politik dan masyarakat, memiliki sejumlah konsepsi kebebasan, suatu tantangan yang besar bagi rezim PKT. Pada saat yang sama PKT secara menyeluruh meniru sistem pendidikan Soviet Rusia, dan mengubah sistem pendidikan dari masa periode pemerintahan sebelumnya yang menjunjung tinggi pemikiran dan kebebasan akademis, secara paksa menjalankan Reformasi Pemikiran, para pengajar dan siswa sekolah tinggi dididik menjadi sebuah generasi yang tunduk pada perintah PKT, yang hanya memandang penting teknologi, tidak percaya Tuhan dan tidak memiliki kepercayaan.

Dari tahun 1950 sampai 1953, setelah pengaturan fakultas, rasio universitas komprehensif multidisipliner di antara perguruan tinggi turun dari 24% di tahun 1949 menjadi 11% pada tahun 1952. Sejumlah besar universitas komprehensif unggulan yang telah berdiri lama telah kehilangan nilai dan status yang semestinya, dan diubah menjadi sekolah tinggi teknik; sekolah tinggi teknik yang baru didirikan jumlahnya meningkat drastis, “belajar dari Uni Soviet” telah diimplementasikan secara menyeluruh.

Fakultas Humaniora yang menggunakan “model Amerika”, di masa periode pemerintahan Kuomintang, telah menghasilkan sejumlah akademisi berkualitas yang sangat berpengaruh, ilmu sejarah, filsafat dan sosiologi sama sekali tidak kekurangan orang-orang bertalenta. Para intelek humaniora yang mendapat pengaruh dan pendidikan dari “liberalisme Inggris dan Amerika”, sama sekali tidak cocok dengan ideologi Marxisme, yang tentu saja dicap sebagai “borjuis kecil”. Bidang ilmu humaniora yang bertentangan dengan Marxisme dihentikan atau dihapus. Di antaranya ilmu sosiologi telah dihapus sepenuhnya di daratan Tiongkok.

Tujuan lain dari pengaturan fakultas ini adalah untuk memecah universitas peninggalan pemerintahan Kuomintang sebelumnya, setiap departemen universitas serta para dosen yang menjadi tulang punggungnya, dan memutus hubungan historis antara profesor sebelumnya dengan pihak sekolah, secara besar-besaran menguntungkan rezim komunis untuk menguasai dan mengendalikan kaum intelek, sehingga menguntungkan bagi berdirinya dan pengukuhan totalitarian komunis.

Mantan rektor Universitas Peking, Ma Yinchu, tanggal 23 November 1951 memublikasikan sebuah artikel berjudul “Gerakan Pembelajaran Politik untuk Pengajar Universitas Peking” di surat kabar Harian Rakyat (People’s Daily) yang di dalamnya terdapat perkataan sebagai berikut: “Harus menyesuaikan kebutuhan negara, secara tuntas mengatur fakultas… dan bila ingin mencapai tujuan ini, sebuah kunci krusial yang paling utama adalah, harus… secara sadar dan sukarela melakukan Reformasi Pemikiran.” Singkatnya melaksanakan pengaturan fakultas adalah demi Reformasi Pemikiran.

“Reformasi Pemikiran” melalui pengaturan fakultas kali ini yang ditujukan kepada para ahli pendidikan dan kaum intelektual tingkat tinggi, dapat dihitung sebagai gerakan pertama PKT memaksa kaum intelektual untuk menyerahkan diri setelah merebut kekuasaan.

4. MENGANIAYA KAUM INTELEKTUAL, MEMAKSA SELURUH RAKYAT BER BOHONG

Sebelum tahun 1949, Tiongkok memiliki kaum intelektual sekitar 2 juta orang, meskipun beberapa dari mereka belajar ke negara-negara Barat, namun masih tetap mewarisi sebagian pemikiran tradisional, dan pemikiran-pemikiran seperti mengultivasi diri, menata keluarga, memimpin negara dan perdamaian dunia. PKT tentu saja tidak akan melepaskan mereka, karena sebagai kelas “cendekiawan”, pemikiran mereka memberi efek yang sama sekali tidak bisa diremehkan terhadap ideologi kalangan rakyat.

Pada tahun 1957, PKT menggunakan slogan “ratusan bunga tumbuh bermekaran, ratusan aliran saling bersaing”, meminta kaum intelektual dan massa di Tiongkok “membantu partai komunis dalam gerakan perbaikan”, niatnya adalah untuk memancing keluar “kaum anti-partai” di antara mereka. PKT menyatakan “tidak mencari titik lemah, tidak menggunakan tongkat (menghukum tanpa dasar), tidak memasang topi stigma, mutlak tidak akan melakukan perhitungan di kemudian hari” dan “orang yang berbicara tidak berdosa”, pertunjukan ini kelihatannya berhasil. Pada masa itu kaum intelektual yang terkenal seperti Zhang Bojun, Long Yun, Luo Longji, Wu Zuguang, Chu Anping dan lainnya secara tulus dan terus-terang, menunjukkan berbagai kekurangan PKT. Tapi dalam waktu semalam, situasi tiba-tiba berubah, gerakan anti-kanan dimulai, mereka semua dicap sebagai kaum sayap kanan yang “anti-partai dan anti-sosialisme”. Gerakan anti-kanan ini telah mencatat 550 ribu nama “kaum sayap kanan”, 270 ribu orang kehilangan jabatan, 230 ribu orang ditetapkan sebagai “kaum kanan tengah” dan “kaum anti-partai dan anti-sosialisme”. Mangkuk nasi mereka telah direbut, kehidupan mereka terancam, mau tidak mau bersikap berhati-hati, dan hidup dengan menahan hinaan.

Gerakan ini selain membuat kaum intelektual mendapat penganiayaan, juga telah mengirimkan sebuah sinyal yang jelas kepada seluruh rakyat Tiongkok: “Di bawah kekuasaan PKT, siapa saja yang mengucapkan kebenaran, maka akan menghadapi akhir yang tragis. Yang lebih buruk lagi, di dalam setiap gerakannya, PKT menuntut seluruh rakyatnya ikut serta dalam “mengungkap dan mengkritik”, hak orang untuk “tetap diam” pun telah ditiadakan.

Berbohong dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan jahat yang paling mewakili “karakteristik PKT” di dalam kebudayaan PKT. Melalui banyak sekali gerakan politik, PKT melatih orang Tiongkok menggunakan kebudayaan partai dalam mempertimbangkan masalah dan menangani persoalan, agar membuat manusia di dunia terbiasa berbohong, terhadap segala tiruan, kebohongan, tipuan dan memutar balik baik – buruk, selain merasa tenang tanpa beban, malah saling berlomba melakukannya.

Sampai hari ini, di mana-mana di daratan Tiongkok dapat ditemukan rokok palsu, arak palsu, obat palsu, makanan palsu, ijazah palsu dan surat nikah (cerai) palsu, tidak ada hal yang tidak dapat dipalsukan menjadi sebab timbul dan membanjirnya barang palsu, mau tidak mau harus menganggap bahwa semua ini berasal dari kebiasaan berbohong orang-orang tersebut, begitu melepaskan garis batas minimum moralitas “sejati” ini, masih adakah kepalsuan apa lagi yang dapat membuat hati nurani manusia tidak tenang?

Gerakan anti-kanan, adalah satu langkah utama yang diambil PKT untuk secara menyeluruh merusak moralitas dan kebudayaan tradisional Tiongkok.

Seiring dengan musnahnya kaum elit kebudayaan, roh jahat komunis telah memotong warisan kebudayaan tradisional bangsa Tionghoa yang tidak terputus dari satu generasi ke generasi lainnya. Sejak itu generasi muda juga sudah tidak dapat memperoleh pendidikan dan wejangan tak langsung dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan para tetangga, mereka telah berubah menjadi sebuah generasi tanpa kebudayaan.

Setelah melalui serangkaian gerakan dengan rencana detail untuk menghancurkan kebudayaan, membantai berbagai kaum elit kebudayaan seperti Tiga Anti, Lima Anti, menekan Kontrarevolusioner, Reformasi Ideologi dan revisi sistem institusi serta anti-kanan dan lainnya, para kaum elit yang mendukung kebudayaan tradisional Tiongkok di wilayah pedesaan dan perkotaan Tiongkok pada dasarnya telah hancur. Pada saat yang sama generasi baru hasil binaan materialisme, ateisme dan kebudayaan partai sudah menjadi matang, pemikiran dan tindakan kekerasan yang terbawa oleh mereka, mulai merasuki sukma, siap melaksanakan rencana selanjutnya untuk menghancurkan kebudayaan hasil warisan Dewata.

5. MENGUBAH MANUSIA MENJADI “BUKAN MANUSIA”

Pada tanggal 16 Mei 1966, “Pengumuman Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok (Pengumuman 5.16)” diterbitkan, PKT telah melancarkan gerakan merusak kebudayaan tradisional dalam skala yang lebih besar, yaitu Revolusi Kebudayaan. Pada bulan Agustus, dengan anak-anak dari kader tingkat tinggi sebagai tulang punggung Garda Merah dari sebagian sekolah menengah Kota Beijing, telah melancarkan gerakan berskala besar di Beijing yakni menggeledah menyita harta keluarga, menganiaya, membantai dan lain sebagainya, pada akhir Agustus 1966 telah menimbulkan ribuan orang tewas di berbagai distrik Kota Beijing, menimbulkan apa yang disebut dengan “Agustus Merah”.

Tindak kekejaman PKT selama Revolusi Kebudayaan telah banyak diungkap di dalam buku “Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis”, yang perlu kita perhatikan di sini adalah ulah kekejaman ini telah menimbulkan kerusakan yang begitu parah bagi orang Tiongkok secara permukaan kultural.

Ambillah insiden pembantaian di Kabupaten Daxing, Beijing, sebagai contoh. Dari tanggal 27 Agustus sampai 1 September 1966, di 48 Brigade Produksi dari 13 Komune Rakyat di Kabupaten Daxing, total telah membunuh 325 orang, di antaranya yang paling tua berumur 80 tahun, yang paling muda hanya berumur 38 hari, ada 22 keluarga yang telah dihabisi semua. Metode pembunuhannya ada yang dipukul dengan tongkat, ada yang dipenggal dengan pisau pancung, ada yang dicekik dengan tali. Bayi satu sisi kakinya diinjak, kaki yang satunya lagi ditarik, hingga terbelah menjadi dua bagian.

Pelaku kekejaman semacam ini sama sekali telah kehilangan hati nurani dan sifat kemanusiaannya sudah punah sehingga tidak perlu dibahas lagi, saksi mata juga harus melepaskan “rasa kasihan” barulah dapat tahan melihatnya, juga berarti harus meninggalkan nilai “Ren” (belas kasih) dalam kebudayaan Tiongkok.

Orang zaman dulu berkata, “Tanpa rasa iba, berarti bukan manusia.” Perilaku “bukan manusia” semacam ini selalu didorong dengan segenap upaya oleh PKT. Banyak orang justru karena “berperilaku baik” di tengah pembantaian maka diperbolehkan bergabung dengan partai. Hanya di Provinsi Guangxi sebagai contoh, menurut statistik yang tidak lengkap, pada saat Revolusi Kebudayaan tiba-tiba banyak yang bergabung dengan partai, ada 9.000 orang lebih yang bergabung dengan partai setelah membunuh orang, ada 20.000 orang lebih yang membunuh orang setelah bergabung dengan partai, dan juga ada 19.000 orang lebih yang ada kaitannya dengan pembunuhan orang. Hanya satu provinsi ini saja, sudah ada lima puluh ribu anggota partai komunis yang ikut serta dalam insiden pembunuhan.

Dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya seperti insiden 4 Juni 1989 di Tiananmen hingga proses “penganiayaan Falun Gong” yang dimulai tahun 1999, bagi mereka yang banyak membunuh orang dan yang mempunyai teknik keji, telah mendapat penghargaan dan imbalan materi, bahkan promosi jabatan. Komandan paling kejam, seperti Luo Gan dan Zhou Yongkang, malah dipromosikan oleh Jiang Zemin ke posisi tertinggi negara yaitu “Komite Tetap Politbiro”, sebagai imbalan atas “kontribusi” mereka dalam pembunuhan serta pemusnahan moralitas dan kebudayaan.

Dalam penganiayaan PKT terhadap Falun Gong, telah memobilisasi banyak sumber daya negara, dan menggunakan metode siksaan yang dikumpulkan dari dulu hingga sekarang dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain siksaan pemukulan kejam, juga ada siksaan seperti pelecehan seksual yang mengerikan, kedinginan di tengah cuaca dingin membeku, haus kering di tengah cuaca panas, kerja paksa melampaui batas kemampuan tubuh manusia, larangan tidur dalam waktu yang sangat lama dan membiarkan ular beracun serta serigala atau sekawanan nyamuk menggigiti praktisi xiulian Falun Gong, bahkan secara langsung merampas hidup-hidup organ tubuh praktisi Falun Gong untuk memperoleh keuntungan dan lain-lain.

Tindakan kejam berskala besar ini sudah menjadi kejahatan “anti-kemanusiaan”. Dengan kata lain, selama masih sebagai manusia, maka ada kewajiban untuk menentang tindak kejahatan “anti-kemanusiaan”, sedangkan PKT memaksa semua orang ikut serta dalam tindak kejahatan mereka seperti pembunuhan dengan kekerasan, menganiaya agama ortodoks, atau secara pasif menyetujui atau bekerja sama dengan tindak kejahatan ini, juga berarti agar banyak orang telah kehilangan standar untuk membedakan baik – buruk, benar – salah, bajik – jahat, dan telah berubah menjadi “bukan manusia” yang membantu kejahatan.

Tuhan datang menyelamatkan manusia dan menolong manusia, yang dituju adalah manusia yang masih dapat disebut sebagai “manusia”. Ketika PKT memaksa manusia berubah menjadi “bukan manusia”, berarti telah memutus kesempatan bagi mereka untuk diselamatkan, juga berarti sedang mendorong manusia ke dalam neraka.

Pada saat yang sama, ketika roh jahat komunis membuat orang-orang mengimplementasikan kekerasan dan membantai manusia dunia, juga memberitahu orang bahwa membunuh sudah sepantasnya, hati belas kasih yang dimiliki manusia harus dilepaskan, dan telah dibangun konsep budaya partai “menghadapi musuh harus dingin dan tak berperasaan bak musim dingin yang keras”. Contoh semacam ini, terlalu banyak untuk disebutkan. Setiap tindak kejahatan PKT adalah disengaja demi membangun budaya partai mereka yang berguna untuk menghancurkan kebudayaan tradisional dan semakin parah merusak moralitas masyarakat. Di bawah pengaruh racun dari kebudayaan partai, banyak orang telah berubah menjadi tukang pukul dan algojo bagi roh jahat komunis.

IV. MERUSAK ALAM

Tuhan tidak hanya telah menciptakan umat manusia, namun juga telah mengatur lingkungan alam bagi kelangsungan hidup umat manusia. Terutama di Dataran Tengah Shenzhou (nama kuno Tiongkok), kebudayaan tradisional yang maha luas mendalam serta kandungan makna yang terhubung dengan Langit, juga terwujud dalam lingkungan alam, inilah perwujudan konkret dari Langit dan manusia menyatu dalam kebudayaan tradisional. Di gunung ternama dan sungai besar sebenarnya terdapat Dewa Gunung dan Dewa Sungai yang menjaga lingkungan alam tempat umat manusia eksis.

Tiongkok sebagai “Negara Pusat” pilihan Tuhan, gunung-gunung dan sungai-sungainya berpengaruh sangat besar dan mendalam terhadap ekosistem seluruh dunia. Di dalam kebudayaan Tiongkok, pengaruh dan peran dari fengshui geografi sebenarnya melampaui ruang dimensi yang dapat terlihat oleh mata fisik. Dilihat dari level tingkat tinggi, dalam sistem sirkulasi air seluruh dunia, Negara Pusat juga merupakan sumber asal dari urat nadi air tawar di seluruh dunia, jika air tawar di sini terkena polusi maka akan menyebar ke sumber air di seluruh dunia. Oleh sebab itu perusakan lingkungan di Tiongkok, dapat mengakibatkan ekosistem di lingkup seluruh dunia menuju keruntuhan. Dari sini tidak sulit bagi kita untuk memahami mengapa roh jahat komunis menguras isi otaknya, harus merusak lingkungan alam Tiongkok.

Para kaisar agung dan monarki bijak dari berbagai dinasti di ZhongYuan (dataran tengah) secara rutin memberikan persembahan kepada Dewa langit juga Dewa gunung dan sungai, berterima kasih dengan penuh hormat dan rasa bersyukur, karena sehari-harinya telah menikmati lingkungan alam yang dianugerahkan kepada umat manusia untuk kebutuhan hidup. Selama ribuan tahun, bangsa Tionghoa yang percaya pada Langit dan menghormati Dewa senantiasa berdampingan harmonis dengan lingkungan alam. Sebaliknya setelah roh jahat komunis merebut kekuasaan, bukan saja menggunakan kekerasan malah ditambah tipuan untuk menyandera manusia di dunia agar tidak percaya dengan konsep Langit dan manusia menyatu, juga merusak lingkungan alam yang dianugerahkan oleh Tuhan, dan mendorong manusia menghujat Langit melawan Bumi, menampilkan sisi jahat dari sifat manusia, demi uang seenaknya merusak lingkungan alam, membuat manusia berubah menjadi arogan dan angkuh, sepenuhnya sudah tidak memiliki hati yang menaruh hormat pada lingkungan alam.

Orang dulu ketika memerlukan kayu bakar, mendirikan rumah dan membabat hutan, selalu akan melindungi pohon yang masih belum tumbuh dewasa, mutlak tidak akan menebang sembarangan. Setelah PKT berkuasa, umumnya mengadopsi cara menebang memusnahkan yang bersifat destruktif, demi keuntungan di depan mata tanpa menghiraukan konsekuensi menghancurkan sumber daya hutan. Seperti saat menebang hutan di wilayah Changbaishan [9], pohon yang belum dewasa juga ikut ditebang, bahkan pohon kecil berukuran satu inci pun tak luput, ditebang dan dijadikan gagang sapu. Hutan luas di banyak wilayah sebidang demi sebidang dihancurkan seperti “digunduli”, tanaman musnah, tanah longsor, akibatnya tentu saja adalah berbagai bencana alam datang silih berganti, atau disebut dengan “hukuman Langit”, sedangkan para ateis hasil didikan PKT dengan sendirinya tidak akan mengakui hal ini.

Alam semesta, bumi dan seluruh lingkungan umat manusia adalah bersirkulasi. Manusia di tengah siklus reinkarnasi, ketika moral tinggi, tak banyak karma buruk, setelah bereinkarnasi juga tidak seberapa berdampak bagi lingkungan alam. Namun ketika karma masyarakat yang terakumulasi semakin banyak, pada akhirnya akan membawa karma ke dalam lingkungan hidup, memengaruhi segala yang ada di sekitarnya, desertifikasi [10] merupakan salah satu buah kejahatan.

Sejak berdirinya PKT, moral masyarakat jatuh tergelincir dengan cepat, bergelimang karma, tanpa batas menghamburkan dan menyia-nyiakan sumber daya alam, merusak lingkungan alam, gunung dan sungai maha luas di Tiongkok luluh lantak, luas gurun bertambah secara drastis. Abad ke-20 dari tahun 50-an hingga 70-an, di Tiongkok setiap tahunnya ada lahan seluas 1.560 km2 ditelan oleh gurun, pada tahun 70-an hingga 80-an, meluas lagi menjadi 2.100 km2, pada tahun 90-an, telah mencapai 2.460 km2, dan di abad ke-21 sudah melampaui 3.000 km2. Dalam sejarahnya Mongolia Dalam pernah memiliki lima sabana besar (padang rumput yang luas) yang dikagumi masyarakat di dunia, kini tiga di antaranya pada dasarnya sudah lenyap. Sabana Ulanqab, Sabana Khorchin, dan Sabana Ordos, tiga wilayah sabana yang luas ini mengalami degradasi menjadi gurun, hanya dalam waktu 20 tahun. Gurun yang terbang mendekat yang dikenal sebagai “Gurun Langit” oleh masyarakat di Kabupaten Huailai, Provinsi Hebei, kini hanya berjarak 70 km dari Kota Beijing, mungkin Beijing akan menjadi kota kuno Loulan berikutnya yang lenyap di tengah gurun.

PKT sesuka hati menggunduli hutan, membendung sungai dan mereklamasi laut, bertarung dengan Langit dan bertarung dengan Bumi, alhasil telah menghancurkan lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai macam bencana alam semakin lama semakin banyak, sungai-sungai meluap, kabut asap meracuni manusia, badai pasir bergulung-gulung; kekeringan memutus aliran air, polusi industri, urat nadi tanah dan air diputus, cuaca ekstrem sering menyatroni, berulang kali memecahkan rekor; makin banyak penyakit aneh yang merenggut nyawa manusia di dunia, benar-benar dapat dikatakan membelalakkan mata mengguncang hati.

V. MEMUSNAHKAN KEBUDAYAAN

Dari penggunaan kekerasan untuk membantai kelas elit, penggunaan kekerasan untuk menghancurkan semangat hidup dan lingkungan materi yang menjadi gantungan hidup umat manusia, hingga penggunaan kekerasan untuk memusnahkan kebudayaan tradisional yang merupakan syarat untuk menjadi seorang manusia, semuanya merupakan pengaturan roh jahat komunis yang terencana dan bertahap dalam memusnahkan umat manusia.

1. MENGHANCURKAN MEDIA SUBSTANSI

Setelah Revolusi Besar Kebudayaan dimulai, api kejahatan dari gerakan “Hancurkan Empat Kuno” telah membakar habis bumi pertiwi bangsa Tionghoa. Biara, kuil Tao, patung Buddha dan situs bersejarah, kaligrafi serta barang antik semuanya hancur tanpa sisa.

Paviliun Anggrek yang tertulis dalam “Lan Ting Ji Xu” [11] karya Wang Xizhi [12] yang merupakan warisan selama ribuan tahun, tidak hanya telah dihancurkan, bahkan makam Wang Xizhi sendiri juga ikut dihancurkan. Bekas kediaman Wu Cheng’en [13] di Provinsi Anhui telah dihancur-leburkan, prasasti batu “Zui Weng Ting Ji” (Catatan Paviliun Pemabuk) yang ditulis sendiri oleh Su Dongpo [14] telah dirobohkan oleh “jenderal cilik revolusi”, huruf pada prasasti batu telah diparut habis… seluruh intisari kebudayaan bangsa Tionghoa ini merupakan kristalisasi warisan ribuan tahun, begitu dihancurkan tidak akan dapat dikembalikan seperti semula lagi.

Kota Beijing dibangun pada zaman Dinasti Yuan, pendiri Dinasti Yuan Khubilai Khan memerintahkan Perdana Menteri Liu Bingzhong berdasarkan tata letak Istana Langit (Tian Gong), dibangun dengan mengambil citra Qian Kun (langit dan bumi). Seluruh Kota Beijing telah menyatukan pemikiran dan kebudayaan dari Konfusius, Tao dan Buddha, nama semua gerbang Kotapraja [15] dan nama aula, semuanya meniru peta Qian Kun dalam kitab Zhou Yi (I Ching – Book of Changes), kuil, biara dan aula kuil dibangun dengan mengikuti pengaturan astrologi.

Rumah bergaya Siheyuan [16] yang terkenal di Beijing, bangunan besar mengelilingi bangunan kecil, tidak saja unik, tetapi juga berisikan struktur Qian Kun di dalamnya, ada beberapa bangunan utama, megah bagaikan aula kuil. Jalan kecil berkelok mengarah ke pemandangan indah adalah deskripsi terbaik dari gang kecil kota Beijing. Setelah melewati jalan setapak berkelok dan memasuki Siheyuan, seketika terkesan cerah, terpapar panorama langit. Bangunan yang didirikan sedemikian detail ini merupakan pusaka bangunan manusia yang tak ternilai, dengan kepercayaan dari hati masyarakat pada Dewa, Buddha dan Tuhan juga konsep tradisional Langit dan manusia menyatukan lingkungan dan bangunan menjadi satu kesatuan, sungguh sebuah maha karya. Akan tetapi kebanyakan Siheyuan juga telah dihancurkan dalam gerakan “Hancurkan Empat Kuno” saat Revolusi Kebudayaan dan juga dalam pengembangan pembangunan yang menyusul sesudahnya.

Sebelum Revolusi Besar Kebudayaan, Beijing masih memiliki 500 lebih kelenteng kuno, balai atau aula dan biara kuno, setelah gerakan “Hancurkan Empat Kuno” di masa Revolusi Kebudayaan, hampir seluruhnya hancur. Semua ini bukan saja telah menghancurkan tempat berdoa dan xiulian (kultivasi diri) para umat serta bangunan kuno manusia menyatu dengan Langit, terlebih juga merusak kepercayaan lurus dalam hati manusia berikut pikiran lurus tradisional dari Langit dan manusia menyatu. Mungkin saja masyarakat tidak setuju dengan pendapat ini, merasa tak ada sangkut pautnya dengan dirinya, sebenarnya roh jahat komunis menyusup ke semua celah, dari memusnahkan tubuh fisik hingga mencemarkan pikiran, terus sampai perusakan lingkungan dan tempat xiulian agama ortodoks, ia telah menebas putus kebudayaan, moralitas dan kepercayaan bangsa Tionghoa hasil warisan selama ribuan tahun yang berkesinambungan.

Ribuan kota di Tiongkok, memiliki sejarah yang panjang, setiap kota memiliki dinding kota, kuil, biara dan situs budaya bersejarah ada di segala tempat, menggali tanah satu kaki (30 cm), akan terlihat situs bersejarah era terakhir, tapi jika menggali dua kaki, tiga kaki dan dua puluh kaki, akan ditemukan situs bersejarah berbagai jaman, tak terhitung jumlahnya.

Di dalam alam semesta, di antara dunia manusia, berbagai macam teori, kepercayaan, gaya seni dan literatur, bangunan, adat istiadat dan lain-lain, semuanya memiliki bentuk penampilan pada ruang dimensi umat manusia dan bentuk eksistensi di ruang dimensi lain. Ketika seorang manusia membaca sebuah buku, melakukan sesuatu hal, tidak akan terjadi apa-apa, namun ketika puluhan juta orang membaca sebuah buku yang sama, melakukan sebuah hal yang sama, memiliki pemikiran yang sama, maka akan terbentuk medan materi yang sangat besar pada ruang dimensi lain, sekaligus mendukung hal permukaan pada ruang dimensi ini, penampilannya, bangunannya, adat istiadat dan lain-lain. Jika tidak ada medan ini di belakangnya, maka objek, bangunan, penampilan dan lainnya yang berada di ruang dimensi ini juga tidak akan memiliki energi seberapa besar. Ini juga mengapa tanggal 13, hari Jumat yang dipercaya masyarakat Barat mendatangkan sial, tetapi bagi masyarakat Timur sama sekali tidak berpengaruh apa pun; sedangkan adat istiadat Timur seperti kebiasaan mendapatkan fengshui ideal dan lainnya tidak memiliki pengaruh besar bagi Barat, karena medan di belakangnya tidak cukup besar bagi masyarakat lain.

Kuil kuno, kota tua, biara, situs bersejarah dan lainnya telah melalui satu kepercayaan dan atensi yang sama dari puluhan juta orang selama ratusan atau ribuan tahun, memiliki unsur materi yang sangat besar di belakangnya, terutama aula dari agama ortodoks, setelah dipersucikan akan ada Sang Sadar yang memperkuat medan energi, untuk mengayomi warga dan makhluk hidup di wilayah tersebut. Ketika benda ritual dan bangunan tersebut dihancurkan, maka medan beserta makhluk tingkat tinggi di belakangnya juga sudah tidak bisa menetap lagi di sana. Oleh karena itu yang dihancurkan bukanlah hanya bangunan, dan penampilan di permukaan saja, namun juga medan energi lurus dari kebudayaan Langit dan manusia menyatu, pikiran serta keyakinan lurus yang mempertahankan dan memperkuat ruang dimensi manusia, ditambah lagi kehilangan lindungan dengan perginya Sang Sadar.

Dengan prinsip yang sama, meskipun membangun kembali semua situs bersejarah dan bangunan ini, juga tidak mungkin dalam waktu singkat mendirikan medan energi lurus yang sangat besar, mengundang kembalinya Sang Sadar dari dimensi tinggi untuk memberi berkat dan perlindungan. Beberapa tahun terakhir PKT melakukan rekonstruksi besar-besaran, membangun kembali kuil, merestorasi situs bersejarah, tetapi semuanya menipu, mengejar uang, pemalsuan, atau pun menjaga citra, akibatnya hanya mengundang roh jahat, setan busuk dan energi negatif yang akan menguasai tempat-tempat ini, bagi manusia di dunia sebaliknya malah membawakan bencana tiada akhir.

Roh jahat komunis tahu betul semua ini, oleh karena itu mereka ingin menghancurkan kaum elite perkotaan, kelas tokoh masyarakat di pedesaan, merusak moralitas manusia di dunia, pada saat yang sama merusak media substansi dan pilar spiritual dari kebudayaan tradisional seperti kuil, situs bersejarah dari kebudayaan hasil warisan Dewata, adat istiadat tradisional, bentuk seni dan literatur, benda budaya, kaligrafi, lukisan, buku-buku, rumah tradisional dan kebudayaan tradisional lainnya.

2. MERUSAK PILAR SPIRITUAL

Lima ribu kata dalam Dao De Jing yang diwariskan oleh Laozi, adalah kitab klasik xiulian dari aliran Tao, dan Laozi diyakini sebagai leluhur pendiri aliran Tao. Namun pada masa Revolusi Kebudayaan, Laozi dikritik sebagai munafik, dan prinsip dalam kitab Dao De Jing disebut sebagai takhayul feodal.

Kongzi (Konfusius) berkeliling ke banyak negara, mengajarkan “Ren (kasih) - Yi (keadilan) - Li (tatakrama) - Zhi (kebijaksanaan) - Xin (kejujuran)” dan “jalan netral” [17], serta merevisi “Liu Jing” (Enam Kitab) yang menjadi standar bagi kaisar terdahulu dalam memimpin negara dan menangani masalah dan yang menjadi standar berperilaku sebagai manusia dunia, oleh karena itu oleh generasi selanjutnya disebut dengan “Guru Suci nan Agung”. Saat Revolusi Kebudayaan, Kongzi dikritik, disebut dengan Kong Lao Er [18], Ren - Yi - Li - Zhi - Xin - ajaran Zhong Yong dan lainnya digantikan dengan pemikiran kekerasan, perjuangan kelas dan pemberontakan. Pada tahun 1966, Kang Sheng [19] menyuruh Tan Huolan pemimpin kelompok pemberontak Beijing dengan mengatas-namakan Kelompok Revolusi Kebudayaan Sentral, memimpin Garda Merah ke Qufu [20], “Memberontak terhadap ajaran aliran Kongzi”, merusak tanpa ampun, membakar habis buku kuno, menghancurkan hampir seribu monumen batu dari berbagai zaman termasuk batu nisan makam Kongzi, menghancur-leburkan kuil Konfusius, merusak rumah kediaman Konfusius dan Taman Makam keluarga Konfusius. Yang semakin menggeramkan adalah, mereka bahkan meratakan kuburan Konfusius, membongkar makam keturunan Kongzi lainnya, setelah jasad-jasadnya dilecehkan selama beberapa hari, kemudian dibakar.

Ini sudah bukan lagi hal sederhana merusak buku kuno dan cagar budaya, karena dalam buku-buku kuno dan benda-benda budaya ini termuat kebudayaan bangsa Tionghoa dan nilai-nilai tradisional yang mendalam. Jika ada sedikit saja rasa hormat terhadap kebudayaan tradisional, perusakan seperti ini tidak akan pernah terjadi. Perusakan seperti ini sedemikian bengis dan menyeluruh, tepatnya adalah karena PKT secara mendalam telah menanamkan kebencian terhadap kebudayaan tradisional ke dalam hati “pasukan Garda Merah”.

Di zaman Tiongkok kuno pernah terjadi insiden pemusnahan agama Buddha “Tiga Wu Satu Zong” [21], setiap kaisar yang memusnahkan agama Buddha, entah mati karena dibunuh atau karena penyakit ganas, para pengikut Tuhan semuanya tahu bahwa itu adalah ganjaran atas perbuatan jahat memusnahkan agama Buddha. Shi Zong dari Dinasti Zhou akhir, yang juga bernama Chai Rong, pernah mengayunkan sendiri kapak besar ke dada patung Guanyin (Bodhisattva Avalokitesvara) di kuil Maha Belas Kasih, pada akhirnya diri sendiri meninggal dengan luka bernanah di dada. Para pemuda yang terhasut oleh PKT untuk menghancurkan Buddha dan menghancurkan Tao itu, jika tidak bertobat menebus dosa, bayangkan bakal mengalami peristiwa tragis seperti apa?

Di tengah gerak maju angin topan “Hancurkan Empat Kuno” ini, entah berapa banyak manusia yang telah berbuat dosa dan akan jatuh ke neraka, justru inilah hasil akhir yang dikehendaki oleh PKT.

VI. KEJAHATAN TERBURUK

1. PENGANIAYAAN FALUN GONG

Pada periode akhir Revolusi Kebudayaan, orang-orang mendambakan tubuh yang sehat, dan olahraga pun mulai memasyarakat. Ajaran kuno seperti Wuqinxi [22], Taichi [23], Yijin Jing [24] dan lain-lain secara diam-diam bangkit kembali, dan dengan sangat cepat telah terjadi “Demam Qigong” [25]. Pada bulan Mei 1992, Master Li Hongzhi telah menyebarkan keyakinan berprinsip “Sejati - Baik – Sabar” (Zhen - Shan - Ren) yang menjadi akar dari Falun Gong, yang juga disebut dengan Falun Dafa. Latihan Dafa sangat sederhana dan mudah, dimulai dari menghalau penyakit dan menyehatkan tubuh, hanya dalam waktu beberapa tahun, lewat penyebaran dari mulut ke mulut, sudah terdapat ratusan juta orang mendapatkan Fa, tersebar di seluruh Tiongkok, dan juga di seluruh dunia.

Falun Gong mengembalikan hati manusia ke jalan lurus, praktisi Falun Gong berkultivasi hati menuju kebajikan (Shan) dan dengan gigih memurnikan diri sendiri serta kembali pada kepercayaan terhadap Sang Pencipta, bagi roh jahat, (keberadaan Falun Gong) ini terlihat bagaikan duri di mata; di sisi lain dikarenakan penyebaran Falun Gong telah menggerakkan kepercayaan dari seluruh masyarakat telah bangkit dan moralitas membubung kembali, dan prinsip “Sejati - Baik - Sabar” (Zhen - Shan – Ren) juga mencakup sari pati dari kebudayaan tradisional Tiongkok. Seiring dengan tersebar luasnya Dafa, semakin banyak manusia di dunia yang memasuki jalan xiulian (kultivasi), dipastikan bakal membawa umat manusia melangkah kembali ke jalan yang lurus, membawa seluruh negeri kembali ke kesahajaan dan kebijakan jernih.

Tujuan terakhir dari roh jahat PKT adalah melalui pemusnahan kebudayaan dan moralitas untuk menghalangi manusia memperoleh penyelamatan dari Sang Pencipta, dengan sendirinya tentu saja memandang Falun Gong sebagai musuh besar nomor satu.

Pada bulan Juli 1999, mantan dedengkot PKT Jiang Zemin telah melancarkan penganiayaan menyeluruh terhadap Falun Dafa dan para praktisinya. Dafa memperlakukan seluruh kehidupan dengan kebajikan (Shan), termasuk kehidupan yang negatif, juga berulang kali memberi mereka kesempatan, agar mereka melepaskan permusuhan, mendapat kehidupan baru. Tetapi roh jahat komunis bersikeras bermusuhan dengan Dafa dan para praktisinya, maka ia dipastikan menggali kuburnya sendiri.

Ia menggunakan semua media, Departemen Keamanan Publik dan Polisi Bersenjata, untuk menyebarkan rumor fitnahan, menangkap dan memenjarakan para praktisi Dafa. Jiang Zemin saat menginstruksikan penganiayaan Falun Gong pada Rapat Kerja Sentral dengan arogan menyatakan: “Saya tidak percaya partai komunis tidak dapat mengalahkan Falun Gong!”

Jika PKT tidak memiliki akumulasi teror pembantaian dan pengalaman mengubah paksa manusia selama beberapa dekade, apakah penganiayaan Falun Gong dapat dilakukan begitu saja? Praktisi Falun Gong berkultivasi hati menuju kebajikan (Shan), tubuh pun menjadi sehat, pada saat itu ada ratusan juta praktisi Falun Gong, jika digabung dengan teman dan keluarga setiap praktisi, itu adalah sebuah komunitas dengan jumlah yang luar biasa besar. Apakah semudah itu begitu ingin ditindas lalu langsung dapat ditindas? Perintah “cemarkan reputasinya, bangkrutkan secara finansial, musnahkan fisiknya” yang diperintahkan oleh Jiang Zemin, justru adalah ledakan menyeluruh dari kejahatan yang dikumpulkan oleh PKT selama beberapa dekade. Pembantaian selama puluhan tahun telah menciptakan lingkungan teror, agar PKT tidak perlu membantai secara terbuka dalam skala besar, namun tetap dapat menjalankan babak penganiayaan ini.

Roh jahat komunis secara efektif menggunakan taktik ekonomi untuk membelenggu negara bebas, sehingga membuat mereka tak mampu menghentikan kampanye penganiayaan PKT, pada saat yang sama secara diam-diam membantai dengan brutal. Praktisi Dafa yang tidak bersalah yang tidak terhitung jumlahnya telah dijatuhi hukuman, dipenjara dan dibantai, bahkan dirampas organ tubuhnya secara hidup-hidup, namun tak diketahui banyak orang di dunia. Banyak sekali orang di dunia di tengah tekanan tinggi, cuci otak dan pembantaian hanya bisa membisu, berubah menjadi mati rasa, abai terhadap penganiayaan, bahkan menurut walaupun bertentangan dengan nurani, terlibat penganiayaan tanpa menyadari bila dirinya sudah terbelenggu mengikuti jalan kemusnahan

Kami terutama ingin meminta pembaca memerhatikan dan merenungkan sebuah fenomena yang membingungkan: Banyak sekali pengikut Dafa yang ditahan di pusat tahanan, kamp kerja paksa dan penjara, yang pernah berhadapan dengan tuntutan serupa, terutama pada periode awal penganiayaan, yaitu asalkan mereka menanda-tangani “surat jaminan” dan “surat penyesalan” untuk tidak lagi berkultivasi serta “mengungkap dan mengkritik” Falun Gong, maka semua siksaan dan tindakan kejam segera akan dihentikan, bahkan ada yang langsung dilepaskan pulang ke rumah.

Keanehan dari fenomena ini terletak pada: dalam gerakan politik PKT yang berulang kali di masa lalu, walau sang korban menundukkan kepala mengakui bersalah, juga masih tetap saja akan diganyang, dipenjara dan disiksa bahkan dihukum mati, sepenuhnya tak kuasa atas dirinya sendiri. Sedangkan praktisi Falun Gong apakah mengalami penyiksaan atau bahkan memperoleh kebebasan seolah-olah diri sendiri dapat memutuskan. Mungkinkah PKT telah berubah menjadi baik? Jawabannya tentu saja tidak.

Terhadap semua praktisi Falun Gong yang teguh, berbagai macam siksaan di luar batas yang melampaui kemampuan deskripsi bahasa umat manusia diterapkan silih berganti. Dilihat dari jenis, tingkatan dan luasnya skala penyiksaan, kebrutalan dan kejahatan PKT tidak berubah sedikit pun, bahkan berubah semakin buruk, namun asalkan praktisi Falun Gong melepaskan keyakinan mereka, maka PKT seolah akan membuka sangkar dan membiarkan tahanan keluar. Ini justru sekali lagi membuktikan bahwa tujuan dari PKT adalah demi benar-benar memusnahkan manusia, bukan hanya ingin memusnahkan tubuh manusia secara fisik, namun juga ingin memusnahkan jiwa manusia. Dalam hal ini timbul dari kebencian roh jahat kepada Sang Pencipta, di sisi lain juga adalah karena penyebaran Falun Gong telah menggerakkan kepercayaan dari seluruh masyarakat bangkit kembali dan moralitas membubung kembali, dan prinsip “Sejati - Baik – Sabar” (Zhen - Shan – Ren) juga berisikan sari pati dari kebudayaan tradisional Tiongkok. Bagi roh jahat PKT yang mempunyai tujuan akhir menghalangi manusia mendapat penyelamatan dari Sang Pencipta, melalui penghancuran kebudayaan dan moralitas, tentu akan menganggap Falun Gong sebagai musuh besar nomor satu.

2. MERAMPAS HIDUP-HIDUP ORGAN PRAKTISI FALUN DAFA

Roh jahat komunis yang telah mengumpulkan metode penganiayaan jahat yang ada dari dulu hingga sekarang dari luar maupun dalam negeri, bahkan melampaui segala metode ini, sampai merampas hidup-hidup organ praktisi Falun Gong, dengan menggunakan metode paling jahat yang belum pernah ada di atas muka bumi ini untuk menganiaya dan menyiksa hingga mati praktisi Falun Gong.

Di mata roh jahat komunis, kepercayaan teguh dan keberanian dari praktisi Falun Gong telah membuat banyak sekali metode penganiayaan mereka yang digunakan secara trampil dan selalu efektif menjadi kehilangan efektivitasnya. Terutama dalam menghadapi para praktisi Falun Gong yang tidak berhasil ditransformasikan oleh mereka yang telah kehabisan ide, maka perampasan organ hidup-hidup pun menjadi metode penting dalam penganiayaan PKT. Keuntungan ekonominya yang luar biasa besar tidak hanya dapat digunakan untuk mempertahankan penganiayaan, juga telah menarik minat orang-orang dari seluruh dunia yang demi mempertahankan hidup, datang ke Tiongkok untuk menjalani transplantasi organ dan menggunakan uang untuk membeli organ tubuh milik praktisi Falun Dafa, sebenarnya ini juga sedang membantu PKT dalam membunuh manusia. Ini juga persis sama seperti apa yang diinginkan oleh roh jahat, yaitu selangkah lebih maju mencapai tujuan memusnahkan semua manusia yang ada di dunia.

Pada tanggal 7 Juli 2006, pengacara HAM Kanada David Matas dan mantan anggota senior parlemen Kanada David Kilgour untuk pertama kalinya memublikasikan “Perampasan Organ Berdarah: Laporan Investigasi Terkait Dugaan Partai Komunis Tiongkok Merampas Organ Praktisi Falun Gong” (Bloody Harvest, The killing of Falun Gong for Their Organs). Laporan tersebut atas dasar 18 bukti telah memverifikasi bahwa, tindak kejahatan dari PKT dalam merampas organ dari tubuh hidup praktisi Falun Gong adalah sungguh eksis, dan disebut sebagai “kejahatan yang belum pernah ada di planet bumi ini”. Melalui kerja keras para penyidik internasional, pada Juni 2016 laporan investigasi berjudul “Perampasan Organ Hidup-Hidup yang Bergelimang Darah” dan “Pembantaian Besar” yang diperbarui telah dipublikasikan. Dengan tebal 680 halaman dan hampir 2.400 artikel referensi, laporan tersebut telah mengungkap karakteristik sebenarnya dari tindak kejahatan PKT merampas organ hidup-hidup dengan skalanya yang sangat mengejutkan.

Pada tanggal 13 Juni 2016, berdasarkan semua investigasi dan bukti yang terkumpul, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika dengan suara bulat telah meloloskan resolusi nomor 343, yang mengutuk PKT karena secara paksa merampas organ praktisi Falun Gong dan tahanan hati nurani lainnya, menuntut dilakukannya investigasi yang dapat dipercaya, transparan serta independen terhadap kasus penyalahgunaan transplantasi organ yang dilakukan oleh PKT. Dunia bebas akhirnya mulai dapat mengenali tingkat kejahatan dari penganiayaan PKT terhadap Falun Dafa dan para praktisinya.

KESIMPULAN

Dalam seratus tahun terakhir, komunisme telah menyebabkan kematian lebih dari seratus juta orang di atas bumi. Betapa di Soviet Rusia dan di bawah dinding Tembok Berlin masih ada banyak roh gentayangan, yang tidak dapat memperoleh ritual pengampunan (Chaodu); rezim komunis lain yang mendapat dukungan dari Soviet Rusia dan PKT telah membunuh berapa banyak rakyat negaranya sendiri! Kamboja sebagai negara yang sedemikian kecil, namun ada jutaan rakyat yang disiksa dan dibunuh oleh rezim komunis Pol Pot [26], tumpukan tulang belulang di dalam lubang kuburan massal mencatat kejahatan pembantaian dari iblis merah komunis. Baru-baru ini pemimpin partai totaliter komunis Korea Utara di siang bolong, telah menyiksa dan membunuh anggota keluarganya sendiri di dalam partai termasuk juga rakyat biasa, serta mengancam dunia dengan perang nuklir. Sesungguhnya sejarah dari komunisme adalah catatan sejarah pembunuhan manusia sejilid demi sejilid, setiap halamannya dipenuhi dengan noda darah manusia dan semuanya mencatat tindakan kejahatan roh jahat komunis selama ratusan tahun ini yang sepanjang jalan telah ketagihan membunuh dengan menggunakan kekerasan.

Bab ini membahas sejarah PKT yang dipenuhi dengan kebrutalan pembunuhan manusia dan memusnahkan kebudayaan, tidak hanya telah mengungkap pembantaian dan perusakan ini semata, terlebih lagi menjelaskan bahwa dua macam taktik ini juga merupakan taktik yang digunakan oleh roh jahat komunis untuk memusnahkan umat manusia. Pada saat yang sama juga mengungkap konsekuensi yang berwujud di permukaan dan bagian akhir mengerikan yang untuk sementara ini belum dapat terlihat oleh manusia di dunia.

Di tengah gelombang besar hancurnya kebudayaan tradisional dan rusaknya moralitas, banyak sekali manusia di dunia yang ikut terbawa arus, sudah kehilangan kemampuan untuk dapat memahami perintah Tuhan di masa terakhir, menghadapi akhir dihancurkan secara tuntas. Tetapi ada berapa banyak manusia di dunia yang dapat menyadari bahwa bencana besar sudah di depan mata?

Kejahatan PKT yang abai terhadap belas kasih dari Tuhan, yang bertindak sesuka hati, sudah berjalan hingga langkah terakhir dari kejahatan maksimal. Baik dan jahat pada akhirnya akan ada balasan, yang jahat tidak dapat mengalahkan yang lurus adalah prinsip sejati yang selamanya bertahan di alam semesta. Bagi masyarakat dunia, mempertahankan kemurnian dan sifat dasar kebajikan, memegang erat standar moral, perilaku serta pemikiran yang ditetapkan oleh Tuhan kepada umat manusia, melangkah kembali ke jalan tradisional barulah merupakan jaminan bagi manusia di dunia untuk dapat melewati bencana besar hidup mati.



Keterangan:

[1] Berat lima dou = 3,6 kg, ungkapan ini bermakna orang yang bermartabat.

[2] Sastrawan zaman Dinasti Jin.

[3] Sering juga disebut pembantaian Tiananmen.

[4] Nama kuno dari Tiongkok.

[5] Pejabat Komandan Bolshevik.

[6] Cheka, juga disebut sebagai sebagai "polisi rahasia Soviet pertama", organisasi pertahanan negara Soviet pertama. Didirikan pada 5 Desember 1917.

[7] Li = satuan ukuran jarak tradisional Tiongkok. 1 li = 0,5 kilometer.

[8] Sebutan global untuk berbagai jenis organisasi atau kelompok agama, perkumpulan, klan dan lain sebagainya.

[9] Gunung Changbai, Korut menyebutnya Gunung Baekdu; perbatasan Provinsi Jilin dengan Korea Utara.

[10] Degradasi lahan menjadi gersang atau menjadi gurun.

[11] Kata Pengantar dari Kumpulan Puisi di Paviliun Anggrek.

[12] Kaligrafer terkenal dari Dinasti Jin.

[13] Sastrawan dari Dinasti Ming, yang menulis novel Perjalanan ke Barat.

[14] Sastrawan dan kaligrafer dari Dinasti Song Utara.

[15] Sebutan untuk ibukota Beijing pada masa Dinasti Yuan.

[16] Bangunan tradisional Tiongkok dengan halaman di tengah yang empat sisinya dikelilingi bangunan.

[17] Atau Zhong Yong, salah satu ajaran Konfusius tentang jalan yang lurus.

[18] Sebutan di zaman Revolusi Kebudayaan yang bernada melecehkan, secara harfiah bermakna anak ingusan.

[19] Anggota politbiro saat Revolusi Kebudayaan.

[20] Kampung halaman Konfusius.

[21] Empat peristiwa penganiayaan agama Buddha; yang dilakukan semasa 4 dinasti: 3 kaisar dengan nama gelar tengahnya “Wu” dan 1 kaisar dengan nama gelar belakangnya "Zong".

[22] Qigong yang meniru gerakan lima hewan.

[23] Sebuah bentuk seni beladiri dan kesehatan dari Tiongkok yang diciptakan oleh Zhang Sanfeng.

[24] Kitab Pengubah Otot, ajaran Shaolin, konon merupakan warisan Bodhidharma.

[25] Baca: chi kung, suatu metode Tiongkok kuno yang bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan kondisi kesehatan dengan cara mengintegrasikan sikap tubuh, teknik pernapasan dan pemfokusan pikiran.

[26] Pemimpin komunis Kamboja.