Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Wanita Kehilangan Keluarga dan Dana Pensiun setelah 12 Tahun Dipenjara karena Keyakinannya

14 Juni 2020 |   Oleh seorang koresponden Minghui di Provinsi Liaoning, Tiongkok

(Minghui.org) Seorang mantan pekerja pabrik semikonduktor di Kota Jinzhou, Provinsi Liaoning menjalani 12,5 tahun hukuman penjara dan kamp kerja paksa karena teguh dengan Falun Gong, sebuah latihan meditasi peningkatan kesehatan yang dianiaya di Tiongkok sejak tahun 1999.

Cui Yaning [perempuan] dipecat dari pekerjaannya tak lama setelah penganiayaan dimulai dan tidak dapat mengklaim pensiunannya karena dipenjara. Tekanan sosial dan polisi yang sering mengganggu memaksa suaminya untuk menceraikannya dan membawa anak mereka pergi. Dia kini tinggal sendiri dan berjuang memenuhi kebutuhan dengan melakukan pekerjaan serabutan.

Berikut adalah cerita Cui sendiri akan pengalamannya selama 21 tahun terakhir.

wanita dipenjara 12 tahun karena keyakinannya

Cui Yaning

Insomnia dan Radang Sendi Hilang

Ayah mertua saya meninggal karena serangan jantung 38 hari setelah pernikahan saya pada tahun 1992. Suami dan ibu mertua saya berjuang untuk mengatasinya. Tiga tahun kemudian anak laki-laki saya lahir, dan saya menjadi lebih sibuk mengurus bayi, suami dan ibu mertua saya. Selain itu, saya bekerja purna waktu di Perusahaan Jinzhou Huaguang Power-Electronics.

Dengan sedikit waktu untuk beristirahat, saya menderita insomnia, sakit perut, kelelahan, dan radang sendi. Seorang teman memperkenalkan saya kepada Falun Gong tahun 1997. Saya mendapat tidur malam terbaik saya dalam bertahun-tahun setelah membaca beberapa halaman dari buku utama ajaran Falun Dafa, Zhuan Falun.

Saya terus melanjutkan berlatih, semua penyakit saya menghilang dan karakter saya membaik, yang membuat saya bisa menangani tanggung jawab saya di rumah dan tempat kerja dengan mudah. Saya menjadi pegawai yang luar biasa dan dipromosikan.

Dipenjara Berulang Kali karena Menolak untuk Meninggalkan Falun Gong

Hidup saya terbalik ketika penganiayaan terhadap Falun Gong dimulai pada bulan Juli 1999. Saya tidak diperkenankan untuk melakukan latihan Falun Gong di tempat umum; atasan saya sering memanggil saya ke kantornya dan meminta saya untuk melepaskan latihan ini; teman kerja saya tidak mempercayai saya, dan keluarga saya menjauhi saya.

Saya ditahan 3 kali dengan total 12,5 tahun penjara. Dari 15 Oktober 1999 hingga 14 Oktober 2001. Saya ditempatkan di Kamp Kerja Paksa Wanita Masanjia, pada saat yang sama tempat kerja saya dengan sewenang-wenang mengakhiri kontrak saya. Satu bulan setelah saya dibebaskan, suami saya menceraikan saya karena dia tidak ingin pihak berwenang menyerang dia dan anggota keluarga yang lain karena saya.

Saya ditahan lagi pada bulan Desember 2001 dan dikirim ke kamp kerja paksa lainnya untuk menjalani hukuman 3,5 tahun, dari 28 Desember 2001 hingga 7 Juni 2005.

Hukuman penjara terakhir saya dari tanggal 25 Februari 2008 hingga 24 Februari 2015 di Penjara Wanita Liaoning.

Disiksa di Kamp Kerja Paksa

Melakukan latihan Falun Gong untuk tetap bugar dilarang di Kamp Kerja Paksa Masanjia. Seorang penjaga memprovokasi tahanan lain untuk memukuli saya ketika dia melihat saya melakukan latihan Falun Gong. Seorang tahanan memukul kepala saya dengan tongkat sapu sampai patah. Yang lainnya menendang saya di dada dan punggung setelah saya jatuh, membuat tulang rusuk saya patah. Saya merasakan sakit menusuk di dada saya selama beberapa bulan berikutnya. Setelah semua tahanan bergantian memukuli saya, mereka menyeret saya untuk bekerja. Saya tidak bisa bergerak karena cedera saya dan seorang tahanan menampar saya berulang kali hingga saya hampir pingsan.

Otoritas kamp membuat kami bekerja dari jam 6 pagi hingga 10 malam setiap hari pada tahun 2000. Sebelum saya belajar bagaimana mengoperasikan sebuah mesin jahit, saya diperintahkan untuk menjahit 180 pasang lengan bahu setiap hari.

Siksaan lebih intensif pada tahun 2001, bertujuan untuk membuat para praktisi melepaskan Falun Gong. Saya harus jongkok dari jam 6 pagi hingga tengah malam selama lima hari berturut-turut. Akibatnya kaki saya menjadi bengkak dan kaku. Ketika saya menolak untuk melepaskan keyakinan saya, penjaga menyetrum kepala saya, punggung, dan lengan bawah dengan tongkat listrik. Rasa sakitnya seperti gigitan ular dan tubuh saya dipenuhi dengan luka bakar. Saya hidup dalam ketakutan setiap hari dan tidak bisa melihat harapan apa pun. Saya tidak berharap saya akan keluar dalam keadaan hidup.

Dipenjara Lagi Dua Bulan setelah Dibebaskan

Saya ditahan lagi dan diberi hukuman kamp kerja paksa 3,5 tahun lagi, hanya dalam waktu dua bulan setelah saya dibebaskan. Pada waktu ini, saya ditahan di Kamp Kerja Paksa Wanita No. 2 Masanjia yang baru dibangun, yang didedikasikan untuk rumah dan pencucian otak praktisi Falun Gong.

Pada masa puncak, lebih dari 4.000 praktisi ditahan di sana. Otoritas menyiksa praktisi dengan segala metode yang memungkinkan dan mereka mengaku bahwa 95% dari para praktisi telah dipaksa untuk melepaskan Falun Gong. Setelah mencapai angka “transformasi” yang demikian tinggi, otoritas di Masanjia juga mempromosikan pengalaman mereka kepada kamp kerja paksa lainnya ke seluruh negeri.

Penjaga memaksa saya menonton dan mendengarkan propaganda yang memfitnah Falun Gong dan Guru. Pencucian otak dilakukan bersamaan dengan penyiksaan fisik untuk melemahkan tekad kami. Pada suatu kejadian, saya dipaksa untuk berdiri selama 8 hari berturut-turut. Kaki saya sangat bengkak hingga kulit tampak transparan dan bersinar. Saya menjadi pusing dan kacau pada akhirnya.

Di waktu lain, saya dikurung di ruangan isolasi yang kecil karena berbicara dengan orang-orang mengenai Falun Gong. Mereka mengikat saya ke kursi besi selama 9 hari berturut-turut hanya dengan dua makanan sehari dan dua kali jeda untuk ke toilet. Saat itu akhir Desember dan salju turun di luar. Penjaga membuka jendela untuk membekukan saya. Ketika saya dikeluarkan, kaki saya dua kali lebih tebal dan tertutup luka berisi darah. Anggota tubuh saya mati rasa dan tidak bisa mengangkat jarum atau bahkan berjalan.

Otoritas mengirimkan saya ke rumah sakit dan tanpa memberi tahu saya apa pun, memborgol saya ke tempat tidur dan menyuntikkan obat-obatan yang tidak diketahui ke dalam nadi saya. Obat tersebut membuat rasa sakit yang luar biasa di ujung jari saya, seperti ditusuk dengan jarum. Saya bahkan dipaksa untuk membayar pengobatan yang kejam ini. Satu tahun setelah radang dingin, anggota tubuh saya masih mati rasa dan sensitif terhadap dingin.

Saya melakukan aksi mogok makan untuk memprotes kekejaman. Para penjaga memasukkan saluran makan melalui lubang hidung saya dan turun ke perut, lalu menuangkan pasta nasi asin. Garis hidung dan batang tenggorokkan saya sobek selama proses kejam itu.

Kami diminta untuk bekerja berjam-jam untuk mengupas kulit bawang putih dan membuat kesenian tangan. Lusinan orang berdesak-desakan di sebuah ruangan kecil menyemprotkan cat dan mengelem kerajinan tangan itu. Bau dari cairan pelarut tidak tertahankan dan bawang putih sering kali terkontaminasi. Kebanyakan bawang putih dijual ke restoran setempat.

Suatu waktu di tahun 2005 lusinan praktisi dikurung di sel kecil dengan semua jendela tertutup dan hanya sebuah lubang seukuran telur yang terbuka. Kami harus duduk diam di bangku kecil dari jam 6 pagi hingga tengah malam selama lebih dari 5 bulan. Kulit dari pantat kami pecah dan melepuh karena tidak memiliki waktu untuk tumbuh kembali.

Menyaksikan Kematian dan Penyiksaan Kejam Lainnya

Pada waktu itu di Masanjia mungkin adalah masa terkelam dalam hidup saya. Ketika menahan penyiksaan terhadap diri saya, saya juga menyaksikan kekejaman yang tak terbayangkan terhadap rekan praktisi lainnya. Hati saya penuh dengan rasa takut, duka, dan rasa marah. Setiap hari adalah hukuman bagi saya.

Wajah Gao Rongrong disetrum dengan tongkat listrik hingga berubah bentuk.

Yin Liping dikirim ke sel pria dan diperkosa beramai-ramai oleh tahanan.

Bai Suzhen, dari Wafangdian, tiba-tiba meninggal setelah dipaksa bekerja semalaman meski tekanan darahnya tinggi. Dia waktu itu berusia 60-an. Kamp kerja paksa berbohong kepada keluarganya bahwa dia meninggal setelah menolak meminum obat dan tidak mengatakan apa pun tentang kerja paksa.

Zhang Shuzhi, seorang ibu dua anak dari Kota Jinzhou, dipaksa untuk melepaskan Falun Gong, berharap dia dapat pulang ke rumah lebih awal untuk mengurus anak-anaknya. Namun kamp kerja paksa ingkar janji dan masih menahan Zhang dalam tahanan setelah dia menulis pernyataan melepas keyakinan. Dia sangat marah. Suatu hari setelah mandi, dia tiba-tiba jatuh dan meninggal di tempat. Tubuhnya segera berubah menjadi biru. Setelah itu saya baru mengetahui bahwa dia meninggal karena serangan jantung.

Bagi semua orang yang telah dianiaya di Masanjia, trauma tersebut sangat hebat hingga kebanyakan dari mereka tidak ingin mengingat kejadian seperti itu. Juga tidak mudah bagi saya untuk menulis semuanya, namun jika tidak ada satu pun dari kami yang mengatakan sesuatu, dunia tidak akan tahu apa yang terjadi kepada kami.

Dihukum hingga Tujuh Tahun Penjara

Bertahun-tahun kemudian, saya ditangkap lagi pada tanggal 25 Februari 2008, setelah polisi menyadap ponsel saya dan melacak saya. Saya lalu dihukum 7 tahun dan dikirim ke Penjara Wanita Liaoning.

Selama lima bulan, saya dikurung di dalam sel isolasi, di mana saya diserang dan dicuci otak. Saya tidak boleh bergerak dan harus duduk diam di bangku kecil selama 13 jam sehari. Daging pantat saya terkikis oleh permukaan kasar dari tempat duduk. Saya makan sesedikit mungkin makanan karena penggunaan toilet terbatas.

Otoritas penjara kemudian memaksa kami menjahit seragam polisi dan pakaian lainnya selama 13 jam sehari. Kami harus cepat karena jumlah beban pekerjaan yang tidak masuk akal. Seperti sekelompok rusa yang ketakutan karena dikejar-kejar oleh serigala yang marah. Jika kami membuat kesalahan, penjaga akan menyetrum kami dengan tongkat listrik.

Kami harus membeli keperluan harian kami dari penjara bukannya membawa milik kami pribadi. Barang-barang sangat mahal di penjara, yang menambah beban finansial kami.

Kami tidak diperbolehkan untuk berbicara satu sama lain dan didorong untuk memata-matai dan saling melaporkan. Semua orang waspada, takut dan cemas sepanjang waktu. Ada kamera di mana-mana termasuk kamar mandi dan toilet wanita. Percakapan atau pembicaraan telepon diawasi.

Sebagai hasil dari siksaan fisik dan mental, tujuh dari gigi saya rontok ketika saya ada di penjara. Saya tidak lagi bisa mengunyah makanan apa pun padahal saya baru berusia 44 tahun. Setelah saya dibebaskan tahun 2015, lebih banyak gigi rontok. Kini saya hanya punya 7 gigi tersisa.

Penganiayaan Jenis Lainnya

Karena saya, keluarga saya diserang di tempat kerja: adik laki-laki saya dipecat dan kakak perempuan saya dipersulit. Keluarga dari sisi suami saya berhenti berbicara dengan saya. Ibu saya terus-menerus mencemaskan saya dan harus mencari penasihat hukum untuk saya. Suatu hari dalam perjalanannya menemukan seorang pengacara untuk saya, dia mengalami kecelakaan mobil parah dan terlempar ke udara dan jatuh ke tanah dengan kepala terlebih dahulu. Beruntungnya, dia selamat dari kecelakaan tersebut.

Keluarga saya dan saya berjuang secara finansial karena penganiayaan. Dalam waktu tujuh tahun saya di penjara, biaya hukum, biaya hidup, dan biaya bepergian keluarga karena mengunjungi saya, terhitung lebih dari 50.000 yuan (US$ 7.000). 12,5 tahun saya dipenjara, saya tidak memiliki penghasilan.

Setelah saya dibebaskan pada tahun 2015, diskriminasi terhadap keyakinan dan catatan penjara saya menghalangi saya mendapatkan pekerjaan yang layak. Pejabat pemerintahan menolak untuk membantu saya menemukan pekerjaan dan mengancam akan memasukan saya kembali ke penjara. Saya harus bekerja serabutan dan tinggal dengan ibu saya.

Namun polisi dan petugas setempat, terus-menerus datang ke tempat kerja ibu dan tempat kerja saya untuk mengganggu saya. Saya benar-benar merasa kasihan pada ibu saya.

Setelah mengalami puluhan tahun dianiaya bagai di neraka, betapa saya ingin tinggal dengan keluarga saya untuk mengobati hati. Namun penganiayaan seperti hantu, yang terus menghantui saya, meski ketika masa hukuman saya telah berakhir. Penganiayaan itu menyebar ke semua aspek hidup saya dan keluarga saya. Ada di udara dan tiap sudut yang saya lewati.

Saya harus pindah dan menyewa sebuah tempat dan menghabiskan kebanyakan waktu saya jauh dari ibu dan teman-teman saya. Saya merasa lelah, kesepian, takut dan putus asa.

Saya berusia 50 tahun pada 2019 dan memenuhi syarat untuk pensiun dan mengumpulkan dana pensiun. Ketika saya mengajukan dana pensiun, saya diberi tahu bahwa saya melewatkan pembayaran 4 tahun 8 bulan karena bekas tempat kerja saya berhenti berkontribusi ke akun pensiun saya setelah saya ditangkap pada bulan Oktober 1999. Juga 12,5 tahun saya ditahan tidak bisa dihitung sebagai tahun pelayanan saya. Saya tidak mungkin bisa membenahi pembayaran yang telah saya lewati dengan situasi finansial saya saat ini dan benar-benar harus membiayai hidup saya sendiri.

Saya bergetar kapan pun saya memikirkan tentang anak saya yang kini berusia 25 tahun yang dipisahkan dari ibunya di usia 4 tahun; ibu saya sendiri berusia 80-an, tinggal dalam ketakutan dan cemas terhadap saya setiap hari di dua dekade terakhir ini; dan hidup saya sendiri telah dihancurkan dalam penganiayaan.

Pada tingkat fundamental, bukan hanya hidup saya atau praktisi lain saja yang tak terhitung jumlahnya yang telah dirusak, namun apa yang telah dihancurkan adalah pilar moral yang menstabilkan masyarakat kita. Saya harap penganiayaan akan segera berakhir dan para pelaku kejahatan akan diadili.

Laporan terkait dalam bahasa Inggris:

Ms. Cui Yaning Arrested Again Following Two Stays in a Forced Labor Camp