Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Konotasi Warna Tradisional (Bagian 1)

31 Okt. 2021 |   Oleh Arnaurd H.

(Minghui.org)

Dunia kita penuh dengan warna, di mana setiap negara mengagumi warna tradisional uniknya masing-masing yang tidak hanya menarik untuk dipandang -- warna unik mereka juga mencerminkan sejarah dan tradisi masing-masing negara.

Di dunia saat ini, warna-warna tradisional semacam ini tampak mirip satu sama lain, namun konotasinya bisa jadi cukup berbeda. Dengan banyak ragam warna, serial artikel ini akan menganalisa beberapa hal yang paling umum.

Lima Kebajikan dan Lima Warna

Di Tiongkok saat ini, ketika menyangkut tentang warna tradisional, banyak orang terpikirkan dengan warna merah, karena warna tersebut dinilai sebagai warna kemeriahan yang melambangkan kebahagiaan. Sebagai contoh, orang-orang cenderung banyak menggunakan warna merah untuk menghias rumah saat acara pernikahan, dan kedua mempelai pengantin sering menggunakan pakaian berwarna merah; untuk Tahun Baru Imlek, orang-orang memasang kuplet di kertas merah; merah juga adalah warna yang dominan di segala jenis perayaan, apalagi dalam propaganda politik yang semangat tentang “Tiongkok Merah.” Secara umum, warna merah tampaknya memiliki kesan yang positif di benak orang-orang, karena mereka meyakini warna merah melambangkan kemakmuran dan keberuntungan baik.

Namun, saat menelaah budaya tradisional Tiongkok, warna merah terang sebenarnya tidak sesuai dengan tiga agama tradisional Tiongkok yakni aliran Konghucu, Tao, dan Buddha. Bahkan, warna di tiap dinasti Tiongkok kuno cenderung mulia, lembut, sederhana, atau elegan, dan tidak ada yang mendekati warna merah terang menyilaukan seperti yang kita lihat di hari ini. Lagipula, warna merah tidak sesuai dengan karakter introvert bangsa Tiongkok kuno pada umumnya.

Jadi, apa warna tradisional Tiongkok?

Pertama-tama, kita harus melihat teori Lima Kebajikan. Hal itu dianjurkan oleh Zou Yan, seorang cendekiawan terkenal yang mewakili aliran Yin – Yang saat periode negara-negara berperang (475 – 221 SM).

Aliran ini mempunyai pandangan bahwa semua perubahan di alam semesta terjadi berdasarkan kinerja Yin dan Yang, perkembangan Lima Elemen, serta prinsip saling menghidupi dan saling membatasi. Zou menerapkan kinerja Lima Elemen lebih jauh lagi untuk menjelaskan aspek pengulangan sejarah dan perubahan dinasti, yang dikenal sebagai Teori Lima Kebajikan.

Meskipun teori ini memiliki dampak yang besar terhadap sejarah Tiongkok, banyak orang sekarang ini bahkan tidak pernah mendengarnya. Ini dikarenakan sangat banyak budaya tradisional Tiongkok yang dijelekkan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), membuat banyak nilai-nilai fundamental terlupakan dan diabaikan.

Berdasarkan Teori Lima Kebajikan, masing-masing dari Lima Elemen yakni, logam, kayu, air, api dan tanah melambangkan kebajikan yang unik, dan mereka berputar bersama-sama.

Berdasarkan teori ini, alasan mengapa sebuah dinasti ada karena Langit menganugerahkannya salah satu dari lima kebajikan. Yakni, kaisar (tianzi, atau putra langit) memiliki misi langit untuk dipenuhi. Karena kebajikan dari dinasti tersebut berangsur-angsur melemah, dinasti lainnya akan muncul dengan kebajikan yang Langit anugerahkan kepadanya dan menggantikan dinasti yang sudah ada.

Sebagai contohnya, berdasarkan teori saling menghidupi dan saling membatasi, logam mengalahkan kayu, kayu mengalahkan tanah, air mengalahkan api, api mengalahkan logam, dan tanah mengalahkan air. Tiap dinasti, dengan kebajikannya masing-masing, juga mengikuti perputaran seperti itu. Menurut teori Zou, Dinasti Zhou memiliki kebajikan dari api, yang lalu digantikan oleh Dinasti Qin, yang memiliki kebajikan dari air, air mengalahkan api.

Teori Lima Kebajikan Zou dikenal dan diterima sangat luas dalam sejarah Tiongkok. Dari Dinasti Qin dan Han hingga Dinasti Song, Liao, dan Jin, pejabat pengadilan di masing-masing dinasti akan selalu mendiskusikan dan menegaskan kebajikan mereka sendiri. Hal itu lalu diumumkan ke seluruh negeri untuk membuktikan keabsahan dinasti tersebut. Itu juga menunjukkan bahwa sebuah dinasti tidak dapat diakhiri hanya dengan menggunakan paksaan, penerusnya juga harus memiliki kebajikan penting yang dianugerahkan langit kepadanya. Meskipun Dinasti Yuan, Ming dan Qing tidak secara resmi menyatakan jenis kebajikan yang mereka wakili, semua kaisar mereka dianggap mengikuti pengaturan Langit.

Warna dari Lima Kebajikan dan interaksi saling menghidupi saling membatasi

Dinasti yang berbeda menyerupai kebajikan yang berbeda dan diwakilkan oleh warna mereka yang sesuai, seperti putih, biru, hitam, merah atau kuning. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, saat Dinasti Qin mengakhiri Dinasti Zhou, mereka percaya bahwa mereka mengikuti kehendak Langit, air mengalahkan api. Karena warna yang sesuai dengan air adalah hitam, Dinasti Qin menggunakan warna hitam sebagai warna yang mewakili mereka, dan kaisar Qin menggunakan jubah berwarna hitam.

Shi Ji (Catatan Sejarawan Agung), salah satu buku sejarah yang paling dihormati, mempunyai catatan di Sejarah Dasar Qin Shihuang, Kaisar Pertama. Dia mempromosikan tradisi Lima Kebajikan, meyakini bahwa Dinasti Zhou (dengan kebajikan api) digantikan oleh Dinasti Qin (dengan kebajikan air) karena air mengalahkan api. Seperti yang tertulis dalam buku tersbeut, “Kalender baru dimulai pada bulan Oktober. Busana dan bendera semua berwarna hitam.”

Serupa dengan hal itu, Kaisar Xuanzong dari Dinasti Tang juga menulis sebuah artikel untuk upacara pemujaan besar di Gunung Tai, “Langit memberkati klan Li (marga dari kaisar Tang) dengan kebajikan tanah.” Dengan jelas, Dinasti Tang berdasarkan pada kebajikan tanah. Oleh karenanya, dinasti tersebut menggunakan warna kuning untuk mewakilinya. Namun, bukan berarti semua orang dapat mengenakan warna tersebut. Sesunguhnya, warna kuning hanya diperuntukkan khusus bagi keluarga kerajaan, bukan untuk rakyat biasa.

Di dinasti yang merangkul kebajikan dari api, busananya berwarna merah. Namun warnanya cukup berbeda dengan warna merah terang yang kita lihat saat ini karena pewarna yang digunakan di Tiongkok kuno berbeda. Terdapat nuansa merah yang berbeda dengan berbagai nama di Tiongkok kuno. Warna merah tradisional lebih gelap dan lembut.

Contohnya istana kerajaan Ming dan Qing, merah sinaber di dinding istana sesungguhnya adalah warna antara jingga dan merah. Warnanya sedikit keabu-abuan, bukan warna merah terang modern. Warna merah juga adalah warna dinasti, rakyat biasa tidak diperkenankan untuk menggunakannya, karena warna tersebut hanya diperuntukkan bagi kaisar.

Sebagai contohnya, meskipun Dinasti Ming tidak mengumumkan secara resmi kebajikan apa yang ia wakili, banyak dokumen resmi menyebutkan bahwa dinasti Ming didasari oleh kebajikan api. Liu Chen, menteri pada awal Dinasti Ming, menulis bahwa “Taizu dari Dinasti Ming adalah raja dari kebajikan api dan dia merangkul warna merah.” Dinasti Ming menetapkan warna merah untuk mewakili kebijakan dari api, dan rakyat biasa tidak diperkenankan untuk menggunakan busana dengan warna tersebut.

Warna merah dapat dikategorikan menjadi berbagai nuansa dan ada aturan terperinci tentang penggunaannya di acara spesial serta didasari oleh status sosial seseorang. Rakyat biasa tidak diperkenankan menggunakan warna merah murni. Mereka hanya dapat menggunakan nuansa merah yang lebih muda seperti warna persik dan seterusnya. Pembatasan mungkin sedikit diperlonggar untuk beberapa acara besar dan dalam kondisi khusus.

Patut disebutkan bahwa warna “merah” di zaman dahulu bahkan memiliki makna yang berbeda dengan “merah” di Tiongkok modern. Menurut Shuowen JieZi, sebuah kamus Tiongkok kuno dari Dinasti Han, warna merah adalah “perpaduan warna merah dan putih.” Dengan kata lain, warna “merah” di Tiongkok kuno mengacu pada nuansa merah muda, bukan warna merah terang seperti yang orang-orang pikirkan saat ini. Namun, demi kemudahan pembaca saat ini, saya akan menggunakan warna “merah” sebagai istilah umum saat mengacu pada warna serupa yang memiliki nama berbeda di artikel ini.

Dari sudut pandang yang lebih tinggi, alasan masing-masing dinasti memiliki warisan budaya dan sejarahnya yang unik adalah karena masing-masing dinasti berasal dari sumber yang berbeda. Oleh karenanya, warna yang mereka rangkul secara alami bervariasi satu sama lain. Teori lima kebajikan dan lima warna hanya dapat dijelaskan pada tingkat tertentu di dunia manusia dan mungkin bukan kenyataannya yang fundamental.

(Bersambung ke Bagian 2)