Minghui.org
(Lanjutan dari Bagian 1)
Bagian VI: Cangjie Menciptakan Aksara Tiongkok
Jika delapan trigram Fuxi membentuk bahasa yang digunakan para dewa untuk berbicara dengan manusia, maka penemuan Cangjie atas tulisan Tiongkok membentuk bahasa yang digunakan manusia untuk berbicara dengan manusia lain. Kedua bahasa berasal dari sifat alam semesta, dan masing-masing dipergunakan untuk tujuan khusus mereka sendiri.
Dengan trigram, orang bisa membaca arah perkembangan alam, menyadari rahasia langit, dan memprediksi keberuntungan atau kesialan. Di dalam karakter, orang dapat melihat esensi dari semua hal di alam semesta dan menguraikan makna terdalamnya—karena ketika Cangjie membuat setiap karakter, dia mempertimbangkan ciri utama dari apa yang diwakilinya dalam menentukan bentuknya.
Cangjie dikatakan sebagai sejarawan resmi Kaisar Kuning, dan penduduk asli Xinzheng di Provinsi Henan. Majikan yang dia layani, Kaisar Kuning, adalah yang pertama dari Lima Kaisar yang mendirikan lima milenium peradaban Tiongkok. Pemerintahan kaisar ini berlangsung selama 100 tahun, dari sekitar tahun 2.697 SM hingga 2.597 SM.
Kaisar Kuning
Menurut legenda, Cangjie lahir dengan penampilan seperti dewa dan memiliki empat mata. Dia menggunakan keempat mata ini untuk mengamati semua jenis hewan dan benda, dan ditugaskan untuk membentuk bahasa dari pengamatannya untuk menggantikan sistem pencatatan pemerintah yang menggunakan ikatan simpul.
Cangjie
Tapi seiring berjalannya cerita, Cangjie butuh beberapa saat untuk memikirkan bagaimana menyelesaikan tugas Kaisar Kuning. Pada awalnya, cukup sulit dan dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Suatu hari, ketika dia sedang mondar-mandir di teras, berpikir keras tentang bagaimana menyusun bahasa barunya, seekor burung phoenix terbang di atas kepalanya. Burung itu memegang sesuatu di paruhnya, yang dijatuhkannya ke kaki Cangjie. Cangjie mengambil benda itu dan melihat ada jejak kaki hewan di atasnya. Dia tidak mengenali jejak kaki hewan itu, jadi dia bertanya kepada seorang pemburu lokal. Pemburu memberi tahu Cangjie bahwa itu adalah jejak dari Pixiu, binatang mitos mirip griffin.
Cangjie sangat terinspirasi oleh pengalaman tersebut dan mulai menciptakan karakter dengan mencatat karakteristik khusus dari semua hal yang dapat dia rasakan. Dia mengamati hal-hal dengan saksama dan penuh pertimbangan, dengan tujuan memilih sifat terdalam mereka. Tak lama kemudian, dia telah menyusun daftar panjang karakter untuk ditulis. Generasi selanjutnya membangun monumen di teras tempat Cangjie melihat burung phoenix untuk memperingati kontribusinya pada bahasa Tiongkok.
Monumen yang didirikan untuk mengenang tempat Cangjie menciptakan aksara Tiongkok
Wang Anshi (1012–1086 M), seorang penyair, filsuf, pejabat istana, dan reformis terkenal pada masa Dinasti Song, berkomentar tentang pengamatan metafisik yang dalam yang dipraktikkan oleh Cangjie dalam A Trip to Baochan Mountain:
“Orang dahulu sering memperoleh wawasan dengan merenungkan alam semesta — gunung dan sungai, tumbuh-tumbuhan, ikan dan spesies serangga, serta burung dan binatang buas. Mereka dapat melakukannya karena mereka mencari keluasan dan kedalaman ruang lingkup meditasi mereka.”
Cangjie dapat menggunakan jenis observasi ini untuk menangkap “bentuk” yang paling mendekati atau mewakili suatu objek. Dia memulainya dengan mengidentifikasi karakteristik objek yang menentukan dengan menyusun kesannya terhadap objek dari kehidupan sehari-hari. Dia kemudian mulai menggambarnya, membuat kelompok pertama karakter Tiongkok: piktogram. Misalnya, karakter zhua (爪) untuk “cakar” sangat mirip dengan kaki burung atau kaki binatang; karakter niao (鳥) untuk “ burung” dan chi (齒) untuk “gigi” juga mengambil inspirasi dari penampakan objek yang diwakilinya.
Piktogram ini kemudian digabungkan untuk membentuk karakter ideografis, yaitu ilustrasi yang lebih abstrak dari konsep yang sedikit kurang lugas. Misalnya, karakter fei (飛), yang berarti “terbang,” terdiri dari piktogram burung terbang di atas karakter sheng (升), yang berarti “naik.”
Karakter xiu (休), yang berarti "beristirahat," dibuat dengan dua komponen: radikal ren, yang berasal dari karakter ren (人) yang berarti "orang," dan karakter mu (木), yang berarti "kayu" atau "pohon." Dalam hal ini, karakter ideografis melukiskan gambaran seseorang yang bersandar di pohon untuk beristirahat, tetapi karakter mu digunakan sebagai radikal dalam banyak karakter yang berarti kayu. Banyak karakter furnitur mengandung mu radikal.
Contoh kata kerja lainnya adalah karakter cai (采), yang artinya “memilih.” Ini terdiri dari huruf zhua (爪) di atas, menunjukkan cakar, dengan karakter mu (木) di bagian bawah, menunjukkan tangan meraih pohon untuk memetik buah.
Karakter ideografis juga dapat digunakan untuk mengekspresikan kata sifat dan kata keterangan. Karakter jian (尖) terdiri dari karakter xiao (小) untuk "kecil" di atas karakter da (大) untuk "besar." Menempatkan karakter bu (不), yang berarti “tidak,” di atas karakter zheng (正), yang berarti “benar” membuat anda mendapatkan karakter wai (歪), yang berarti “bengkok.” Ketika sebuah hutan, lin (林), dibakar, huo (火), kita mendapatkan karakter fen (焚), yang artinya “terbakar.”
Karakter ideografik tertentu juga mewakili kata benda, seperti karakter xian (仙) untuk "dewa," yang memiliki ren (人) radikal untuk "orang" di sebelah kiri dan karakter shan (山) untuk "gunung" di sebelah kanan. Ini didasarkan pada kepercayaan Tiongkok bahwa makhluk abadi dan dewa suka tinggal di pegunungan. Banyak tempat fantastis dalam legenda Tiongkok, seperti Gunung Kunlun, terletak di puncak tertinggi.
Kelas ketiga aksara Tiongkok dibangun di atas fondasi yang ditetapkan oleh ideograf dan piktograf—karakter majemuk fono-semantik. Aksara-aksara ini tersusun dari satu aksara yang cocok dengan pengucapan karakter secara keseluruhan, bersama dengan radikal yang berkonotasi dengan konteks penggunaannya. Misalnya, karakter lao (姥), yang berarti “nenek,” menempatkan akar kata dasar untuk nü (女), yang berarti “wanita,” di samping karakter lao (老), yang berarti “tua.” Lao "tua" (老) di dalam lao "nenek" (姥) memberi pembaca petunjuk tentang bagaimana lao "nenek" harus diucapkan.
Karakter yang dibuat Cangjie
Banyak teks sejarah Tiongkok yang mengakui Cangjie sebagai pencipta sistem tulisan Tiongkok, dan bahkan banyak yang merinci prosesnya. Shuowen Jiezi, kamus Tiongkok kuno, menggambarkan perkembangan bahasa Tiongkok seperti ini:
“Cangjie pertama kali menemukan karakter berdasarkan piktogram; ini disebut wen (文). Dia kemudian merancang karakter piktofonetik, di mana bentuk dan suara saling melengkapi; ini disebut zi (字). Piktogram mencerminkan karakteristik asli benda, sedangkan karakter piktofonetik memiliki kemampuan untuk berkembang biak dan dengan cepat bertambah jumlahnya. Ketika aksara-aksara ini ditulis pada belahan bambu, itu disebut buku.”
Xunzi, salah satu dari tiga Konfusius klasik bersama dengan Konfusius dan Mencius, juga menulis tentang Cangjie dalam karyanya. Dalam Jiebi, diterjemahkan sebagai “Melepas Tirai,” katanya:
“Ada banyak orang yang suka menulis, tetapi bentuk yang diciptakan oleh Cangjie, sang pencipta karakter, benar-benar tak tertandingi—ini karena Cangjie mencapai kesatuan pikiran [dalam penciptaan karakternya.]”
Cangjie memang memperlakukan penciptaan karakter seperti proses meditasi, menjaga ketenangan pikiran dan kemurnian niat. Dia bertujuan untuk menangkap sifat sebenarnya dari semua objek, tempat, dan ide di sekitarnya, apakah itu melalui mempelajari bentuk, mengumpulkan sifat, mengalami emosi yang berbeda, atau bereksperimen dengan konsep. Karakter-karakter ini, yang dibuat melalui pengamatannya yang cermat, kemudian disesuaikan dengan pengucapan dan metonimia yang ditentukan untuk menghidupkan sifat sejati ini.
Karena karakter Cangjie dijiwai dengan sifat sejati dari segala sesuatu, mereka terhubung dengan hukum dasar alam semesta dan menjaga hubungan dengan yang ilahi.
Dalam menciptakan karakternya, Cangjie mengambil jalur paling sederhana dan langsung dari makna ke bahasa. Bahasa Tiongkok yang dia buat mungkin adalah yang terbaik di dunia untuk mengekspresikan esensi batin dari fenomena dan artefak dunia, dan yang mungkin paling mampu mengartikulasikan nuansa pengalaman manusia. Ini benar-benar mutiara yang cemerlang dalam karunia budaya Tiongkok yang diilhami secara ilahi.
Namun, bukan hanya karakter Cangjie yang diwariskan. Praktik pengamatan penuh perhatiannya juga telah mengilhami bagian lain dari budaya Tiongkok, termasuk para dokter pengobatan Tiongkok. Tabib legendaris seperti Li Shizhen, Hua Tuo, dan Bianque telah mengubah pengamatan Cangjie menjadi alat medis yang ampuh.
Li Shizhen (1518–1593 M) adalah penulis Kompendium Materia Medica, ensiklopedia medis terlengkap dalam sejarah pengobatan tradisional Tiongkok. Pekerjaan itu membutuhkan waktu 27 tahun untuk menyelesaikannya, di mana dia mengamati berbagai tumbuhan, hewan, dan mineral, dan menyusun pengalaman medisnya masing-masing — seperti yang dilakukan Cangjie dengan lingkungannya.
Hua Tuo dan Bian Que dikatakan telah menggunakan observasi sebagai alat diagnostik. Mereka menetapkan preseden untuk proses diagnostik dalam pengobatan tradisional Tiongkok, yang dimulai dengan mempelajari warna kulit pasien, merasakan denyut nadinya, menilai baunya, dan mengevaluasi perilakunya sebelum dokter meminta pasien untuk menjelaskan gejalanya. Pemikirannya adalah bahwa melalui jenis pengamatan meditatif terhadap bentuk luar pasien, dokter akan dapat menjelaskan penyebab internal dari penyakit pasien. Keyakinan bahwa bentuk dan spirit—eksternal dan internal—terhubung secara mendalam adalah prinsip yang sama yang digunakan Cangjie untuk menangkap sifat sebenarnya dari objek yang dia amati.
Seperti banyak legenda Tiongkok lainnya, ada aspek kultivasi diri dalam kisah Cangjie dan para tabib ini. Pengamatan mereka yang seperti meditasi adalah cara untuk menyempurnakan karakter mereka, dan akhirnya memberi mereka kemampuan supernormal dalam hal pengamatan.
Menurut legenda, kedua tabib ini dan Cangjie memiliki kemampuan untuk melihat melalui Mata Ketiga mereka, atau “Mata Surgawi,” dan dapat melihat hal-hal di luar realitas kita. Ini adalah bagaimana Hua Tuo dan Bian Que dapat mendiagnosis secara akurat bahkan tanpa menyentuh pasien, dan bagaimana Cangjie mampu menunjukkan intisari dunia melalui beberapa kalimat sederhana.
Bagian VII: Penggunaan Aksara Tiongkok Kontemporer
Aksara Tiongkok hari ini adalah hasil dari evolusi dan pematangan yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama. Contoh aksara Tiongkok tertua yang diketahui berasal dari Cangjie Shu, atau karya legendaris dari tulisan asli Cangjie.
Mengikuti Cangjie Shu, para sarjana telah mengklasifikasikan perkembangan bahasa Tiongkok tertulis menjadi lima fase: aksara Dinasti Shang, aksara tulang oracle, aksara perunggu, aksara segel kecil di masa dinasti Qin, dan akhirnya ke aksara Tiongkok tradisional — yang masih digunakan di Taiwan dan Hongkong hingga saat ini.
Sepanjang evolusi ini, karakter berubah dari bulat dan memanjang menjadi persegi dan bersudut. Karakter yang kita lihat hari ini, yang berbentuk kotak sempurna, umumnya dianggap telah mengkristal di masa Dinasti Han.
Ada sekitar 5.000 karakter Tiongkok yang umum digunakan dalam kosakata hari ini. Kamus Kangxi, yang secara luas dianggap sebagai kamus bahasa Tiongkok paling otoritatif saat ini, berisi lebih dari 47.000 karakter. Diterbitkan pada tahun 1716 di bawah Kaisar Kangxi dari dinasti Qing, ini adalah bukti dinamisme dan umur panjang bahasa Tiongkok. Dalam tiga abad sejak publikasi kamus, bahasa tersebut telah berkembang secara signifikan hingga mencakup serangkaian teknologi dan ideologi baru. Namun, karakter dan makna yang sama yang digunakan oleh sinofon modern masih dapat ditemukan di Kamus Kangxi. Meski telah berkembang untuk mengakomodir konsep-konsep baru tersebut, ukuran bahasa Tiongkok justru menyusut dari segi jumlah aksara yang digunakan.
Fenomena aneh ini disebabkan oleh bagaimana karakter Tiongkok membentuk kombinasi. Setiap karakter Tiongkok mewakili satu konsep atau objek, tetapi dua karakter atau lebih dapat digabungkan untuk membentuk kata yang mewakili konsep atau objek lain. Misalnya, karakter dian (電), yang berarti "listrik," dan karakter hua (話), yang berarti "ucapan," dapat digabungkan menjadi kata dianhua (電話), yang berarti "telepon."
Artinya, bahkan dengan hanya 5.000 karakter, kita dapat mendefinisikan 5.000 hal. Dan 5.000 karakter tersebut dapat menghasilkan lebih dari 24 juta permutasi dua karakter. Meskipun tidak setiap permutasi adalah kata Tiongkok yang valid, perhitungan tersebut memberikan gambaran tentang kapasitas penyimpanan makna bahasa Tiongkok yang hampir tak terbatas, terutama ketika kata tiga karakter, kata empat karakter, dan seterusnya diperhitungkan. Karena kemampuan menyimpan makna yang luar biasa ini, banyak ahli bahasa menganggap bahasa Tiongkok sebagai salah satu bahasa yang paling tepat dalam kata—jika bukan yang paling presisi.
Meskipun bahasa Tiongkok lisan selalu memiliki variasi dialek, bahasa Tiongkok tertulis terbagi dalam dua kategori besar: bahasa Tiongkok vernakular tertulis dan bahasa Tiongkok Klasik. Saat ini, orang terutama menggunakan format vernakular tertulis baik dalam pengaturan formal maupun informal, dengan Bahasa Tiongkok Klasik diperlakukan lebih sebagai bentuk seni.
Namun, di Tiongkok kekaisaran, bahasa Tiongkok Klasik adalah standar untuk teks resmi. Ini lebih ringkas daripada bahasa Tiongkok vernakular tertulis, dan memungkinkan susunan permainan kata dan perangkat retoris yang lebih luas. Karena penghematannya dalam penggunaan aksara, sajak, antitesis, analogi, dan simbolisme dapat dengan mudah masuk ke dalam bahasa, yang menambah lapisan konotasi yang memberikan kualitas ekspresif dan mendalam yang luar biasa pada bahasa Tiongkok Klasik.
Pemadatan makna ini dicapai dengan sifat logografis bahasa Tiongkok, di mana selain cara pengucapan setiap kata-kata tersebut, setiap karakter juga mewakili ide, objek, atau situasi dalam dirinya sendiri. Melalui kemampuan bahasa untuk membentuk pemikiran, kebiasaan berbicara dengan menggunakan sedikit kata ini telah menanamkan dalam kepribadian orang-orang Tiongkok kecenderungan untuk berkomunikasi melalui subteks dan kepekaan terhadap makna yang tidak terucapkan.
Dengan gambar untuk mengingat setiap karakter, banyak orang mungkin berpikir bahwa bahasa Tiongkok adalah bahasa yang sulit untuk dibaca dan ditulis. Meskipun menghafal karakter mungkin sulit bagi orang-orang yang berasal dari bahasa yang menggunakan alfabet, jumlah karakter yang sebenarnya dibutuhkan untuk komunikasi sehari-hari hanya sekitar 3.000 hingga 4.000. Selama orang dapat mengatasi tantangan awal ini, sisanya dapat diperoleh secara bertahap seiring pelajar semakin banyak berinteraksi dengan bahasa Tiongkok dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat bergambar aksara Tiongkok juga memunculkan seni kaligrafi dan tipografi Tiongkok. Nyatanya, banyak orang Tiongkok percaya bahwa tulisan tangan seseorang dalam bahasa Tiongkok menunjukkan batin seseorang—pepatah Tiongkok kuno bahkan berpendapat bahwa "tulisan selalu mencerminkan penulisnya." Memberi seseorang pujian tentang tulisan tangan Tiongkok mereka dengan demikian merupakan pujian tidak langsung atas karakter mereka, begitu banyak orang Tionghoa yang memiliki kebiasaan menilai kaligrafi atau tulisan tangan untuk menilai penampilan batinnya.
Sebaliknya, orang Tionghoa juga percaya bahwa berlatih kaligrafi juga dapat membantu memperbaiki karakter seseorang. Keyakinan ini memunculkan gaya kaligrafi yang berbeda, masing-masing dengan standar estetika sendiri, untuk membantu orang menyempurnakan tulisan tangan mereka.
Misalnya, aksara klerikal, atau lishu, sangat khusus tentang teknik "kepala ulat sutera dan ekor burung layang-layang"—artinya goresan harus dimulai dengan tekanan berat dan diakhiri dengan tekanan ringan. Teknik ini memanfaatkan sepenuhnya fleksibilitas kuas kaligrafi Tiongkok untuk memodulasi ketipisan dan ketebalan sapuan. Karakter yang ditulis dengan gaya ini cenderung lebih lebar daripada tingginya, dengan guratan horizontal yang lebih tebal dan guratan vertikal yang lebih tipis.
Aksara reguler, atau kaishu, adalah jenis aksara kaligrafi lainnya. Sementara aksara klerikal adalah yang paling populer di masa Dinasti Han (202 SM–220 M), aksara reguler menjadi populer setelah pembubaran Han dan sejak itu menjadi standar. Ini adalah gaya tipografi Tiongkok paling populer ketiga saat ini setelah gaya Ming dan gotik, yang secara eksklusif digunakan untuk teks yang dihasilkan komputer.
Dibandingkan dengan aksara klerikal, karakter aksara reguler lebih berbentuk persegi, dan memiliki variasi ketebalan goresan yang lebih sedikit. Alih-alih simetris sepanjang sumbu vertikal seperti karakter klerikal, karakter reguler menekankan proporsi relatif dari setiap goresan dalam hubungannya dengan goresan lainnya untuk mencapai keseimbangan.
Contoh aksara reguler
Bagian VIII: Bagaimana Penyederhanaan Merampok Jiwa Bahasa Tiongkok
Sejak Partai Komunis Tiongkok (PKT) naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1949, ia telah berusaha memusnahkan segala aspek masyarakat Tiongkok yang dapat menjadi penghalang ideologi Marxisnya. Ini, tentu saja, termasuk adat istiadat tradisional orang Tiongkok, bersama dengan spiritualitas yang merasuki hampir semua aspek masyarakat Tiongkok.
Dan bahasa Tiongkok, seperti yang ada pada tahun 1949, mengandung terlalu banyak nilai-nilai budaya tradisional ini. Secara alami, itu menjadi salah satu target pertama PKT.
Mengikuti contoh Josef Stalin di Uni Soviet, Mao Zedong membentuk “Komite Riset Reformasi Bahasa Tiongkok” pada tahun 1952. Pada bulan Desember 1954, komite tersebut tidak lagi sekadar “meneliti” reformasi bahasa; komite itu disebut "Komite Reformasi Bahasa Tiongkok" pada waktu persiapan untuk melaksanakan tugasnya. Sebulan kemudian, pada Januari 1955, komite itu mengeluarkan draf “Skema Penyederhanaan Karakter Tiongkok.” Pada bulan Februari di tahun yang sama, Dewan Negara membentuk "Komite Penerapan Skema Penyederhanaan Aksara Tiongkok" dan mulai mempopulerkan versi bahasa Tiongkok "yang disederhanakan" yang baru dibentuk ke seluruh daratan Tiongkok.
Aksara Tiongkok yang disederhanakan ini kehilangan konotasi aslinya—dan masih dikritik hingga hari ini oleh banyak orang Tionghoa di seluruh dunia. Beberapa bahkan membuat pembelit lidah dan sajak di media sosial untuk menggambarkan masalah dengan karakter yang disederhanakan ini, seperti di bawah ini:
“Produksi tanpa kelahiran: anda tidak akan melihat apa pun dibuat!
Cinta tanpa hati tidak ada bedanya dengan benci.
Bagaimana seseorang menghargai seseorang yang tidak dilihatnya?
Menyelamlah ke dalam sumur dan anda akan menemukan bahwa kita telah tersesat.”
Baris pertama mengacu pada karakter chan (產), yang berarti "menghasilkan/memproduksi," yang aslinya mengandung karakter sheng (生), yang berarti "kelahiran," di bawah komponen yang menunjukkan seseorang, membangkitkan citra seseorang yang menghasilkan. Versi sederhana dari chan (产) menghilangkan karakter sheng, yang membuat citra seseorang tidak menghasilkan apa-apa.
Baris kedua adalah tentang karakter ai (愛), yang berarti “cinta.” Di tengah karakter adalah karakter xin (心), yang berarti “hati.” Karakter yang disederhanakan ai (爱) menghilangkan karakter xin, menyiratkan hubungan kosong tanpa substansi — karena bagaimana orang bisa mencintai tanpa hati?
Baris ketiga berbicara tentang karakter qin (親), yang berarti “orang yang dicintai.” Sisi kanan karakter ini berisi karakter jian (見), yang artinya “melihat/bertemu,” menandakan bahwa orang yang anda cintai adalah orang yang sering anda lihat/temui. Saat karakter ini qin disederhanakan (亲), seluruh sisi kanan karakter aslinya dihilangkan, mengarah ke proposisi menarik bahwa anda tidak boleh melihat orang yang anda cintai sama sekali.
Baris terakhir menyinggung salah satu contoh yang lebih mengerikan tentang bagaimana penyederhanaan karakter mendistorsi makna bahasa Tiongkok. Karakter jin (進) berarti "memasuki" atau "maju," dan awalnya memiliki radikal untuk transportasi di sebelah komponen berdasarkan karakter jia (佳), yang berarti "baik." Ini menandakan bahwa saat kita bergerak maju, kita maju menuju keadaan yang lebih baik.
Namun, versi jin (进) yang disederhanakan menggantikan karakter jia dengan karakter jing (井), yang berarti “sumur.” Tak perlu dikatakan, citra gerakan maju sebagai perkembangan menuju jalan buntu yang diketahui tidak populer di kalangan banyak orang Tiongkok. Banyak orang lain menafsirkan karakter ini sebagai sedikit ironi: Dalam upaya untuk "memajukan" Tiongkok, PKT sebenarnya sedang menuju kehancurannya sendiri dengan menjauhkan diri dari tradisi dan budaya yang menjaga Tiongkok tetap utuh.
Memang, ketika kita melihat kembali seluruh proses rancangan bahasa Tiongkok, kita dapat melihat bahwa itu terjalin erat dengan mitos di balik konsep komunikasi orang-orang Tionghoa—sedemikian rupa sehingga di bagian-bagian tertentu, garis antara sejarah dan legenda hampir tidak ada. Dan di hampir semua aspek bahasa dan komunikasi orang-orang Tionghoa adalah arus budaya spiritual Tiongkok yang halus, namun kuat, didasarkan pada keyakinan bahwa menyelaraskan karakter seseorang dengan hukum alam semesta adalah jalan menuju yang ilahi. Budaya ini telah membantu orang Tionghoa mempertahankan hubungan yang harmonis satu sama lain dan mengatasi konflik sosial selama ribuan tahun.
Namun PKT, dengan ateisme yang dipaksakan oleh negara, dengan tegas menyangkal keberadaan yang ilahi—apalagi hukum alam semesta apa pun. Keyakinannya pada darwinisme sosial telah menyebabkannya menggiring rakyat Tiongkok dalam perlombaan penurunan moralitas. PKT berusaha untuk membuat lingkungan alam tunduk pada kehendaknya, dengan kejam mengorbankan hutan dan perairan Tiongkok di altar pembangunan ekonomi. PKT menyerang dan membunuh setiap individu yang tidak disukainya, bahkan di antara jajarannya sendiri, memerintah negara lebih seperti mafia daripada partai politik.
Ketika latihan spiritual Falun Gong muncul di Tiongkok dan menghubungkan kembali orang-orang Tiongkok dengan akar ketuhanan mereka, PKT melihatnya sebagai ancaman untuk dihancurkan. Dengan melakukan itu, ia menodai nilai-nilai Sejati, Baik, dan Sabar yang dianut oleh latihan tersebut—nilai-nilai yang sejalan dengan hukum alam semesta—dan mendorong orang Tiongkok untuk menentang nilai-nilai ini dalam menganiaya praktisi Falun Gong.
Tidak hanya para praktisi ini dihina dan diasingkan, mereka ditangkap dan disiksa dengan semena-mena, bahkan banyak yang menjadi korban pengambilan organ secara paksa. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang direstui negara ini telah membuka jalan bagi ketidakjujuran, kebencian, dan permusuhan menjadi semakin meluas di masyarakat Tiongkok, mendorong orang Tiongkok ke dalam jurang penurunan moral.
Sama seperti bagaimana penghancuran jin Tiongkok tradisional mengubah masa depan yang cerah menjadi malapetaka yang tak terelakkan, penghancuran nilai-nilai tradisional Tiongkok oleh PKT telah mengubah negara yang dulunya megah menjadi kubangan kejahatan dan kesengsaraan. Rakyat dan elit sama-sama menderita di bawah pengaruh amoralitas ini: rakyat dari kebijakan rezim yang tidak berperasaan, dan elit dari perebutan kekuasaan dan pengkhianatan yang terus-menerus di dalam organisasi PKT.
Di Tiongkok saat ini, legenda Tiongkok tentang penciptaan hanya dianggap sebuah dongeng belaka. Tapi mungkin justru pada saat seperti inilah orang Tiongkok dapat mengambil manfaat dari kearifan leluhur—dari hal-hal terbaik yang berusaha diwariskan oleh para leluhur ini, dari pengetahuan yang mereka harap akan menjaga keturunan mereka tetap aman.
Dan bagi kita semua, mungkin kisah Tiongkok juga merupakan petunjuk untuk melihat kembali bahasa, tradisi, dan nilai-nilai yang ditinggalkan nenek moyang kita. Mungkin alam semesta selalu berusaha untuk berbicara kepada kita, seperti yang diyakini orang Tiongkok kuno, dan ini hanyalah masalah apakah kita memilih untuk mendengarkan atau tidak.