Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Pemahaman Saya tentang “Percaya kepada Guru Bukan Hanya Sekadar di Mulut Saja”

4 Okt. 2024 |   Oleh praktisi Falun Dafa di Tiongkok

(Minghui.org) Saat saya membaca artikel “Percaya kepada Guru dan Fa Bukan Hanya Sekadar di Mulut Saja” yang ditulis oleh seorang praktisi di AS, saya merasakan hal yang sama.

Saya berusia 62 tahun dan telah berlatih Falun Dafa selama 27 tahun. Saya tinggal sendiri karena putra saya tinggal di luar kota. Saya ingin menceritakan pengalaman saya baru-baru ini saat mengatasi ujian karma penyakit.

Pada tanggal 10 Juni, benjolan sebesar kuning telur muncul dari leher saya di antara tulang selangka. Tidak terlalu sakit, tetapi saya merasa tidak nyaman saat bernapas dan makan. Saya mengabaikannya tetapi lebih sering memancarkan pikiran lurus untuk menghilangkan gangguan. Saya terus melakukan kegiatan seperti biasa.

Namun beberapa hari kemudian ketika saya tidur, benjolan itu terasa sangat sakit sehingga saya tidak bisa tidur. Saya juga kesulitan bernapas. Saya terus mencari ke dalam diri saya dan menemukan banyak keterikatan yang masih saya miliki, seperti mentalitas pamer, sifat iri hati, tidak suka dikritik, keinginan untuk makan enak, dan nafsu berahi.

Saya duduk dan memancarkan pikiran lurus selama setengah jam, lalu melafalkan “Falun Dafa baik, Sejati-Baik-Sabar baik,” seratus kali. Saya berpikir, “Jika Guru mengatur ujian ini, saya sangat berterima kasih. Jika kekuatan lama mencoba mengganggu dan menganiaya saya, saya akan melenyapkannya.” Saya terus memancarkan pikiran lurus, merasa sedikit lebih baik, dan tertidur. Namun, rasa sakit itu kembali, dan kali ini begitu parah sehingga saya memegang bantal erat-erat untuk mencoba meredakannya.

Saya tahu bahwa Guru sedang mengawasi saya, jadi saya tidak takut. Namun saya berpikir, “Saya tidak boleh meminta bantuan Guru karena Guru sudah menanggung beban yang terlalu berat bagi kita, dan saya tidak boleh membuat Guru semakin tertimpa masalah.” (Sebenarnya, pikiran itu juga merupakan keterikatan manusia). Saya menyadari bahwa saya sedang menjalani ujian, bahwa itu adalah hal yang baik, dan bahwa saya harus menangani situasi tersebut dengan baik.

Kita Perlu Memperhatikan Pikiran Kita

Saya berkata kepada Guru dalam hati, “Guru, saya bisa mengatasinya, dan saya akan lulus ujian dengan baik.” Saat itu, saya memiliki pikiran negatif: “Anda menderita kanker esofagus dan anda akan meninggal. Beri tahu anak anda untuk segera pulang. Beri tahu dia di mana uang anda, dan berikan materi klarifikasi fakta kepada rekan-rekan praktisi anda. Atau berikan mereka kunci rumah jika anda tidak dapat membuka pintu.”

Saya menjadi waspada dan berpikiran jernih dan menyadari, “Tidak, ini bukan pikiran saya. Ada makhluk jahat yang mencoba mengganggu saya.” Saya berkata, “Berhentilah bermain trik. Anda adalah iblis, saya adalah pengikut Dafa dengan misi suci. Jangan berani-berani mengganggu saya! Anda bukan apa-apa dan harus disingkirkan!”

Saya terus memancarkan pikiran lurus yang kuat untuk menghilangkan gangguan ini. Saya tertidur sekitar pukul 2:30 pagi.

Alarm berbunyi pada pukul 3:10 untuk latihan pagi. Saya bangun, masih mengerang kesakitan. Kemudian saya berpikir, “Saya tidak sakit. Ini hanya penampilan palsu. Saya tidak boleh mengeluh. Saya harus memperbaiki diri sekarang juga.”

Akan tetapi, saya masih merasa sangat mengantuk dan berpikir untuk melewatkan latihan sekali saja. Saat itu, saya teringat puisi Guru:

“Takdir pertemuan sejak lampau beribu kehidupan
Dafa menggandengnya dengan seutas benang
Dalam penderitaan menempa tubuh menjadi seperti emas
Mengapa masih melangkah perlahan dan santai”
(Jalan Ketuhanan Pahit Getir, Hong Yin II)

Saya tahu bahwa pengikut Dafa tidak dibatasi oleh Triloka, jadi kita tidak tunduk pada siklus manusia berupa lahir, tua, sakit, dan mati. Ketika saya mengingat hal ini, saya menjadi lebih jernih: Apa yang terjadi pada saya adalah hal yang baik, dan itu membantu saya berhasil dalam kultivasi.

Keesokan harinya, seorang rekan praktisi datang untuk belajar Fa bersama saya, dan saya menceritakan kepadanya tentang ujian yang sedang saya jalani. Ia berkata, “Saya tidak akan menyadari ada yang berbeda pada diri anda jika anda tidak memberi tahu saya. Saya mengalami sembelit beberapa hari terakhir ini, dan saya benar-benar menderita.”

“Saya tidak punya masalah itu,” kata saya santai, jadi selama tiga hari berikutnya saya kesulitan buang air besar. Saya menyadari bahwa ada mentalitas pamer dalam apa yang saya katakan kepadanya. Sungguh pikiran yang tidak pantas! Saya langsung menyingkirkannya!

Pada hari keempat, saya merasa ingin buang air besar, tetapi tidak terjadi apa-apa bahkan setelah saya duduk di toilet selama setengah jam. Saya bangun dan melihat ada darah di toilet. Itu mengejutkan dan saya berpikir: “Saya menderita kanker anus.”

Saya tahu kejahatan itu mengganggu saya lagi, jadi saya berkata: “Andalah yang menderita kanker anus. Anda mempermainkan saya lagi dan lagi, tetapi percayalah, tidak satu pun tipu daya anda yang akan berhasil. Saya akan menyingkirkan anda!”

Ketika saya merenung ke dalam diri, saya menyadari pentingnya bersikap benar dalam segala hal yang kita katakan dan lakukan. Kalau tidak, bahkan ucapan biasa seperti itu dapat menyebabkan situasi menjadi buruk. Saya merasa malu.

Kembali ke tenggorokan saya: Kulit di sekitarnya memerah, benjolannya membesar, dan bahkan bahu saya mulai terasa sakit. Saya masih memiliki beberapa pikiran negatif dari waktu ke waktu, tetapi begitu pikiran itu muncul, saya segera memusnahkannya dan melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Saya melakukan lima perangkat latihan setiap pagi, belajar Fa selama setengah hari, lalu keluar untuk mengklarifikasi fakta untuk menyelamatkan orang-orang selama sisa hari itu. Beberapa hari kemudian, benjolan itu hilang dan semuanya kembali normal!

Saya sangat berterima kasih kepada Guru. Saya bertekad untuk melakukan tiga hal dengan baik agar Guru merasa lebih bahagia dan tidak terlalu khawatir terhadap saya.