(Minghui.org) Saya adalah praktisi muda yang beruntung dilahirkan dalam keluarga praktisi Falun Dafa. Setelah menyaksikan keajaiban di antara praktisi lain, saya memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Guru Li (pencipta Dafa) dan Dafa. Saya dibimbing oleh orang tua untuk berlatih sejak kecil, sehingga mudah bagi saya untuk memperoleh Fa.
Namun, saya kurang antusias dan hanya menaruh perhatian pada kultivasi ketika orang tua membimbing saya melakukannya. Tanpa pengingat dan dorongan mereka, saya akan berperilaku seperti manusia biasa, menuruti kenyamanan dan tidak serius. Meskipun saya berperilaku baik selama sesi belajar Fa dan berbagi pengalaman, saya bertindak seperti manusia biasa ketika menghadapi situasi kehidupan nyata.
Kurangnya berkultivasi nyata dan mencari keluar dalam waktu yang berkepanjangan, itu memperburuk konflik antara saya dan ibu, bahkan sampai pada titik di mana saya memendam kebencian terhadapnya selama 20 tahun tanpa mengatasi masalah ini melalui kacamata seorang praktisi sejati.
Memelihara Kebencian
Saya sering membaca Zhuan Falun bersama orang tua saya. Mengetahui persyaratan Guru terhadap praktisi, saya mencoba menerapkan standar tinggi seorang praktisi kepada ibu saya. Misalnya, jika dia memarahi, memukul, atau membentak saya, saya akan berpikir: Mengapa ibu tidak memenuhi standar seorang praktisi? Ibu bahkan akan melakukan kekerasan fisik dan mencaci maki.
Ketika ibu bertengkar dengan ayah atau nenek saya, saya berpikir: Bukankah seorang praktisi harus bersabar, mengapa ibu kurang sopan santun? Ibu bahkan lebih buruk dari manusia biasa! Karena keterbatasan keuangan keluarga, ibu saya sering memukuli atau membentak saya sebelum membayar uang sekolah. Sehingga membuat saya takut dengan suara keras. Setiap kali mendengar suara, saya gemetar dan berpikir: Bahkan ibu pada umumnya tahu bagaimana cara menyayangi anak-anaknya, mengapa ibu saya seperti ini? Mencari keluar dalam waktu lama dan memendam kebencian memperburuk konflik di antara kami.
Selama kuliah, saya kurang pengawasan dari ibu dan tidak belajar Fa maupun melakukan latihan; Saya menjadi terjerat dalam masyarakat manusia biasa. Keterikatan pada mentalitas bersaing, iri hati, kebencian, dan keinginan untuk berkelahi semakin kuat. Saya lebih sering berdebat dengan ibu, dan sering meneleponnya untuk melampiaskan amarah saya, mengeluh tentang banyaknya kesalahan yang ibu lakukan pada saya. Karena saya tidak tahan dengan ledakan amarahnya yang tiba-tiba, saya sering mempunyai beberapa pemikiran buruk, seperti: hanya jika sesuatu yang buruk terjadi barulah karakter ibu saya berubah, dan ibu akan mencari ke dalam.
Terbangun dengan Sadar
Meninggalnya ayah menyadarkan saya dan ibu dari keadaaan manusia biasa: rasanya seperti dipukul dengan palu. Dukanya luar biasa, dan ibu saya sudah lama terjebak dalam sentimentalitas terhadap ayah. Banyak praktisi datang membantu kami, dan saya kembali ke kelompok belajar Fa. Dengan bantuan mereka, saya benar-benar memulai jalur kultivasi. Rintangan pertama yang saya hadapi adalah bagaimana melepaskan rasa benci terhadap ibu saya.
Melalui belajar Fa terus-menerus, saya menemukan akar kebencian saya. Saat belajar Zhuan Falun dengan praktisi lain, saya membaca paragraph ini:
“Di dalam Xiulian, pada saat secara konkret menghadapi konflik, saat orang lain memperlakukan anda dengan tidak baik, mungkin ada dua macam situasi yang terjadi: yang satu adalah dalam kehidupan anda sebelumnya mungkin pernah berbuat tidak baik pada orang lain, kini hati anda merasa tidak adil: “Mengapa saya diperlakukan seperti ini?” Lalu mengapa pada kehidupan sebelumnya anda memperlakukan orang lain seperti itu? Anda berdalih bahwa anda tidak tahu menahu dengan waktu dahulu, kehidupan sekarang tidak ada sangkut paut dengan kehidupan yang lampau, namun itu tidak dapat dibenarkan.” (Ceramah 4, Zhuan Falun)
Kebencian terhadap ibu terutama berasal dari keterikatan saya pada sentimentalitas. Saya takut ibu mengkhawatirkan saya, jadi saya mengundurkan diri dari pekerjaan yang saya sukai. Dia kemudian menyalahkan saya karena tidak kompeten. Hati saya merasa sedih, mengira ibulah yang memaksa saya untuk mengundurkan diri, namun akhirnya saya dimarahi. Keluhan ini, dan juga rasa tidak ingin dikritik, muncul dalam diri saya.
Saya ingat sikap kepedulian ibu-ibu lain terhadap anak-anaknya ketika masih kecil, yang membuat saya semakin merasa sedih dan kesal. Terlalu khawatir terhadap sikap dan tindakan ibu itu sendiri merupakan keterikatan pada sentimentalitas. Karena ibu adalah praktisi, saya berharap lebih darinya. Namun, ibu berperilaku lebih buruk di depan saya dibandingkan ibu-ibu lainnya. Namun saya juga menganggap remeh kebaikannya, dan jika saya tidak memahaminya maupun tidak puas, saya akan memendam kebencian.
Ketika saya mengeluh kepada seorang anggota keluarga praktisi tentang ibu saya, dia berkata: “Mengapa kamu harus menceritakan semuanya? Kamu dapat membuat keputusan sendiri.” Saya menyadari bahwa masih memiliki ketergantungan yang besar pada ibu. Walaupun sepertinya saya telah tumbuh menjadi dewasa, jauh di lubuk hati, saya masih seorang anak kecil yang bergantung pada bimbingan orang tua. Saya hanya akan melakukan sesuatu ketika mereka meminta saya dan, tanpa pengingat mereka, saya jarang pergi ke kelompok belajar Fa atau melakukan latihan. Saya menganggap remeh hal ini, berpikir bahwa dalam keluarga seorang praktisi, orang tua harus lebih rajin dalam memimpin praktisi muda. Jadi ada masalah dalam upaya saya untuk belajar dari praktisi lain, tetapi tidak dari Fa. Setiap kali kelakuan ibu saya bermasalah, tanpa sadar saya bertanya: Mengapa ibu saya seperti ini? Apakah semua praktisi Dafa seperti ini? Apakah Dafa benar-benar baik?
Saya menganggapnya sebagai seorang praktisi tetapi gagal menyadari bahwa ibu juga sedang dalam proses berkultivasi, dan tindakannya tidak mewakili Dafa. Konflik-konflik ini sebenarnya mengingatkan saya akan ketergantungan saya yang berlebihan pada orang lain. Seorang praktisi sejati harus memiliki keyakinannya sendiri terhadap Dafa dan pikiran lurus di tengah lingkungan sosial biasa dan konflik keluarga.
Dengan belajar Fa terus menerus dan mencari ke dalam, saya secara bertahap belajar melihat diri sebagai seorang praktisi. Saya tidak lagi bertengkar dengan ibu dan sekarang dapat dengan tenang menerimanya ketika ibu sesekali memukul saya. Saya bisa berempati padanya dan menghargai upayanya. Lambat laun, saya berhenti mengeluh tentang ketidaksabaran dan keluhannya terhadap saya, karena saya bisa berbelas kasih atas kesulitan yang ibu hadapi.
Saya terus menghilangkan rasa malas dan lebih sering melakukan pekerjaan rumah tangga. Ketika sikap saya berubah, begitu pula sikap ibu saya. Ibu tidak lagi mudah marah, dan amarahnya telah membaik. Kami sekarang dapat berdiskusi dengan tenang dan, setiap kali saya menemui kesulitas dalam kultivasi, ibu akan menawarkan bimbingan dari sudut pandang Fa, bukannya menceramahi saya dengan nasehat duniawi.
Belakangan saya kembali membenci ibu, menyalahkan ibu karena terlalu memikirkan urusan duniawi. Kekuatan lama menyusupi kesenjangan kami, dan ibu ditahan di kantor polisi selama dua hari. Selama waktu itu, saya menangis dan menyesal karena saya tidak benar-benar meghargai lingkungan kultivasi yang saya miliki sebelumnya. Dengan hanya kami berdua yang tersisa di keluarga, bukannya saling menyemangati peningkatan kultivasi satu sama lain, saya tetap terjebak dalam kebencian dan tidak bisa melepaskan keterikatan saya.
Dengan bantuan praktisi lain dan belajar Fa terus-menerus, saya menemukan bahwa alasan utama penganiayaan kami adalah karena kebencian yang belum terselesaikan. Saya memohon kepada Guru untuk membantu saya menyelamatkan ibu, dan saya berjanji untuk memanfaatkan waktu untuk mengultivasi dan melenyapkan kebencian saya. Pada hari ketiga, berkat belas kasih Guru, ibu berhasil meninggalkan kantor polisi dengan pikiran lurus. Beberapa keajaiban terjadi selama proses tersebut, membuat petugas di kantor polisi kagum pada keajaiban Dafa.
Menyingkirkan Berbagai Lapisan Kebencian
Setiap lapisan bidang dimensional saya dipenuhi dengan kebencian, yang membuat saya terus menerus menghadapi kesengsaraan. Dalam upaya melepaskan mentalitas berkelahi ini, saya mengubah sikap saya terhadap anggota keluarga. Namun saya tidak benar-benar melepaskan kebencian. Dalam setiap konflik, kritikan ibu seringkali membuat kemarahan saya meledak. Ibu akan menyalahkan saya atas provokasi yang disengaja maupun penarikan dana dari rekening bank saya, yang juga memicu kemarahan saya. Ketika terus belajar Fa dan memperkuat pikiran lurus, saya menemukan bahwa setiap kali saya marah, itu terkait dengan keterikatan antara benar dan salah. Saya bertanya pada diri sendiri: Mengapa saya harus menanggung akibatnya ketika orang lain jelas-jelas bersalah? Mengapa saya harus dimarahi padahal orang lain jelas-jelas salah? Keterikatan saya pada benar dan salah serta penolakan untuk memaafkan ketika saya benar membuat saya terjebak dalam kebencian.
Namun apa yang harus dicapai oleh seorang praktisi adalah mencari ke dalam tanpa syarat, terutama pada saat-saat kritis. Setiap konflik mungkin tidak terlalu mempengaruhi saya, namun perkataan ibu langsung bisa membuat saya marah. Ibu juga menatap saya dengan galak ketika membicarakan saya dengan praktisi lain.
Sikap manusia biasa tidak dapat lagi menggerakkan hati saya. Membiarkan orang-orang yang paling berarti bagi saya dan yang pendapatnya saya hargai untuk membantu saya menyingkirkan kebencian dapat memberikan kesempatan terbaik untuk kemajuan saya. Semuanya ada untuk membantu saya meningkat dalam kultivasi, namun saya sering mendapati diri tidak mampu melepaskan diri dari peran bertindak seperti manusia biasa.
Saya malu untuk mengakui, meskipun telah berkultivasi selama lebih dari 20 tahun, baru tiga tahun terakhir ini saya mulai sungguh-sungguh berkultivasi. Sekarang saya mempunyai pemahaman dan perasaan baru tentang kultivasi, dan keyakinan saya menjadi lebih kuat.
Di atas adalah beberapa refleksi dan pengalaman dalam kultivasi saya. Mohon koreksi saya jika ada yang tidak sesuai dengan Fa.