(Minghui.org) Menjelang akhir bulan Mei 2022, suatu pagi ibu keluar dari kamarnya sambil mengeluh, “Perut ibu sakit, perut ibu sakit.” Saya pikir itu hal sepele, karena ibu saya selalu dalam kondisi sehat. Ibu sudah menjadi praktisi selama lebih dari 20 tahun dan tidak pernah mengalami ujian penyakit parah atau gejala tidak normal. Dengan suaranya yang lantang dan rona merah di wajahnya, ibu selalu tampak penuh stamina.
Namun kali ini, kesehatan ibu saya tiba-tiba mulai merosot. Dalam waktu dua bulan, perutnya membuncit, sekujur tubuhnya sakit, sering demam, dan lemah.
Celah dalam Kultivasi Menyebabkan Ujian Penyakit
Ibu saya sudah dibebaskan dari penjara (ibu dipenjarakan karena keyakinannya terhadap Falun Dafa) dan kembali ke rumah empat tahun lalu. Saya dan ibu melakukan latihan setiap pagi. Namun, semenjak dua tahun lalu, ibu tertidur setiap kali melakukan latihan meditasi. Ibu akan marah setiap kali saya memembangunkannya, membuatnya terus terjaga sepanjang latihan dan bahkan menuduh saya telah memfitnahnya. Hal yang sama, saat melakukan gerakan latihan kedua memeluk roda, saya melihatnya membungkuk hampir 90 derajat beberapa kali.
Sejak dibebaskan dari penjara, ibu tidak bisa menyilangkan kaki dalam posisi sila ganda. Kakinya akan tergelincir ke bawah saat dibawa ke atas. Akhirnya, ibu mengikat kakinya dengan sabuk dan membiarkannya seperti itu.
Ibu saya yang selalu tertidur saat latihan selalu menjadi poin perdebatan kami. Sementara saya bisa melihatnya dengan jelas, ibu saya justru tidak percaya dirinya telah tertidur. Dia sangat yakin saya tidak melihat dengan benar atau dengan sengaja mencari kesalahannya. Masalah ini menjadi semakin sering dan itu memenuhi pikiran saya setiap pagi, “Haruskah saya terus menunjukkan hal ini pada ibu?”
Untuk membuktikan argumen, saya merekam ibu menggunakan ponsel saat dia bermeditasi dan menunjukkannya pada ibu. Ibu hampir tidak memercayai matanya. Ibu meminta maaf pada saya dan menyuarakan tekadnya untuk tetap terjaga selama melakukan latihan. Namun dua hari kemudian, ibu saya tertidur lagi. Kali ini, meski pengingat saya ditanggapi dengan sikap bermusuh yang sedikit, ibu tidak senang dengan saya. Masalahnya masih belum terselesaikan, dan telapak tangan ibu saya mulai turun saat memancarkan pikiran lurus. Ini berlanjut hingga ibu mengalami gejala karma penyakit.
Menyingkirkan Keterikatan Saya Sembari Membantu Ibu
Apa yang diperlukan oleh praktisi yang menderita karma penyakit? Apa yang seharusnya dilakukan oleh rekan praktisi untuk membantu mereka yang terjebak dalam karma penyakit? Solusinya sederhana: Praktisi harus belajar Fa, melakukan latihan, dan memancarkan pikiran lurus dalam waktu yang lebih lama dan lebih sering. Ini adalah pengetahuan umum di antara praktisi, bahkan di antara mereka yang terjebak dalam karma penyakit. Karma penyakit apapun bisa diatasi bila standar ini terpenuhi.
Namun praktisi di tengah ujian ini, khususnya mereka yang menderita gejala parah, kesulitan mencapainya sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari praktisi lain untuk mengatasi ujian ini. Melalui proses ini, mereka yang membantu juga akan melepaskan konsep manusia dan keterikatan mereka.
1. Jangan Mengkritik maupun Membenci Orang Lain
Karena tingkat kultivasinya buruk, saya sangat yakin karma penyakit ibu diakibatkan oleh dirinya sendiri. Diperparah oleh umpatan saya karena dituduh berbohong oleh ibu, saya mulai mengkritiknya. Menghadapi tuduhan agresif saya, ibu saya yang sakit parah tidak punya kekuatan untuk melawan saya. Terkadang ibu akan memohon, “Berhenti mengkritik ibu. Ibu sudah merasa cukup sakit!”
Saat itulah saya baru menyadari sikap saya bukanlah sikap seorang praktisi. Saya terus menyalahkan ibu dan membenarkan tindakan saya sebagai membantunya. Sebaliknya, tindakan saya berada di pihak kejahatan. Kritik saya sama dengan menumpuk sampah kepada ibu saya, menyeretnya ke bawah dan membuatnya mustahil melewati ujian ini. Saya tidak mempertimbangkan situasinya, dan hanya ingin membuktikan betapa bijaknya saya menemukan masalahnya dan memprediksi ujian besar yang akan menghampirinya. Saya juga mencurahkan ketidakpuasan saya akan situasi ini, menyalahkannya karena kegagalannya membuatnya berada di kondisi saat ini. Kata-kata saya sama sekali tidak baik.
Melalui belajar Fa, saya menemukan bahwa kritikan cepat saya berasal dari dendam pribadi dan merupakan manifestasi keegoisan saya. Saya mendekati dan memeriksa masalah dari sudut pandang saya dan bahkan memandang orang atau ide yang berlawanan dengan keinginan saya sebagai kekuatan agresif yang harus dihancurkan. Saran saya yang seharusnya baik adalah palsu, dan saya tidak berniat untuk membantu. Sebaliknya, kata-kata dan tindakan saya didominasi oleh kebencian dan saya meluapkannya secara irasional.
Saat saya mengendalikan rasa dendam dan berhenti menyalahkan ibu, saya mendapati diri berempati dengan rasa sakitnya dan bertanya-tanya apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya mengatasi ujian ini.
2. Jangan Paksa Siapa pun untuk Menerima Bimbingan Anda
Setelah saya berhenti menyalahkan ibu, keterikatan saya untuk memaksanya mengikuti saran saya muncul. Saya merasa punya tanggung jawab besar untuk meluruskan kondisinya yang lemah. Saya mulai memberitahunya secara detail cara untuk terbebas dari ujian ini, memberitahunya untuk melakukan ini atau itu, memerhatikan aspek ini, berhati-hati di aspek itu, dan seterusnya. Saya menyoroti pengalaman yang dibagikan oleh praktisi yang dekat dengan kami atau artikel berbagi pengalaman yang diterbitkan situs Minghui serta memberi ibu salinan dari pendekatan ini. Karena praktisi lain telah berhasil mengatasi ujian karma penyakit mereka, saya yakin ibu saya juga bisa melakukan hal yang sama dengan mengikuti contoh mereka.
Saat ibu saya tidak bisa menerima atau memahami sebuah konsep atau merasa itu tidak penting, saya menjadi tidak senang dan merasa ibu tidak menghargai upaya saya. Lalu, kekhawatiran bila ibu saya tidak bisa melewati ujian ini memenuhi pikiran saya.
Dalam masalah apapun, saya masih mempertimbangkan sesuatunya dari sudut pandang saya dan belum melepaskan pikiran egois saya. Saya seharusnya mempertimbangkan situasinya dari sudut pandang ibu atau bertanya bantuan apa yang dia butuhkan dari saya. Saya berhenti mengganggu secara aktif, berhenti memaksanya menerima cara berbeda untuk mengatasi ujiannya, serta berhenti memberinya saran yang tidak diminta. Ketenangan batin saya kembali pulih.
Dengan bantuan praktisi lain, kami memancarkan pikiran lurus untuk ibu saya selama tiga hari berturut-turut, tiga atau empat jam setiap hari. Kondisi ibu saya membaik dengan sangat cepat. Saat ibu saya berjalan keluar dari kamar mandi sambil tersenyum dan memberitahu saya dia merasa baikan, saya sadar sudah melepaskan konsep manusia saya dan memancarkan pikiran lurus untuknya bisa mencapai hasil yang jauh lebih besar dibandingkan ceramah saya tentang apa yang harus dilakukan.
Seiring saya berupaya berkomunikasi secara terbuka dengan ibu, saya menemukan keyakinannya yang tak tergoyahkan terhadap Guru dan Dafa. Saya tahu hanya Dafa yang bisa menyelamatkannya dan menginginkan dukungan dari rekan praktisi, berharap mereka bisa belajar Fa dan melakukan latihan bersamanya.
3. Menyingkirkan Kebiasaan Egois yang Saya Miliki
Melalui pengalaman ini, saya sadar telah tumbuh konsep prasangka terkait cara terbaik untuk berkultivasi. Sebelum ujian penyakit ibu, saya menghabiskan waktu melafalkan dan menyalin Fa, yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyerap ajaran. Ini membuat saya awalnya ragu untuk belajar Fa bersama ibu. Contoh lain terkait pemancaran pikiran lurus. Saya biasanya memancarkan pikiran lurus selama satu atau dua jam, karena saya merasa bahkan 15 menit tidak cukup untuk menenangkan pikiran saya. Agar mendapat hasil terbaik, saya memperpanjang lamanya waktu pemancaran pikiran lurus.
Saat ibu saya menderita karma penyakit, saya harus mengubah kebiasaan lama saya. Ibu lebih memilih belajar Fa dengan bersuara, menjadi lebih energik semakin lama dia membaca. Namun selama ujian penyakitnya, ibu hampir tidak bisa menyelesaikan satu halaman sendiri, entah tertidur di tengah jalan atau kelelahan karena membaca dengan keras. Untuk membantunya mengatasi ujian ini, saya akan melafalkan Fa bersamanya. Pada awalnya suara ibu saya lemah. Namun seiring kami melanjutkannya, suaranya menjadi semakin lantang dan tubuhnya menjadi semakin energik. Di penghujung belajar Fa, ibu melampaui saya.
Kami juga memancarkan pikiran lurus di waktu yang telah ditentukan dengan lama 15 menit. Saya harus menyesuaikan diri dan memperpendek waktu pemancaran pikiran lurus. Begitu saya melakukan posisi pemancaran pikiran lurus, saya harus menyingkirkan semua pikiran mengganggu dan dengan cepat memasuki kondisi optimal untuk berkonsentrasi.
Pada awalnya saya sangat enggan, terganggu karena harus mengubah pendekatan saya karena ibu. Namun, setelah melihat kondisinya membaik saya merasa itu semua sangat sepadan. Dalam lubuk hati, saya secara egois meyakini bahwa saya mengorbankan diri deminya dan ingin melihat upaya saya membuahkan hasil. Saat saya melihat telapak tangan ibu saya terkulai ketika memancarkan pikiran lurus, atau saat ibu tertidur ketika membaca Fa, saya menjadi kesal dan memarahinya.
Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan seseorang, dan saya merasa konflik di sepanjang prosesnya, takut kemampuan saya untuk meningkat dalam kultivasi menjadi dirugikan. Bila saya bisa mengubah fokus saya kepada ibu dan bukannya kepada diri sendiri, kegelisahan di hati saya akan berkurang, membuat saya lebih optimis. Sebaliknya, menempatkan diri saya terlebih dahulu justru menimbulkan ketakutan dan merugikan proses kultivasi saya. Tekanan tersebut akan mengganggu hati saya, dan saya merasa ingin menyerah.
Hanya dengan belajar dan mengikuti prinsip Fa, melepaskan konsep diri, dan memperluas kapasitas hati barulah pikiran egois bisa terhapus. Yang tersisa hanyalah keagungan De, tanpa pamrih. Setiap malam, setelah belajar Fa kami, saya mencuci piring di dapur dan memerhatikan ibu beristirahat sendiri di balkoni. Setiap kalinya, saya akan mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada Guru karena telah membantu ibu saya, sambil merefleksikan bagaimana melepaskan konsep manusia bisa membuat saya menghabiskan hari tenang lainnya bersama ibu.
4. Singkirkan Ketidaksabaran, Kultivasikan Kesabaran dan Belas Kasih
Saat memancarkan pikiran lurus, telapak tangan ibu saya sering terkulai saat mengantuk. Meski saya sering berupaya membangunkannya, ibu tidak bisa mempertahankan fokusnya selama lima detik. Hal yang sama terjadi saat latihan meditasi setiap pagi, saya akan mencoleknya agar bangun, namun ibu tertidur lagi beberapa waktu kemudian.
Selama itu, saya merasa sulit bertahan sabar dan terus mengingatkan ibu. Mengingatkan seseorang satu, dua, atau bahkan tiga hingga lima kali masih mudah. Namun selama berhari-hari, terus-menerus, itu menjadi beban. “Kapan ini akan berakhir? Kapan dia akan pulih?” Terlebih lagi, gangguan terputus-putus ini sangat memengaruhi peningkatan saya sendiri dalam memancarkan pikiran lurus dan melakukan latihan. Atas dasar memikirkan orang lain, ibu menyuruh saya berlatih sendiri dan mengabaikannya. Dia ingin mengatasi kondisi negatifnya sendiri. Namun setiap kali saya melihatnya tak sadarkan diri dan tertidur, hati saya tergerak.
Saya juga harus menekan kurangnya rasa percaya pada ibu. Saya yakin tertidur saat memancarkan pikiran lurus dan meditasi berarti upaya praktisi tidak memiliki arti apapun, tak peduli berapa banyak mereka melakukannya. Juga belajar Fa setiap hari berfungsi untuk memperkuat pikiran lurus dan mengingatkan saya untuk mengabaikan ilusi palsu dari penyakit. Namun saat dihadapkan pada manifestasi gejala penyakit ibu, saya mulai meragukan diri sendiri. Saya mendapati diri terus-menerus ditempa.
Gejala fisik ibu memaksa saya melepaskan prasangka, ketidaksabaran saya akan hasil instan, dan rasa pesimis. Saya belajar untuk tetap tenang dan tak tergerak setiap kali membangunkan ibu, meski saya baru melakukannya lima detik sebelumnya. Saya juga berupaya tidak mengeluh maupun kehilangan kesabaran.
Suatu malam saat duduk di kasur, saya mempertimbangkan bagaimana cara mengatasi rasa kantuk ibu saya dan juga memenuhi kriteria meditasi saya sendiri. Saat saya hendak menyerah dalam keputusasaan, sebuah pikiran terlintas: “Mengapa tidak berlatih sendiri setiap malam? Saya lalu bisa menghabiskan pagi duduk di samping ibu, mengawasinya dengan tenang saat ibu berlatih. Dengan pengingat terus-menerus, ibu mungkin bisa menyelesaikan meditasi duduk.” Dengan hal ini di benak saya, saya melakukan meditasi duduk malam itu. Keesokan paginya, saya duduk di samping ibu dan memberitahunya, “Saya melakukan latihan meditasi kemarin malam. Hari ini, saya berencana duduk di samping ibu dan membantu ibu berlatih.”
Yang luar biasanya, ibu saya tetap terjaga dengan sendirinya selama sesi meditasi itu. Sungguh tidak perlu bagi saya untuk membangunkannya. Ibu bahkan membuang sabuk yang biasa dia gunakan untuk mengikat kakinya dan duduk dalam posisi sila ganda selama lebih dari 40 menit. Setelah itu, ibu memberitahu saya bahwa dia bisa berpikiran jernih selama latihan dan tidak merasa mengantuk sama sekali. Duduk di samping ibu, saya mendapati diri larut dalam gelombang belas kasih dan bahagia yang tak terlukiskan, perasaan yang tidak pernah saya alami saat melakukan latihan sendiri. Saya sadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada betapa banyak perolehan maupun kehilangan seseorang. Namun hal itu diukur dari betapa banyak orang tersebut berkorban bagi orang lain.
5. Mengultivasi Diri dalam Proses Membantu Orang Lain
Saat ujian penyakit ibu, saya membaca sebuah artikel berbagi pengalaman Minghui yang sangat mencerahkan. Artikel tersebut menjabarkan bagaimana beberapa praktisi membantu seorang rekan praktisi yang menderita karma penyakit dalam mengatasi ujiannya. Karena praktisi tersebut tidak bisa mengangkat satu lengan untuk melakukan latihan kedua, praktisi lain bergiliran memegang lengannya ke atas agar dia bisa mempertahankan posisi memeluk roda. Seorang praktisi yang mata ketiganya terbuka mengamati pemandangan spektakuler di dimensi lain di mana kedua praktisi tersebut terbang ke atas. Pengalaman ini membuat saya meneteskan air mata. Sebaliknya, tindakan saya sangat jauh dari mereka. Satu-satunya upaya yang saya lakukan sejauh ini adalah mengingatkan ibu, namun saya konflik dalam membantunya.
Kemudian, saya juga mulai memegang lengan ibu saya ke atas agar bisa melakukan posisi memeluk roda di latihan kedua. Saya juga menopang ibu agar dia bisa melakukan latihan meditasi duduk dengan tegak. Saat kakinya turun, saya membantunya menaikkan kaki. Saat tangannya mulai terkulai ketika memancarkan pikiran lurus, saya akan membetulkan posisinya. Kenyataannya, campur tangan saya hampir tidak diperlukan. Namun, saat saya melakukannya, saya mendapati tingkat kultivasi ibu saya menunjukan perubahan yang luar biasa.
Membantu ibu tidak menghambat proses kultivasi saya sendiri. Sebaliknya, Gong saya meningkat dengan cepat, pikiran lurus saya menguat, dan ketenangan batin saya menguat. Hal terpenting yang harus saya capai dalam jalur kultivasi saya adalah melepaskan konsep diri sendiri dan membantu orang lain. Saya mendapati proses membantu orang lain adalah jalan untuk membantu diri saya sendiri.
6. Menghargai Setiap Kesempatan
Praktisi yang melalui ujian penyakit menghadapi banyak rintangan. Saat menderita sakit terus-menerus, spirit serta daya tahan mereka juga diuji. Mereka berjuang mempertahankan tingkat kultivasi yang lurus dan ibu saya juga begitu. Hanya Dafa yang bisa membersihkan sumber penyakit mereka dan mengubah hidup mereka ke arah lebih baik. Seiring kami melakukan belajar Fa secara intensif, kami mendapati pikiran dan tubuh kami menjadi semakin bersih.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyerahkan semuanya kepada Guru dan Dafa. Saya melepaskan keterikatan terhadap kondisi permukaan ibu saya, kekhawatiran apakah ibu berhasil melewati ujian atau tidak, obsesi saya mengingat saat mendapat pencerahan di momen tertentu. Setelah mendiskusikannya dengan ibu, kami sama-sama memutuskan untuk berhenti terobsesi tentang karma penyakitnya dan memperlakukan kondisinya dengan ringan. Lagi pula, Dafa adalah tak terbatas. Terlepas dari rintangan ini, kami harus melanjutkan perjalanan. Kami berhenti terpaku pada masa lalu dan masa depan serta mencoba sebisa mungkin melakukan yang terbaik di saat ini.
Saya berangsur-angsur berhenti bertanya pada ibu apakah gejalanya membaik, dan kini kesehatannya justru mulai membaik.
7. Selalu Ingat bahwa Guru akan Mengurus Sisanya
Seiring ibu yang pulih terus-menerus, saya merasa gembira dan tanpa sadar mulai pamer, mengambil pujian atas peningkatannya. Saya terus-menerus membicarakan hal yang positif yang telah saya lakukan, bermandikan keangkuhan—saya sudah lupa bahwa apa yang disebut sebagai pencapaian tersebut dilakukan oleh Guru.
“Kultivasi itu tergantung pada diri sendiri, sedangkan evolusi Gong tergantung pada Shifu.” (Ceramah 1, Zhuan Falun)
Semua upaya saya akan menjadi sia-sia tanpa Guru dan Dafa. Setelah memperbaiki pikiran salah tersebut, pikiran saya menjadi tenang, dan tidak ada hasrat untuk pamer.
Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada dua rekan praktisi yang diam-diam membantu ibu melalui kesulitan ini selama dua bulan. Praktisi pertama, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, memancarkan pikiran lurus bersama saya untuk ibu. Dan satunya lagi adalah bibi saya.
Ibu saya pada dasarnya melewati ujian penyakitnya dan mengalami terobosan besar dalam kultivasi. Kami memutuskan untuk memulai baru, demi saling mendukung di waktu tersisa yang berharga ini, kembali rajin seperti semula, dan membantu Guru menyelamatkan lebih banyak makhluk hidup selama periode pelurusan Fa.