Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Menjadi Rasional, Tenang, dan Menangani Konflik dengan Mudah Setelah Menghafal Fa

25 Agu 2024 |   Oleh praktisi Falun Dafa di New Jersey

(Minghui.org) Waktu berlalu dengan cepat, dan 26 tahun telah berlalu sejak saya mulai berlatih Falun Dafa. Saya bisa berkultivasi dan mendapat perlindungan Guru—sungguh suatu berkat dan keistimewaan di alam semesta yang maha luas ini!

Konferensi berbagi pengalaman besar maupun kecil, adalah kesempatan berharga bagi saya untuk merenungkan diri, menemukan kekurangan saya, dan meningkatkan karakter saya. Kesempatan ini langka, dan merupakan bentuk kultivasi yang diberikan Guru kepada kita untuk meningkat dalam kultivasi.

Ketika praktisi berbicara tentang pengalaman kultivasi mereka, selalu ada banyak hal yang bisa dikatakan. Saya ingin berbagi beberapa pengalaman terkini saya saat menghafal Fa.

Menghafal Fa dan Meningkatkan Karakter Saya

Seperti banyak praktisi lainnya, saya mencoba menghafal Fa sendiri, tetapi tidak dapat terus melakukannya dan tidak pernah sekalipun menghafal sampai selesai. Saya juga mencoba menyalin Fa tetapi berhenti di tengah jalan (sekarang saya melanjutkannya). Setelah mendengarkan seri “Tekun Menghafal Fa” di situs web Minghui, saya sangat tersentuh. Terutama ketika melihat bagaimana praktisi berubah setelah menghafal Fa—mereka menjadi lebih tenang dan stabil ketika menghadapi tantangan. Mereka dapat mengultivasi ucapan mereka, dan mengatasi konflik dengan mudah. Itu membuat saya menyadari bahwa menghafal Fa benar-benar membuat perbedaan.

Sekitar setahun yang lalu, seorang praktisi lain menyarankan kami menghafal Fa bersama. Saya yakin Guru melihat keinginan saya dan telah mengatur kesempatan ini untuk saya. Kami berkomitmen untuk meluangkan waktu satu jam setiap kali tanpa terburu-buru—kami hanya fokus menyerap Fa. Meskipun menghadapi berbagai gangguan, kami tetap bertahan dan telah menghafal Zhuan Falun tiga kali.

Kami fokus dan mencurahkan hati untuk menghayati setiap kata. Saya juga mengkaji ulang apa yang telah saya hafal dalam perjalanan harian saya di bus, dan sebagai hasilnya, saya dapat mengingat lebih banyak.

Perubahan yang paling terasa dari menghafal Fa adalah pikiran saya menjadi lebih damai. Saya tidak lagi merasa cemas seperti dulu ketika terjadi sesuatu. Sekarang, lebih tenang, tidak mudah impulsif, dan lebih mampu mengendalikan emosi dan pikiran, serta dapat mencegah pikiran ke mana-mana. Dulu, saya merasa sulit melakukan ini. Saya bahkan berpikir bahwa mengatakan apa pun yang muncul di pikiran adalah bentuk kejujuran atau kemurnian—terus terang dan tidak duniawi. Saya menganggapnya sebagai “Sejati” dan tidak merasa ada yang salah dengan itu. Namun, kenyataannya, itu adalah cara untuk memanjakan emosi dan melonggarkan disiplin diri. Saya telah membiarkan apa yang disebut emosi alami mengendalikan saya, tetapi saya tidak menyadarinya.

Guru berkata,

“Hal yang dilakukan manusia dalam kondisi rasional, dapat mengetahui diri sendiri sedang melakukan hal apa, selalu adalah Shan Nian (pikiran baik), itu barulah diri sendiri yang sesungguhnya.” (“Ceramah Fa pada Konferensi Fa di Eropa”)

Saat menulis ini, saya menghadapi ujian. Setiap tahun, dari bulan Juni hingga Agustus, orang-orang mengambil cuti, tetapi semua orang mencoba untuk menjadwalkan liburan mereka agar tidak mengganggu pekerjaan dan merepotkan orang lain. Namun, kali ini, saya harus menggantikan rekan-rekan praktisi untuk bekerja selama beberapa hari berturut-turut.

Pertama, seorang praktisi di kelompok saya tiba-tiba harus mengambil cuti dua minggu karena karma penyakit, dan saya harus menggantikannya. Saya tidak ragu atau merasa terganggu. Ia sedang merawat ibunya, yang juga seorang praktisi, selama sakit parah. Setelah ibunya meninggal pada bulan Agustus lalu, ia menghadapi tantangan fisik dan mental yang signifikan, tetapi ia telah berusaha mengatasinya. Kami harus saling mendukung dan membantu selama masa-masa sulit.

Minggu berikutnya lebih menantang. Praktisi yang bertugas pada hari Minggu ingin mengajak anak-anaknya berlibur. Saya setuju untuk menggantikannya, yang berarti saya harus bekerja tujuh hari berturut-turut pada minggu berikutnya. Saya tidak berpikir dua kali atau mempunyai alasan untuk menolak. Ini adalah hal yang wajar bagi kami untuk saling membantu.

Namun, itu bukan terakhir. Dalam satu minggu, dua orang libur pada waktu yang sama. Jadwal kerja mereka berlawanan dengan jadwal kerja saya, dan karena saya baru saja menyesuaikan jadwal setelah bekerja shift selama seminggu, saya harus kembali bekerja shift lagi. Ketika atasan saya bertanya, saya bilang tidak apa-apa—itu adalah sesuatu yang harus saya lakukan, saya tidak mengeluh.

Suami saya, seorang praktisi, berkata, “Membantu pekerjaan orang lain adalah hal yang baik; itu menunjukkan bahwa kamu berkultivasi dengan baik dan memiliki energi yang melimpah.” Saya merasakan demikian juga.

Ketika menyangkut soal pamer diri, itu pola pikir yang perlu saya kultivasi. Sejak kecil, saya  penurut, berprestasi di sekolah, menduduki jabatan pimpinan, dan bersekolah di sekolah dasar dan universitas bergengsi. Saya sudah terbiasa mendapat pujian. Akhirnya terbentuk pikiran bahwa saya mampu melakukan apa saja. Hal ini sering membuat saya menjadi berkemauan keras atau meremehkan orang lain.

Selain itu, saya telah menjadi guru selama lebih dari 20 tahun, selalu membimbing orang lain. Saya dapat menemukan masalah dengan cepat dan percaya bahwa semakin baik seorang guru, semakin banyak mereka harus mengidentifikasi masalah dan membantu siswa menyelesaikannya—itu menjadi kebiasaan saya. Sebelum saya mulai berlatih Falun Dafa, rekan kerja terkadang bercanda, “Kamu memberi kami pelajaran lagi,” atau “Kamu mulai mengajar kami lagi.”

Untuk mengatasi keinginan pamer diri, saya telah berulang kali menghafal bagian tentang “Mentalitas Pamer” di Zhuan Falun. Setiap kali menghafalnya, saya mendapatkan wawasan baru. Saya memahami bahwa dalam kultivasi, seseorang hanya dapat—dan harus—berlatih sesuai dengan Fa untuk meningkat, melakukan tiga hal dengan baik, dan memenuhi misi kita untuk menyelamatkan makhluk hidup. Kita harus melenyapkan pikiran, konsep, atau kebiasaan manusia—tidak peduli seberapa baik atau masuk akalnya hal itu. Kita harus melenyapkan semua pikiran dan keterikatan manusia yang tidak selaras dengan Fa karena itu adalah standar bagi para praktisi.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya telah sepenuhnya menghilangkan mentalitas pamer, tetapi sekarang, ketika hal itu mulai muncul, saya dapat dengan cepat menangkapnya dan secara sadar menyingkirkannya. Saya dapat merasakan bahwa Guru membantu saya menyingkirkan substansi buruk tersebut, dan substansi itu tidak lagi memengaruhi saya.

Rasa Kedamaian Batin

Banyak hal yang dulu memenuhi pikiran saya kini sudah lenyap, dan saya tidak lagi memikirkannya. Saya tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Saya merasa tenang dan damai seolah dunia telah berubah. Berbagai konflik tidak lagi mengganggu saya. Saya menjadi lebih rasional, dewasa, dan lebih seperti praktisi sejati.

Guru berkata,

“Oh manusia, di tengah masyarakat manusia biasa dipengaruhi berbagai macam konsep, dan masih terus membentuk berbagai macam konsep, secara serius memengaruhi watak hakiki dan pikiran sejati orang ini” (Ceramah Fa pada Konferensi Fa di Amerika Serikat Barat Saat Hari Yuansiao1 Tahun 2003)

Saya memahami Fa lebih dalam dari sebelumnya. Apa yang dikatakan Guru sungguh benar. Saya menyadari bahwa pikiran seseorang tidak pernah kosong—jika tidak diisi dengan pikiran dewa dan lurus, pikiran itu akan dipenuhi oleh pikiran manusia. Menghafal Fa memungkinkan Fa mengisi pikiran dan hati kita. Semakin banyak kita mengingat Fa, semakin cepat kita berasimilasi dengannya. Secara bertahap, tanpa disadari, cara berpikir kita akan berubah.

Ketika merenungkan ujian yang saya hadapi saat menggantikan shift rekan praktisi, Presiden Biden menghadiri upacara wisuda di West Point dan menyampaikan pidato hari itu. Pidatonya dimulai dengan terlambat 40 menit. Tanpa pidato Biden, laporan kami tidak akan memenuhi standar. Itu adalah peristiwa penting hari itu, dan semua media arus utama meliputnya. Meskipun kami tidak memiliki tenaga kerja, sumber daya, atau keuangan seperti yang dimiliki media biasa, kami seharusnya memiliki kebijaksanaan dan kemampuan yang melampaui manusia biasa. Standar kami seharusnya lebih tinggi dari pada media biasa.

Setelah berkoordinasi dengan rekan praktisi dan menggunakan semua sumber daya yang tersedia, kami menyelesaikan laporan tepat waktu sesuai dengan batas waktu. Ketika supervisor datang untuk mengambil laporan, saya berkata, “Biden terlambat 40 menit hari ini.” Ia tidak terima dan menekankan bahwa kami tidak boleh menunda. Saya menjelaskan, “Berita ini cukup penting.” Ia tidak mendengarkan. Saya dengan tidak jelas mendengar ia memberi tahu yang lain, “Ia masih berbicara tentang Biden yang terlambat 40 menit,” sambil tertawa.

Saya pikir semua ini ditujukan kepada saya, tetapi saya tetap harus melakukan apa yang harus dilakukan. Laporan itu diterbitkan, dan audio aslinya disertakan. Jika kami punya lebih banyak waktu, kami dapat menambahkan lebih banyak konten asli yang lebih baik.

Sepanjang proyek ini, saya merasa bahwa setiap berita, setiap kalimat, dan bahkan setiap kata, jika dilakukan dengan hati-hati dan dengan pikiran lurus, dapat menjadi alat yang ampuh untuk melenyapkan kejahatan dan menyelamatkan orang. Namun, jika tidak dilakukan dengan sepenuh hati, hal itu tidak memiliki kekuatan—tidak akan menghasilkan apa pun. Hal itu akan gagal untuk menekan kejahatan, mengklarifikasi fakta, atau menyelamatkan orang. Kerja tim kami selama proses produksi juga bertujuan untuk menyelamatkan orang. Orang lain tidak akan begitu cemas jika saya berkoordinasi dengan mereka lebih awal. Ketika mencari ke dalam diri, saya menyadari bahwa saya tidak memikirkan orang lain dulu.

Setelah itu, praktisi lain mengkritik saya dengan suara keras karena asal-asalan memilih kutipan untuk disertakan. Ia menyebutkan bahwa karena kutipan itu tentang Washington dan melibatkan orang Inggris, pemirsa tidak akan mengerti. Saya menjawab, “Kutipan itu penting.” Saya kemudian menjelaskan bahwa Biden mengutip Presiden Washington untuk menyoroti pentingnya sejarah West Point. Pada upacara wisuda West Point, Washington dan Perang Revolusi pasti akan disebutkan. Saat itu, saya tidak tahu bahwa sebenarnya Washington yang memilih West Point.

Praktisi itu kemudian berkata bahwa saya seharusnya mempersiapkan lebih awal, dan seterusnya. Saya berpikir, “Anda tidak mengerti sejarah dan budaya Amerika, tetapi masih berkomentar. Berita terkini tidak dapat dipersiapkan sebelumnya.” Namun, saya menahan diri, mengingatkan diri sendiri untuk tidak berdebat. Masih banyak yang harus dikerjakan, jadi saya membiarkannya, tetapi saya melihat tangan saya gemetar—tanda hati saya yang gelisah. Untungnya, itu hanya berlangsung beberapa detik.

Setelah merenung, saya menyadari bahwa saya belum berkultivasi dengan teguh. Saya seharusnya tetap tidak tergerak sama sekali—tidak perlu memberi penjelasan, tidak perlu mengeluh. Meskipun telah melewati banyak ujian, pada akhirnya, saya masih perlu mencari ke dalam diri sendiri. Hanya dengan menghilangkan keterikatan, saya dapat meningkat. Mencari ke dalam diri sendiri adalah sesuatu yang sangat berharga.

Saya sungguh berterima kasih kepada praktisi yang mengkritik dan membuat saya tidak nyaman. Ia memberi saya kesempatan untuk meningkatkan karakter saya. Jauh di lubuk hati, saya telah menyadari bahwa saya selalu merasa benar, memandang rendah orang lain, suka pamer, dan senang mendengar pujian, tetapi tidak suka pendapat yang berbeda. Saya harus menyingkirkan pikiran begini di tengah konflik agar saya dapat gigih maju.

Bersyukur

Ketika masih kecil, saya sering berharap agar orang-orang tidak mati, agar kita bisa hidup tanpa makan, dan agar kita bisa menjadi dewa. Setelah beberapa kehidupan, melalui lahir, tua, sakit dan mati, penderitaan tampak tak berhenti. Di manakah ujungnya?

Saya percaya pasti ada makhluk yang lebih tinggi di luar manusia yang dapat mengajarkan kita jalan dan rahasia menuju kehidupan abadi.

Ketika di sekolah menengah, guru wali kelas kami menunjukkan foto beberapa siswa kepada seseorang yang dikatakan memiliki kemampuan khusus. Orang itu menunjuk foto saya dan berkata, “Orang ini akan berbeda di masa depan.” Setelah mulai berlatih, saya baru menyadari betapa berbedanya saya dan menyadari betapa beruntungnya saya telah mendapat sesuatu yang sangat berharga!

Ajaran Guru mengungkapkan misteri alam semesta dan setiap kata yang diucapkan Guru penuh dengan makna yang mendalam. Seseorang tidak dapat mengangkat dirinya ke surga dengan cara menarik rambutnya; kita harus mendapat bimbingan dan perlindungan Guru. Pengorbanan Guru sangat besar, dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Saya tidak boleh melupakan anugerah Guru yang tiada batas dan harus selalu bersyukur. Seperti kata orang dahulu, “Ada budi ada talas, ada budi ada balas” Rasa syukur memperdalam keyakinan saya pada Fa dan mengingatkan saya untuk melihat diri saya sebagai seorang praktisi.

Terima kasih, Guru. Terima kasih, rekan-rekan praktisi.

(Dipresentasikan pada Konferensi Berbagi Pengalaman 2024 di New Jersey)