Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Perubahan Buruk Buku Pelajaran dan Pendidikan Anak di Tiongkok

3 Sep. 2024 |   Oleh Zhuyun

(Minghui.org) Xie Taijie, cendekiawan di Dinasti Qing, menyusun buku berjudul Xiao Xue Shi (Puisi Sekolah Dasar). Puisi-puisi tersebut mencakup topik prinsip moral, etika, hingga sopan santun, dan tertulis dalam bahasa sederhana yang mudah dimengerti.

Berikut beberapa contohnya.

Martabat dan Rasa Hormat

Martabat dan rasa hormat membuat seseorang menjadi kuat,
kecerobohan dan rasa malas hanya membawa ketidakpastian;
Di sini terpisah jalur orang terhormat dan bandit,
perbedaannya semakin besar seiring waktu.

Sendirian

Tidak melawan hati nurani meski sendirian,
karena Dewa sedang mengamati dan menilai;
Begitu pikiran seseorang timbul
sudah diketahui oleh Dewa.

Kerendahan Hati

Orang terhormat selalu rendah hati,
karena arogan dan rasa angkuh adalah milik berandal;
Bila ada yang melakukan kesalahan dan gagal mengakuinya,
itu akan menghancurkan seluruh kehidupan orang tersebut

Bersikap Sopan

Perilaku tak pantas yang berhubungan dengan seks dan moralitas,
bukan milik umat manusia;
Hidup bagaikan giok yang tak ternoda,
tidak menyimpang sedikit pun dari hati nurani.

Buku Pelajaran yang Digunakan Sebelum Pemerintahan Komunis

Tidak seperti buku pelajaran yang kini digunakan di Tiongkok di bawah pemerintahan komunis, materi pendidikan dahulu berfokus pada standar moral. Dengan memberitahu murid-murid apa yang baik dan buruk, mereka menjelaskan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pendekatan ini berlanjut hingga awal tahun 1900-an.

Buku pelajaran yang digunakan di Republik Tiongkok (berganti nama menjadi Republik Rakyat Tiongkok tahun 1949) berfokus pada nilai moral dan estetika. Banyak cendekiawan terkenal berkontribusi dalam hal ini, termasuk Cai Yuanpei, Ye Shengtao, Feng Zikai, Zhu Ziqing, Xia Mianzun, Zhang Yuanji, Wang Yunwu, Gu Jiegang, dan Chen Heqin. Lebih dari 100 buku pelajaran terkumpul antara tahun 1912 dan 1949.

 

Banyak buku pelajaran juga memiliki isi yang menghibur khusus dibuat untuk anak-anak. Buku di atas, diterbitkan tahun 1917, gambar sampulnya menunjukan dialog dari satu pelajaran:

“Ayah Yong’er berkata, ‘Bila tamu datang ke rumah kita, tolong tanyakan marganya.’ Yong’er mengangguk.

Saat seorang tetangga, Xu, datang berkunjung keesokan harinya, Yong’er bertanya, ‘Pak Xu, bisakah Anda memberitahu saya marga Anda?’”

Kekerasan dan Kebohongan di Buku Pelajaran PKT

Tidak seperti buku pelajaran zaman dahulu, materi pendidikan berubah drastis setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) berkuasa tahun 1949. Terlebih lagi, buku pelajaran berisi banyak kebohongan yang memuji PKT dan menipu orang. Sebagai contoh, mundurnya tentara Merah selama Perang Sipil Tiongkok tahun 1934 dianggap sebagai Barisan Panjang “agung”; PKT mendapat untung melalui penanaman opium yang dijuluki “berkebun,” Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) justru dipuji sebagai kekuatan utama yang menghadang serbuan Jepang dan bukannya memberi pujian kepada Kuomintang seperti yang tertulis dalam sejarah.

Kebohongannya tersebar dari generasi ke generasi. Setelah PKT mulai menganiaya Falun Gong tahun 1999, PKT menambah propaganda fitnahannya, seperti insiden Bakar Diri di Lapangan Tiananmen, hingga buku pelajaran (contoh ditampilkan di tautan di atas) untuk menipu masyarakat umum dan menghasut kebencian terhadap latihan ini.

Doktrin inti PKT akan kekejaman dan kebencian lanjut disebarkan sebagai bagian dari cuci otak yang masih berlangsung. Selama pandemi belakangan, murid dari beberapa bagian di Tiongkok mengenakan pakaian Tentara Merah saat melakukan latihan perang untuk mempertahankan simbol Teror Merah. Selama perayaan 100 tahun berdirinya PKT pada 2021, pejabat PKT meminta semua murid TK, SD dan SMP untuk meninjau sejarah Partai dan mengikuti barisan Partai sehingga “Gunung dan Sungai Merah tidak berubah warna.”

Gambar “Pengawal Merah” muda

PKT melancarkan “Hukum Anti Mata-Mata” tahun 2023, yang juga diterapkan dalam kurikulum sekolah. Murid-murid didorong untuk mengamati keluarga mereka dan melaporkan kegiatan mencurigakan ke pihak berwenang. Dalam konteks ini, tragedi yang dilakukan Penjaga Merah terhadap keluarga selama Revolusi Kebudayaan sangat mungkin akan terulang.

Ini bukan sesuatu yang mengejutkan, melihat dari watak PKT. Selama PKT terus mendorong doktrin komunis, rundungan, pembunuhan, penyebab bunuh diri, dan “orang hilang” di Tiongkok tidak bisa dihindari.

Dengan menolak PKT dan merangkul budaya tradisional, seperti prinsip Sejati-Baik-Sabar, rakyat Tiongkok dan seluruh dunia akan memiliki masa depan yang lebih baik.