Falun Dafa Minghui.org www.minghui.org CETAK

Laporan Minghui: 20 Tahun Penganiayaan Falun Gong di Tiongkok (Bagian 9)

14 Okt. 2024

Oleh Grup Minghui

Pertama kali dipublikasikan di tahun 2019

Hak Cipta © 2019 Minghui.org & Minghui Publishing Center Corporation

(Bagian 9)

(Lanjutan dari Bagian 8)

Bab 4: Metode Penyiksaan

Polisi membawa minyak mustard yang diimpor dari Jepang pada tengah malam. Dengan jarum suntik besar, mereka menyuntikkan minyak mustard ke hidung saya. Saya langsung merasakan sakit yang sangat parah dan menyengat di dada. Saya merasa seolah-olah organ dalam tubuh saya bergetar. Saya tidak bisa membuka mata. Kepala saya seperti mau meledak. Saya hampir gila. Kata-kata tidak bisa mengungkapkan betapa menyakitkannya itu.

Setelah kehilangan kesadaran, polisi menyiram saya dengan air dingin untuk membangunkan saya. Kemudian mereka kembali mencekok paksa saya dengan minyak mustard sampai saya pingsan lagi. Mereka mengulangi siksaan itu beberapa kali. Saat mencekok paksa saya dengan minyak mustard, seorang petugas berkata kepada saya, 'Apakah kamu kenal Jiang Pai? Ini yang kami lakukan padanya. Ia bahkan ditempatkan di kursi besi yang dicolokkan ke listrik sambil dicekok dengan minyak mustard.’”

Di atas adalah pengalaman dari Liu Ying (wanita), seorang perawat dari kota Daqing, Liu dicekok paksa makan dengan minyak mustard di pusat penahanan. Praktisi lain, Jiang Pai, meninggal karena komplikasi dicekok makan paksa pada 28 Juni 2007, dia hanya berusia 34 tahun.113

Hampir setiap praktisi Falun Gong yang ditahan di fasilitas penahanan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dapat menggambarkan setidaknya satu bentuk penyiksaan yang mereka alami. Selain pencucian otak, kekerasan, dan penghancuran finansial, penyiksaan adalah taktik utama yang digunakan oleh rezim komunis untuk memaksa praktisi Falun Gong melepaskan keyakinan mereka.

Dari barang kebutuhan sehari-hari seperti sikat gigi hingga instrumen penyiksaan seperti bangku harimau, dari suhu dingin hingga suara keras, dari cekok makan paksa hingga pelecehan seksual, dari mengikat korban dalam posisi yang menyakitkan hingga isolasi yang berkepanjangan, lebih dari seratus metode penyiksaan telah dijelaskan oleh praktisi Falun Gong yang dibebaskan dari kantor polisi, pusat penahanan, atau penjara Tiongkok. Penyiksaan seperti itu tidak hanya menyebabkan kerusakan dan luka fisik yang parah pada praktisi, tetapi juga menyebabkan trauma mental yang berlangsung lama.

§4.1 Pemukulan

“Memukul praktisi Falun Gong sampai mati bukanlah masalah dan akan dianggap sebagai bunuh diri atau mati karena sakit. Kalian sama sekali tidak perlu menunjukkan rasa kasihan, terutama terhadap mereka yang menolak 'diubah.' Partai dan pemerintah ada di belakang kalian! Jadi, laksanakan perintah ini tanpa ragu!”

Di atas adalah apa yang para penjaga di Penjara Duyun, Provinsi Guizhou, katakan kepada narapidana untuk mendorong mereka menggunakan semua metode penyiksaan mental dan fisik untuk menganiaya praktisi Falun Gong.114

§§4.1.1 Memukul dengan Tangan Kosong

Pemukulan adalah salah satu bentuk penyiksaan paling umum yang digunakan terhadap praktisi Falun Gong. Pelaku sering kali mengincar bagian sensitif korban, seperti hidung, mata, atau alat kelamin. Beberapa praktisi dipukuli untuk waktu yang lama atau dengan kekuatan yang berlebihan. Seorang praktisi melaporkan ditampar wajahnya lebih dari 500 kali.

Kasus 1: Kematian Setelah Sembilan Bulan Dianiaya

Agar Ding Lihong (pria) tidak bisa tidur, penjaga di Pusat Pencucian Otak Shijiazhuang di Provinsi Hebei memukul kepalanya dengan apa pun yang bisa mereka temukan, memukul kakinya, memelintir telinganya, dan menarik kelopak matanya. Secara khusus, penjaga Zhao Juyong mencubit bola matanya dan mencungkil matanya. Dalam sembilan bulan, Ding meninggal karena penganiayaan. Ia berusia 36 tahun.115

Kasus 2: Kebrutalan Terhadap Wanita

Wang Xiuyuan (wanita) dari Kota Shenyang, Provinsi Liaoning, ditangkap pada 19 April 2002 dan ditahan di Kamp Kerja Paksa Longshan selama dua tahun. Pada Juli 2002, Wang ditendang di dada oleh seorang penjaga dan terhempas sejauh empat meter. Ketika ia berdiri, penjaga menamparnya, menyebabkan darah mengalir dari hidung dan sudut matanya. Penjaga menendangnya lagi, membuatnya jatuh dan menabrak pipa pemanas, menyebabkan luka berdarah di kepala.116

Jia Shuying (wanita) dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada tahun 2002. Di Provinsi Heilongjiang, ia mengalami berbagai siksaan yang bertujuan untuk memaksanya melepaskan Falun Gong.

“Penjaga penjara Xiao Lin dikenal karena kekejamannya. Semua narapidana merasa takut hanya melihatnya. Suatu kali, ia menyeret saya ke sebuah ruangan dan mulai menampari wajah saya. Ketika lelah, ia duduk di kursi. Ia mengistirahatkan tangannya dan menendang saya. Rasa sakitnya bahkan lebih parah. Ia akhirnya menampar wajah saya lebih dari seratus kali. Ketika penjaga lain berpikir itu sudah keterlaluan dan ingin membawa saya keluar dari sana, Xiao menginjak saya. Saya tidak bisa bernapas. Saya jatuh membentur dinding dan kehilangan kesadaran.

“Saya mengalami rasa sakit yang luar biasa di sisi kanan dada selama lebih dari enam bulan. Saya harus bernapas dangkal dan perlahan. Terkadang rasa sakitnya begitu parah hingga membuat saya bersimbah keringat. Di malam hari, saya tidak bisa tidur karena sakit. Sakitnya benar-benar seperti akan membunuh saya. Saya kemudian baru tahu bahwa Xiao telah mematahkan tulang rusuk saya ketika ia menendang saya.”117

§§4.1.2 Memukul dengan Benda

Penjara Tiongkok menggunakan benda sehari-hari yang paling tidak diduga untuk menyiksa orang. Misalnya, semangka digunakan untuk memukul kepala praktisi Falun Gong, sendok dan koin untuk menggores tulang rusuk praktisi, dan gantungan baju untuk memukul tenggorokan.

Dengan kata lain, jika dapat menimbulkan rasa sakit, benda apa pun, seperti logam, plastik, kulit, karet, kayu, atau kertas, dapat digunakan sebagai alat penyiksaan.

Dalam satu kasus, polisi menaruh sebuah buku di perut praktisi dan kemudian mencambuk buku itu dengan selang. Pukulan itu lebih dari cukup untuk menyebabkan luka dalam, tetapi buku itu memberikan bantalan yang cukup sehingga tidak ada luka luar yang terlihat.

Kasus 1: Dokter Pengobatan Tradisional Tiongkok Disiksa dengan Ratusan Cara

Shao Chengluo (pria) seorang dokter pengobatan tradisional Tiongkok, 68 tahun, dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara di Penjara Shandong pada 2006. Ia disiksa dengan lebih dari seratus cara yang berbeda, seperti ditusuk dengan jarum, tulang rusuknya dikerik dengan sikat gigi atau tongkat kayu, dan sikat gigi yang telah dipelintir dijepitkan dengan kuat di antara jari tangannya.

Suatu kali, para penjaga mengikat tangan dan kaki Shao dan menempatkannya di atas bangku yang dibalikkan. Mereka kemudian menendangi bangku dari bawahnya.

Para penjaga juga menghasut narapidana untuk mencabuti alis dan kumisnya. Mereka mengolesi lukanya dengan garam serta membakar lutut dan pergelangan kakinya dengan besi panas. Dalam upaya untuk mencekok makan paksa dirinya, mereka membuka mulutnya dengan obeng dan merusak giginya.

Shao mengalami luka di sekujur tubuhnya, termasuk tulang belakang menjadi cacat, patah tulang di jari tangan dan kaki, dan luka di leher, tulang rusuk, lengan, dan perutnya. Otot-ototnya mengecil, berat badannya turun menjadi di bawah 45 kg, dan ia tidak bisa lagi meluruskan jari tangan kirinya.118

Kasus 2: Wanita Dipukuli dengan Gulungan Koran

Geng Li (wanita) ditangkap dan dibawa ke Kantor Polisi Kota Xiheying pada 2007. Setidaknya empat petugas polisi memukul mulut, wajah, kepala, dan lengannya dengan gulungan koran. Ketika gulungan koran itu usang, mereka membuat yang baru dan melanjutkannya lagi. Wajah dan mulutnya bengkak parah. Mereka kemudian menyetrumnya dengan tongkat listrik di lengan dan punggungnya dan mencoba memaksanya untuk berlutut. Ketika ia menolak untuk mematuhi, mereka menendang kakinya sampai ia tidak bisa lagi berdiri.

Pada satu titik, seorang petugas menginjak salah satu kakinya, sementara yang lain memukul lututnya dengan tongkat karet. Mereka kemudian menariknya dan memukul pantatnya. Seorang polisi juga menggunakan tongkat karet untuk memukul lutut, kaki, lengan, dan bahunya berulang kali. Pemukulan itu meninggalkan memar yang membiru.119

Kasus 3: Seorang Wanita Dicambuk dengan Selang Karet

Zhu Xiumin (wanita) dari Kota Daqing, Provinsi Heilongjiang, pernah menceritakan bagaimana polisi memukulinya dengan selang karet setelah dia ditangkap karena menginterupsi sinyal TV kabel dan menyiarkan video tentang penganiayaan Falun Gong:120

Dua petugas yang menangkap saya mulai memukuli dan menginterogasi saya. Salah satu dari mereka melepas sepatu dan kaus kaki saya dan membuat saya berdiri di atas lantai semen dingin tanpa alas kaki. Betis saya dirantai ke kaki kursi besi. Lengan saya dibelenggu ke kedua sisi kursi dan saya diborgol.

Petugas memegang sepotong selang karet yang dipilin menjadi tiga bagian dan mencambuk bagian belakang kaki saya. Dia mencambuk dan berteriak, "Saya akan fokus pada kakimu sampai ujung jari kakimu biru lebam dan kemudian putus." Dia terus mencambuk saya tanpa henti. Karena kaki saya terikat, saya tidak bisa bergerak.

Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Itu sangat menyakitkan. Dia menertawakan rasa sakit saya dan memaki saya, menggunakan bahasa kotor. Sejak saat itu, saya tidak mengeluarkan suara. Dia memukul saya dengan sekuat tenaga selama setengah hari dan heran melihat saya tidak memiliki reaksi atau bahkan ekspresi di wajah saya. Dia melonggarkan rantai sedikit, kemudian terus mencambuk saya lagi. Tak peduli seberapa keras dia memukul, saya tetap tidak mengeluarkan suara, dan tidak ada ekspresi di wajah saya. Saya terus menatapnya saat dia mencambuk saya, dan dia perlahan-lahan berhenti.

Saya hampir pingsan karena kesakitan. Saya tidak bisa melarikan diri. Kata-kata tidak bisa menggambarkan rasa sakitnya. Waktu berlalu. Setiap detik adalah siksaan, dan saya berada di antara hidup dan mati. Kematian akan terasa lebih mudah. Saya hanya punya satu pemikiran: “Saya tidak boleh tunduk pada mereka. Saya tidak akan tunduk pada kejahatan atau membiarkan mereka menikmati penderitaan saya.”

§4.2 Cekok Makan Secara Paksa

Cekok makan secara paksa dilakukan dengan memasukkan selang ke dalam hidung, naik melalui rongga hidung, dan turun ke kerongkongan hingga ke lambung. Nutrisi cair kemudian dimasukkan paksa melalui selang. Apa yang biasanya merupakan perawatan medis untuk menyelamatkan jiwa telah digunakan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk menganiaya praktisi Falun Gong yang melakukan mogok makan di pusat-pusat penahanan, kamp kerja paksa, dan penjara.

Karena mereka tidak terlatih secara medis, penjaga penjara dan narapidana sering melakukan kesalahan ketika mereka mencekok makan praktisi secara paksa, seperti memasukkan selang ke dalam paru-paru korban. Hanya butuh kesalahan kecil saat menggunakan metode ini untuk membunuh seseorang.

Untuk menambah penderitaan praktisi, pelaku terkadang mencekok praktisi dengan air asin pekat atau air yang sangat pedas, makanan panas, feses, atau obat-obatan psikiatri atau beracun. Beberapa praktisi telah melakukan mogok makan jangka panjang sebagai upaya terakhir untuk memprotes penganiayaan. Akibatnya, mereka dicekok makan paksa bertahun-tahun selama mereka dipenjara.

Dalam beberapa kasus, cekok makan paksa digabungkan dengan bentuk penyiksaan lainnya, seperti mengekspos praktisi ke cahaya atau panas yang ekstrem atau memaksa mereka menonton video propaganda yang menyerang Falun Gong. Beberapa diikat ke tempat tidur selama berbulan-bulan dan mengalami luka baring.

Kasus 1: Seorang Wanita Meninggal karena Dicekok121

Sun Lianxia (wanita) dari Kota Dalian, Provinsi Liaoning, ditangkap ketika pergi ke Beijing untuk memprotes penganiayaan terhadap Falun Gong pada musim gugur tahun 2000. Di Kamp Kerja Paksa Dalian, dia melakukan mogok makan dan dicekok makan paksa oleh penjaga dan narapidana.

Rongga hidung dan mukosa esofagusnya terluka, lubang hidungnya berdarah saat selang makanan dimasukkan. Karena lubang hidungnya tersumbat, dia harus bernapas melalui mulutnya. Dia tidak bisa berhenti batuk mengeluarkan dahak dari tenggorokan dan kerongkongannya yang meradang. Dia memuntahkan darah, yang membuat cekok makan menjadi sulit.

Selama dua jam terakhir hidupnya, meski Sun dalam kondisi kritis, cekok makan paksa tidak dihentikan. Dia meninggal pada 16 Januari 2001, hanya berusia 50 tahun.

Kasus 2: Seorang Insinyur Selamat dari Cekok Makan Paksa Setiap Hari Selama Lima Tahun Penjara122

Qu Yanlai (pria), seorang insinyur bidang energi, memulai mogok makan sejak hari pertama dia ditangkap pada September 2002. Dia dicekok makan paksa selama lima tahun dia menjalani hukuman di Penjara Tilanqiao di Shanghai.

 “Pertama kali dokter memasukkan selang makanan ke dalam perut saya, rasanya seperti ada ular api yang mengebor ke dalam tubuh saya. Amat sangat menyiksa,” kenang Qu.

Dalam upaya mereka untuk memaksanya berhenti mogok makan, para penjaga dan dokter menggunakan berbagai cara untuk menyiksanya, seperti menggunakan selang makanan yang tebal, menarik selang makanan keluar masuk saat cekok makan, atau membatasi jumlah makanan untuk membuatnya kelaparan. Tanpa nutrisi yang cukup, ia merasa mengantuk dan terus-menerus merasakan sakit di sekitar jantung dan hatinya.

Ketika dia dirawat di rumah sakit penjara karena pendarahan lambung, para narapidana mengikatnya erat-erat ke ranjang, kadang-kadang menyelipkan ban di bawah punggungnya. Banyak pembuluh darahnya pecah karena diikat keras ke ranjang dengan cara ini selama beberapa bulan.

Dokter penjara menambahkan potasium klorida ke infusnya, yang merangsang pembuluh darahnya dan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.

Selama dirawat di rumah sakit, para narapidana memperlambat laju infus. Tiga botol yang biasanya habis dalam tiga jam diperpanjang menjadi 19 jam. Lengannya biasanya membengkak parah setiap kali setelah infus.

Mengingat penyiksaan itu, Qu berkata, “Sangat menyakitkan diikat ke ranjang dengan lima tali. Siksaan itu melampaui kata-kata. Setiap menit dan setiap detik terasa sulit untuk bertahan. Tapi saya berpikir, 'Bukankah sehari hanya punya 24 jam?! Setiap jam memiliki 60 menit, dan setiap menit memiliki 60 detik.’ Saya bertanya pada diri sendiri, ‘Bisakah kamu bertahan satu detik lagi? Tidak masalah! Begitulah saya manahannya detik demi detik sampai penganiayaan berakhir.’”

§4.3 Posisi yang Menyiksa

Beberapa praktisi dipaksa untuk mempertahankan posisi fisik yang menyakitkan untuk jangka waktu lama, seperti berdiri, mengangkat lengan atau kaki, duduk di bangku kecil, digantung pada pergelangan tangan, diikat dalam posisi kaki dan tangan terentang, atau tangan dan kaki dirantai menjadi satu.

§§4.3.1 Duduk di Bangku Kecil

Duduk di bangku kecil adalah bentuk penyiksaan yang banyak digunakan di kamp kerja paksa dan penjara Tiongkok. Pada awalnya, mungkin terlihat tidak begitu menyakitkan. Tetapi ketika orang dipaksa duduk diam untuk waktu lama, dengan kaki dipaksa bersentuhan dan tangan diletakkan di atas lutut, tanpa diperbolehkan melihat ke sisi, bergerak atau berbicara, itu adalah bentuk penyiksaan yang sangat kejam. Seorang praktisi yang mengalami penyiksaan ini berkata: “Rasa sakit seperti itu tidak dapat dilukiskan. Itu membuat satu hari terasa seperti setahun dan hidup itu lebih buruk daripada mati.”

Setelah satu jam duduk diam di bangku, orang akan merasa tidak nyaman diikuti dengan rasa sakit. Rasa sakitnya menjadi demikian menyiksa, seperti anak panah yang tak terhitung banyaknya menembus tubuh bagian bawah dan cacing tengah menggerogoti tulang. Beberapa praktisi dipaksa duduk di bangku kecil ini setiap hari selama berbulan-bulan, satu tahun, atau bahkan dua tahun. Beberapa mengalami luka terbuka, berdarah, bernanah di pantat mereka—beberapa dengan tulang menonjol keluar.

Jika praktisi bergerak sedikit saja, narapidana yang mengawasi - akan menggunakan kawat tembaga menusuk punggung praktisi; beberapa praktisi memiliki luka di sekujur punggung mereka, seperti lubang pada saringan.123

§§4.3.2 Diikat dengan Tali di Kamp Kerja Paksa Xuchang

Di Kamp Kerja Paksa Xuchang di Provinsi Henan, salah satu penyiksaan yang biasa digunakan adalah mengikat orang dengan tali.

Praktisi yang menjadi sasaran penyiksaan ini menggambarkannya sebagai berikut: Para pelaku pertama-tama mengikatkan tali mengelilingi kedua lengan seseorang beberapa kali di belakang punggung, lalu menarik tali ke atas melewati bahu. Semakin tali dikencangkan, semakin tinggi lengan tertarik ke belakang tubuh. Ketika tali terlalu kencang, praktisi bahkan tidak bisa berdiri. Praktisi mengalami rasa sakit yang luar biasa, dan hanya perlu beberapa menit untuk melumpuhkan seseorang dengan cara ini. Ketika tali dilepas, tulang-tulang di lengan terasa seperti patah, dan setelah itu lengan mati rasa untuk waktu yang lama.

Tidak ada narapidana biasa yang bisa bertahan dari siksaan ini lebih dari dua kali. Namun, para penjaga sering menggunakannya untuk menyiksa praktisi, bahkan hingga lima atau enam kali. Praktisi Li Xingcheng (pria) dari Nanzhao, Kota Nanyang, menjalani siksaan dengan tali ini sebanyak tujuh kali, membuat pergelangan tangannya bengkak dan dipenuhi luka serius.124

§§4.3.3 Seorang Wanita Meninggal karena Penyiksaan “Baju Pengekang”

Saat ditahan di Kamp Kerja Paksa Shibalihe di Provinsi Henan, Guan Ge (wanita) meninggal dalam “baju pengekang” pada tahun 2003. Terbuat dari kanvas yang ditenun rapat, baju dikenakan pada korban dari depan dan dikencangkan di belakang. Lengannya memiliki tali pengikat sekitar 25 cm lebih panjang dari lengan korban. Para penjaga menyilangkan dan mengikat lengan korban di belakang punggung mereka. Kemudian para penjaga menarik tangan korban ke atas melewati bahu ke depan dada mereka, mengikat kaki mereka dan kemudian menggantungnya tinggi di jendela atau kursi.

Menurut ibu dari Guan, yang melihat jenazahnya:125

Dia memiliki banyak luka dan memar. Matanya terbelalak, dan ada darah di mulutnya. Ada benjolan besar dan luka dalam di kepalanya. Telinganya dipukul begitu keras hingga hancur. Ada sepotong kecil jaringan yang hilang di lengan kirinya, dan benjolan besar di belakang lehernya. Bekas luka ungu sepanjang tiga sentimeter terlihat di punggung bawahnya, dan seluruh kaki kirinya memar. Tangannya mengepal erat.

§§4.3.4 Tangan dan Kaki Dirantai Bersama

Seorang wanita lainnya, Wang Kefei, meninggal pada 20 Desember 2001, saat berada di Pusat Penahanan Tiebei di Provinsi Jilin.

Karena dia melakukan latihan Falun Gong, para penjaga memasang belenggu berat di kakinya, memborgolnya, dan kemudian menghubungkan belenggu dan borgol dengan rantai pendek, membuatnya tidak bisa duduk, jongkok, berdiri, atau berbaring. Dia harus meringkuk setiap saat. Dia tidak bisa makan, minum, atau menggunakan toilet sendiri. Setelah ditahan dengan cara ini untuk waktu yang lama, korban menderita ketegangan otot yang meluas, anggota badan membengkak, dan insomnia. Kebanyakan orang hanya dapat menahan siksaan ini hingga 48 jam, tetapi Wang disiksa dengan cara ini selama 11 hari berturut-turut.

Untuk menimbulkan lebih banyak rasa sakit, para penjaga memerintahkannya turun naik tangga untuk menghadiri sesi interogasi. Di lorong panjang dan gelap, ia harus berjuang untuk menyeret belenggunya yang berat inci demi inci. Dari jauh orang-orang bisa mendengar suara belenggu diseret di lantai semen.126

§§4.3.5 Penyiksaan Peregangan di Kamp Kerja Paksa Masanjia yang Terkenal Kejam

Di Kamp Kerja Paksa Masanjia yang terkenal kejam di Provinsi Liaoning, banyak praktisi menjadi sasaran penyiksaan “peregangan” seperti berikut ini.

Cai Chao (pria), 22 tahun, harus berdiri di salah satu ujung tempat tidur. Kakinya diikat pada balok setinggi 20 cm di atas lantai, pahanya menempel di kepala tempat tidur, dan bagian atas tubuhnya membentuk sudut 90 derajat dengan tangan diborgol dan ditarik ke ujung tempat tidur dengan tali. Jika penjaga merasa tangannya sudah mati rasa, mereka melepaskannya dan mengulangi penyiksaan ini 10 menit kemudian. Selama waktu itu, para penjaga juga menyetrum leher, tangan, perut, dan punggungnya. Mereka menyiksa Cai dengan cara ini tiga kali selama lima jam. Setelah dia diturunkan, dia tidak bisa mengangkat tangannya atau berdiri, dan dia membutuhkan waktu satu setengah bulan untuk pulih.

Li Hailong (pria) juga diregangkan tiga kali selama tiga setengah jam. Bahkan setelah dua bulan kemudian dia tidak bisa berjalan dengan normal.

§§4.3.6 Ranjang Kematian

Ranjang kematian adalah papan kayu tempat praktisi diikat dalam posisi “elang membentangkan sayap”. Nama itu didapatkan dari fakta bahwa para korban tidak dilepaskan bahkan untuk tidur, makan, atau buang air besar. Penyiksaan ini biasanya dikombinasikan dengan cekok makan paksa dan siksaan lainnya.

Duan Xueqin (wanita) berasal dari Mongolia Dalam ditahan di ranjang kematian untuk waktu yang lama sehingga otot-ototnya berhenti berkembang dan dia kehilangan tenaga. Sementara itu, para penjaga mencacinya secara verbal, meludahi wajahnya, menusuk lengannya, memukul payudaranya dan melepas celananya untuk mempermalukannya. Para penjaga juga tidak mengizinkannya menggunakan toilet.

Ketika Duan dibebaskan dari ranjang kematian dua minggu kemudian, tubuhnya kaku dan dia tidak bisa berjalan. Para narapidana harus mencubitnya untuk membuatnya berjalan. Sebelum kekuatan ototnya pulih, dia harus berlutut untuk buang air besar (kebanyakan toilet di Tiongkok hanya memiliki toilet jongkok).127

§4.4 Pengeboman Sensorik

Ketika Zhao Lerong (wanita) mengerang kesakitan di bawah terik matahari, para penjaga menutup mulutnya dengan perekat dan mengikat tangannya. Mereka bersorak, “Kamu adalah bunga matahari. Kamu berputar ke mana pun matahari bersinar.”128 Pihak berwenang menggunakan bentuk penyiksaan yang menargetkan indra praktisi dengan membebani mereka dengan kebisingan, cahaya, panas, atau dingin yang ekstrem.

Beberapa praktisi dicekok dengan sesuatu yang berbau tengik, beberapa praktisi wajah dan mulut mereka diolesi, disiram atau bahkan direndam dengan tinja. Beberapa penjaga mendorong masuk kepala praktisi ke dalam jamban atau mengurung mereka di kandang babi atau tempat kotor lainnya.

Fasilitas penahanan lainnya menggunakan hewan dan serangga, seperti semut, tawon, nyamuk, kalajengking, laba-laba, tikus, ular, dan anjing penyerang untuk meneror praktisi. Selain tekanan dan bahaya fisiologis, serangan sensorik semacam itu juga dapat menyebabkan disorientasi dan penderitaan mental yang ekstrem.

§§4.4.1 Panas Ekstrem

Penjaga sering membakar praktisi dengan api, setrika, air mendidih, dan rokok. Mereka juga memaksa praktisi untuk berdiri di bawah terik matahari selama berjam-jam atau mengurung mereka di ruangan yang sangat panas dengan pakaian musim dingin.

Pihak berwenang di Pusat Penahanan No.3 di Distrik Shuangyang Kota Changchun, Provinsi Jilin, mengikat praktisi ke kursi besi dan menempatkan pemanas listrik 2.000 watt di bawah mereka, yang membuat kursi menjadi panas tak tertahankan. Mereka juga memasang bola lampu terang di setiap sisi kepala korban. Penyiksaan ini berlangsung selama minimal dua jam.129

§§4.4.2 Dingin Membeku

Paparan suhu rendah untuk waktu yang lama juga dapat menyebabkan cedera serius dan permanen.

He Huajiang (pria) diikat ke kursi di kamar mandi dan mulutnya ditutup rapat pada bulan Desember. Penjaga membuka jendela agar udara dingin masuk dan mereka juga terus-menerus menuangkan air dingin ke tubuhnya, sambil memukulinya sesekali. Dia meninggal dua jam kemudian, pada usia 42 tahun.130

Qiu Liying (wanita) pernah dibiarkan di luar dengan kemeja tipis dan sandal ketika suhu mencapai -20°C karena melakukan latihan Falun Gong. Para penjaga memborgol tangannya ke belakang dan menggantungnya di pohon. Hidungnya yang berair membentuk es sepanjang satu meter. Daging di kedua tangannya pecah terbuka karena dingin yang menusuk, dan darah merembes keluar.131

Yang Baochun (pria) dipaksa berdiri di atas salju tanpa alas kaki. Ketika dia diizinkan kembali, penjaga menuangkan air panas ke kakinya, yang dengan cepat mulai bernanah. Para penjaga tidak mengirimnya ke rumah sakit sampai mereka yakin bahwa hidupnya dalam bahaya. Dokter terpaksa mengamputasi kaki kanannya.132

§§4.4.3 Kebisingan yang Memekakkan Telinga

Banyak praktisi menderita gangguan pendengaran setelah dipaksa untuk mendengarkan suara keras bernada tinggi untuk waktu yang lama.133 Misalnya, penjaga atau narapidana menutupi kepala praktisi dengan ember lalu menabuh ember itu, menyebabkan suara memekakkan telinga dan dapat menyebabkan disorientasi mental.

Liu Peng (pria), seorang praktisi dari Shanghai, dijatuhi hukuman lima tahun penjara pada 2008. Dia ditahan di Penjara Tilanqiao di Shanghai. Penjaga Wang Haocheng memerintahkan narapidana untuk menyiksanya. Dia dipaksa berdiri menghadap tembok dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Mereka juga menempatkan pengeras suara di sebelah telinganya di sebuah ruangan kecil dan meninggikan volumenya. Dia menderita kehilangan pendengaran di kedua telinganya.

Mo Qingbo (wanita) dari Kota Nanning ditahan di sel kecil di Kamp Kerja Paksa Wanita Guangxi karena menolak melepaskan Falun Gong. Selama tiga bulan, para penjaga memainkan jeritan liar menakutkan dan lolongan hantu sepanjang siang dan malam untuk membuatnya tidak bisa tidur. Ketika dia dikeluarkan dari sel kecil itu, dia tampak mengalami disorientasi mental.

§§4.4.4 Penyerangan pada Indra Penciuman dan Perasa

Beberapa penjaga menggunakan kotoran manusia, urine serta zat berbau busuk dan mengiritasi lainnya untuk mempermalukan dan menyiksa praktisi Falun Gong. Beberapa penjaga menyumpal mulut praktisi dengan pembalut bekas, kain lap, kaus kaki yang tidak dicuci, atau pakaian dalam.

Liu Ze (pria) dilarang tidur selama lebih dari 20 hari, dipukuli, dan dicaci maki di Kamp Kerja Paksa Pria Zhongba. Para pelaku membenturkan kepalanya ke dinding, mengakibatkan bengkak dan memar. Mereka memaksanya makan tinja. Pada akhirnya ia mengalami gangguan jiwa dan mulai memakan tinja.134

Liu Quanwang (pria) adalah seorang karyawan di Tambang Batubara Xiaolinghe di Provinsi Liaoning. Ketika ia menjalani hukuman dua tahun di Kamp Kerja Paksa Tuanhe Beijing, para penjaga memerintahkan narapidana untuk memblokir saluran pembuangan toilet dan meminta beberapa dari mereka buang air kecil di mangkuk. Kemudian para penjaga memasukkan kepala Liu ke dalam mangkuk dan meletakkan kaki mereka di atasnya, hampir mencekiknya. Ketika Liu melakukan mogok makan untuk memprotes penganiayaan tersebut, para penjaga mencekok paksa air selokan dengan kotoran manusia, menyebabkan ia muntah tak terkendali.135

§§4.4.5 Gigitan Hewan dan Serangga

Selama musim serangga dan nyamuk, korban diikat ke kursi di mana nyamuk dan serangga berkerumun. Korban menjadi sasaran gigitan serangga ini dalam jumlah besar sementara tidak bisa bergerak dan tidak mampu menggaruk gigitan atau mengusir serangga, membuat korban rentan terhadap penyakit yang dibawa oleh serangga.

Karena Xu Yushan (pria) menolak untuk melepaskan keyakinannya, seorang penjaga di Kamp Kerja Paksa Suihua mengoleskan air gula di sekitar alat kelaminnya dan menaruh banyak semut di area tersebut.

Jia Haiying (wanita) dari Mongolia Dalam pernah diikat ke pohon dekat kandang babi yang kotor pada malam musim panas yang lembab. Ia memakai celana pendek dan kemeja tanpa lengan, dan segerombol nyamuk serta lalat segera menutupi tubuhnya. Dengan tangan diborgol, ia tidak bisa bergerak atau mengusir serangga yang haus darah itu. Ia mengatakan penyiksaan itu benar-benar tak tertahankan.136

Hewan lain yang digunakan untuk menyiksa praktisi termasuk ular, kalajengking, tawon, laba-laba, tikus, kelinci, babi, dan anjing penyerang.137

§4.5 Membatasi Kebutuhan Dasar

Beberapa metode penyiksaan yang digunakan rezim komunis terhadap praktisi Falun Gong “tidak terlihat”. Metode itu antara lain membatasi kebutuhan paling dasar seseorang, termasuk makan, tidur, dan menggunakan kamar kecil. Penyiksaan ini biasanya dirancang untuk melemahkan tekad praktisi dan daya tahan mental mereka.

§§4.5.1 Tidak Diberi Makanan

“Mou Lunhui (pria) kehilangan kesadaran sebanyak lima kali dalam tiga hari karena dipukuli dengan brutal oleh para penjaga. Seolah itu tidak cukup, para penjaga hampir tidak memberinya makan selama tiga hari itu. Hanya sepuluh butir beras yang ia dapatkan untuk tiga kali makan setiap hari.”

“30 butir beras selama tiga hari” mungkin terdengar sangat kejam, tetapi itulah yang terjadi di Kamp Kerja Paksa Xishanping di Chongqing. Banyak praktisi lain yang ditahan di kamp kerja paksa yang sama dengan Mou juga menjadi sasaran “terapi lapar.” Meskipun mereka diberi sedikit lebih banyak makanan dari pada Mou, itu hampir tidak cukup untuk bertahan hidup.

Ketika para praktisi menjadi sangat lemah setelah satu periode “terapi lapar,”138 para penjaga kembali memberikan makanan dengan jatah normal supaya mereka tetap hidup. Namun, sebelum praktisi dapat pulih sepenuhnya, mereka kembali dipaksa menjalani “terapi lapar.”

Apa yang terjadi di Kamp Kerja Paksa Xishanping bukanlah fenomena tersendiri. Banyak fasilitas penahanan lainnya di seluruh Tiongkok juga diketahui menggunakan pembatasan makanan dalam upaya mereka untuk membuat praktisi melepaskan Falun Gong. Banyak praktisi mengalami komplikasi parah akibat penyiksaan ini. Seorang praktisi yang ditahan di Penjara Wanita Shanghai kehilangan sekitar 27 kg dalam enam bulan. Ia sangat lapar sehingga ia makan daun kubis busuk yang ia temukan di tempat sampah. Itupun segera diambil dan dipindahkan ketika penjaga menemukan bahwa ia telah menemukan sumber makanan.

Membatasi waktu makan adalah cara lain untuk mengurangi konsumsi makanan praktisi. Praktisi yang ditahan di Penjara Wumaping di Provinsi Sichuan diberi waktu 20 detik untuk menghabiskan semangkuk kecil nasi setiap kali makan dan hanya bisa menyaksikan penjaga merampas mangkuk mereka sebelum mereka benar-benar sempat makan.

Zhang Weijie (pria) disiksa dengan metode yang dijuluki “tiga-satu” saat ditahan di Penjara Fanjiatai di Provinsi Hubei. Ia hanya diperbolehkan tidur satu jam, satu kali ke toilet, dan satu suap makanan setiap kali makan setiap harinya.

§§4.5.2 Pelarangan Tidur

Kurang tidur yang berkepanjangan adalah bentuk penyiksaan yang sangat berbahaya yang memengaruhi fungsi mental dan fisik. Hal ini dapat menyebabkan gangguan mental yang serius atau halusinasi dan bahkan kadang-kadang bisa mengakibatkan kematian.

Li Xiuzhen (wanita) dilarang tidur selama 28 hari di Penjara Jinan. Ketika ia tidak bisa lagi membuka matanya, para pelaku menempelkan selotip di sekitar rongga matanya, satu ditarik ke atas dan satu ditarik ke bawah. Terkadang, mereka bahkan menggunakan ujung sapu untuk membuka kelopak matanya. Ia akhirnya meninggal pada Oktober 2009.139

Wang Yonghang (pria), seorang praktisi Falun Gong dan pengacara dari Kota Dalian, Provinsi Liaoning, membela beberapa praktisi Falun Gong yang didakwa dengan tuduhan yang direkayasa oleh rezim Tiongkok.

Ia ditangkap oleh lebih dari 20 petugas polisi pada Juli 2009 dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.

Untuk memaksanya melepaskan Falun Gong, para penjaga tidak mengizinkannya tidur selama 13 hari. Ia menceritakan penyiksaannya di bawah ini:140

Selama tiga hari pertama, saya tidak diberi makan apa pun dan hanya diizinkan ke toilet dua kali. Bagi saya, bagian yang paling sulit adalah rasa haus dan kantuk. Dua bola lampu bertegangan tinggi bersinar terang di depan saya membuat saya merasa makin haus. Para narapidana yang mengawasi saya siap meninju agar saya tidak tertidur. Suatu hari, seorang narapidana memukul punggung dan tulang rusuk saya ketika narapidana lain keluar. Saya pingsan karena rasa sakit yang luar biasa.

Mulai hari keempat, saya bahkan tidak diizinkan pergi ke toilet. Saya diizinkan untuk buang air kecil sekali sehari di kursi besi. Saya diberi 250 ml air setiap hari. Karena saya makan sangat sedikit, saya tidak buang air besar selama sepuluh hari berikutnya.

Karena semua pintu dan jendela ditutup, saya tidak bisa membedakan siang dan malam. Saya hanya memiliki gambaran kasar tentang jam berapa saat itu dengan mendengar langkah kaki para narapidana yang pergi bekerja di pagi hari dan kembali ke sel mereka di malam hari. Tetapi dalam beberapa hari saya menjadi sangat linglung sehingga saya bahkan kehilangan kemampuan untuk membedakannya lagi.

Awalnya, polisi datang dan menginterogasi saya. Kemudian mereka berhenti datang karena udara di dalam ruangan sangat busuk. Suatu hari mereka memasang kamera video sekitar satu kaki di depan wajah saya. Dengan begitu, polisi bisa melihat wajah saya dengan jelas dari kantor mereka. Tentu saja, kamera tidak menangkap narapidana yang duduk di sebelah saya dan yang memukul saya setiap kali saya memejamkan mata. Saya mengenakan sepasang kaus kaki wol tua. Beberapa hari kemudian, kaus kaki itu menjadi terlalu bau dan dibuang ke sudut ruangan.

Ketika merasa tidak bisa lagi menahan tidak tidur, saya berteriak, 'Falun Dafa Baik!' Pada saat itu, mereka menyumpal mulut saya dengan kain lap. Tapi narapidana Zheng Jie yang telah memukul saya sebelumnya selalu menggunakan kaus kaki bau saya sendiri untuk menyumpal mulut saya. Kaus kaki sangat rusak dan meninggalkan banyak serat di mulut saya. Karena saya tidak diberi cukup air untuk minum, mulut saya sangat kering dan bahkan tidak bisa meludahkan seratnya.

Sekitar enam hari setelah tidak tidur, saya mulai berhalusinasi. Suatu hari, pikiran saya menjadi kosong. Saya berusaha sangat keras untuk mengingat, tetapi saya tidak dapat memikirkan apa pun. Saya tidak dapat mengingat siapa saya atau apakah saya masih hidup. Saya benar-benar ketakutan dan mengalami gangguan mental.

Menurut apa yang dikatakan orang kemudian, saya berdiri, merusak borgol, dan mulai berteriak dan menjerit. Mereka memborgol saya ke bangku dan menyumpal mulut saya dengan kain lap. Saya tahu mereka ingin membuat saya gila. Saya tidak takut mati, tetapi saya takut menjadi gila. Jika saya menjadi gila, mereka akan memanfaatkannya untuk memfitnah Falun Dafa.

Setelah kejadian itu, saya menulis pernyataan jaminan bahwa saya tidak akan lagi berlatih Falun Gong, tetapi saya juga mengatakan bahwa jauh di lubuk hati saya, saya tidak akan pernah mengkhianati keyakinan saya. Mereka mengatakan bahwa selama saya menandatangani nama saya di pernyataan itu, mereka tidak peduli apakah saya di lubuk hati masih teguh pada keyakinan saya.

§§4.5.3 Tidak Diberikan Akses ke Toilet

Tidak diberikan akses ke toilet adalah jenis penyiksaan lain yang sering digunakan. Beberapa pusat penahanan membatasi waktu buang air besar hingga dua atau tiga menit. Orang akan dipukuli dengan kejam jika ia tidak berdiri ketika waktunya habis. Akibatnya, orang harus menahan buang air besar dan keluar dari kamar kecil.

Selain itu, praktisi terkadang hanya diperbolehkan menggunakan toilet sekali sehari untuk buang air kecil atau tiga hari sekali untuk buang air besar. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan dan memaksa korban untuk buang air kecil atau besar di celana.

Saat Liu Guihua (wanita) ditahan di Kamp Kerja Paksa Wanjia di Provinsi Heilongjiang, para penjaga mengikat tangannya dan menggantungnya terbalik selama dua hari. Ia tidak diturunkan bahkan ketika ia perlu ke toilet. Ia harus buang air kecil di celananya. Penjaga kemudian menurunkan celananya dan menyumpal mulutnya dengan celana yang kotor dengan air seni dan kotoran itu.141

Hu Ruilian (wanita), praktisi di Kota Leshan, Provinsi Sichuan, dicekok dengan air dalam jumlah besar dan tidak diizinkan menggunakan kamar kecil saat ditahan di Kamp Kerja Paksa Nanmusi di tahun 2001.142

§§4.5.4 Dilarang Mandi atau Membeli Kebutuhan Sehari-hari

He Lianchun (wanita) dari Provinsi Yunnan dijatuhi hukuman penjara pada 2001 dan sekali lagi pada tahun 2009 dengan total hukuman 17 tahun. Selain kekerasan fisik, penjaga juga menggunakan cara yang ‘lebih halus’ untuk menyiksanya, termasuk tidak mengizinkannya mandi atau membeli kebutuhan sehari-hari, seperti tisu toilet, pasta gigi, sabun, atau deterjen. Ia mengingat:143

Setelah tidak mandi selama berbulan-bulan, saya berbau terlalu buruk. Semua narapidana di sel mulai memaki saya. Saya memberi tahu mereka bukan saya tidak ingin mandi, tetapi penjaga tidak mengizinkannya. Para narapidana tidak tahan lagi dengan bau itu dan memohon kepada para penjaga. Penjaga akhirnya mengizinkan saya mandi sesekali. Karena saya tidak diperbolehkan membeli pembalut, saya harus menggunakan koran atau kertas lain yang bisa saya temukan ketika saya datang haid.

§4.6 Sengatan Listrik

Kedua tangan saya kemudian ditarik ke belakang melalui lubang di belakang kursi besi dan diborgol. Kedua ibu jari saya disambungkan ke elektroda yang terhubung ke sebuah genset untuk menyetrum saya. Saya disetrum dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore.

Beberapa waktu kemudian, seorang polisi menlepaskan elektroda dari ibu jari kanan saya dan menjepitkannya pada alat kelamin saya. Kemudian ia menghidupkan genset dan menyetrum saya selama lima atau enam jam lagi. Tubuh saya terus kejang dan jantung saya terasa sakit sekali. Saya merasa seperti akan mati.

Inilah yang dialami Yang Licheng, pria berusia 70-an, di Kantor Polisi Xingongdi di tahun 2009.144

Menyetrum praktisi dengan tongkat listrik dapat menyebabkan rasa sakit dan luka bakar yang parah. Penjaga sering menargetkan area sensitif korban, termasuk wajah, mata, leher, tangan, puting susu, dan alat kelamin. Selain tongkat listrik, beberapa penjaga menggunakan alat yang digerakkan dengan tangan untuk menghasilkan listrik, dan juga mengikat praktisi di kursi besi untuk meningkatkan rasa sakit.

Kasus 1: Wajah Cacat

Gao Rongrong (wanita), seorang akuntan di Kota Shenyang, Provinsi Liaoning, cacat karena disiksa dengan sengatan listrik selama tujuh jam. Wajahnya penuh dengan luka, dan rambutnya kusut dengan nanah dan darah. Ia hanya bisa membuka matanya sedikit karena wajahnya bengkak, dan mulutnya bengkak parah dan berubah bentuk.145

Kasus 2: Disetrum dengan Enam Tongkat Listrik 150.000 Volt

Mu Junkui (pria), pengusaha berusia 49 tahun di Kota Changchun, Provinsi Jilin, pernah disetrum dengan enam tongkat listrik 150.000 volt di sekujur tubuhnya. Tubuhnya terbakar parah. Rasa sakitnya begitu menyiksa sehingga ia merasa kepalanya akan meledak. Ia basah kuyup oleh keringat. Karena ia mengatupkan giginya dengan kuat ketika disetrum, semua giginya goyah, dan ia tidak bisa makan makanan yang keras selama lebih dari dua minggu.146

Kasus 3: “Saya Merasa Seperti Digigit Ular”

Zhao Yuhong (wanita) dari Kota Zhaoyuan, Provinsi Shandong, ditangkap pada tahun 2002 karena memasang stiker bertuliskan “Falun Dafa Hao (Baik).” Saat ditahan di Kantor Polisi Mengzhi, ia diikat ke kursi dengan tangan diborgol. Polisi menghubungkannya ke telepon engkol kuno untuk menyetrumnya. Saat mereka memutar gagang telepon dengan cepat, listrik mengalir ke seluruh tubuhnya dan ia merasa seperti digigit ular dan bola matanya seperti akan meloncat keluar.147

§4.7 Waterboarding dan Kekurangan Napas

Waterboarding, juga disebut simulasi menenggelamkan orang, adalah salah satu metode penyiksaan paling brutal yang dikenal umat manusia.

Di Kamp Kerja Paksa Masanjia di Provinsi Liaoning, anggota badan praktisi diikat dan mulut mereka disumpal dengan kaus kaki dan ditutup dengan selotip. Penjaga kemudian menuangkan air ke wajah mereka. Dengan mulut tertutup dan anggota badan terikat, korban hanya bisa bernapas melalui hidung yang kini berisi air. Ini dengan mudah menyebabkan kematian karena kekurangan oksigen, menyerupai mati tenggelam dalam air. Otak menjadi benar-benar kosong tidak dapat berpikir.

Kasus 1: Penyiksaan dengan Meneteskan Air

Taktik lain adalah dengan meneteskan air dingin ke atas kepala. Korban merasa sangat dingin pada awalnya dan kemudian menjadi mati rasa. Korban kemudian merasa seolah-olah tengkorak kepalanya terbelah dan otaknya dihantam. Jenis penyiksaan ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu lama, menyebabkan lebih banyak rasa sakit daripada hanya menuangkan air dingin ke orang tersebut. Taktik ini digunakan di Pusat Penahanan Hailin dan Pusat Penahanan Mudanjiang di Provinsi Heilongjiang.

Wang Xiaozhong (pria) dari Kota Mudanjiang disiksa dengan cara ini. Setelah ditangkap oleh polisi Yangming pada 17 Agustus 2001, ia dipukuli dan disetrum dengan tongkat listrik. Dengan memar dan luka di sekujur tubuhnya, polisi menahannya di pusat penahanan dan terus menyiksanya dengan air yang menetes. Ia meninggal 12 hari setelah ditangkap, hanya berusia 36 tahun.148

Kasus 2: Kepala Ditutup dengan Kantong Plastik

Penjaga terkadang menutupi kepala praktisi dengan kantong plastik atau selimut dan hampir membuat mereka mati kehabisan napas.

Zhang Shunhong (pria) dan istrinya dibawa ke Kantor Polisi Dongji di Kota Liaoyuan, Provinsi Jilin, pada 26 April 2006, dan diinterogasi dan disiksa selama 16 jam. Zhang mengalami luka terbuka di kepalanya yang mengeluarkan banyak darah. Petugas Jiang Yang terus menuangkan air dingin ke atasnya dan menggunakan kipas angin untuk meniupkan udara dingin kepadanya pada saat bersamaan. Zhang menggigil kedinginan. Petugas Jiang menyalakan seikat rokok dan mengikatnya ke rambut Zhang sehingga rokok itu menggantung tepat di depan hidungnya. Mereka kemudian menutup kepalanya dengan kantong plastik dan mengikatnya di lehernya. Zhang meninggal hari itu juga.149

§4.8 Sel Isolasi

Di bawah ini adalah salah satu contoh praktisi yang dikurung di sel isolasi: 150

Ada enam sel isolasi di Gedung Zonghe di Kamp Kerja Paksa Masanjia. Setiap sel berisi bangku besi dan hanya cukup untuk memuat satu orang. Praktisi yang dikurung di sel ini, tangan dan kaki mereka dibelenggu dan dipaksa duduk di bangku 24 jam sehari, dengan hanya dua kesempatan untuk menggunakan kamar kecil. Tidak ada pemanas di dalam sel, dan sangat dingin di musim dingin, namun penjaga penjara menolak pakaian tambahan yang diberikan keluarga praktisi.

Praktisi Wang Xueli (pria), ditahan di Grup 2, Tim 3, dikurung selama 10 hari. Ia menderita edema dan mengalami kesulitan berjalan; bahkan sekarang ia belum pulih sepenuhnya. Banyak praktisi mengalami gangguan mental. Beberapa bahkan menjadi koma.

Mereka yang ditahan di sel isolasi menghadapi isolasi yang berkepanjangan dan tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar, terkadang selama bertahun-tahun. Kebanyakan praktisi ditahan dalam posisi yang menyiksa hampir sepanjang waktu dan hanya diberi sedikit makanan.

Kasus 1: Pembekuan dan Kelaparan di Sel Isolasi

Xu Wenlong (pria), seniman berusia tiga puluh tiga tahun dari Provinsi Heilongjiang, ditahan di sel kecil sendirian selama lebih dari sebulan di Penjara Tailai, di mana ia diminta untuk menulis “laporan pemikiran” setiap hari.

Ketika Xu menulis “Saya tidak bersalah” dalam “laporan pemikiran”-nya pada 16 Januari 2013, penjaga Gao Bin memukul dan mengancam akan “menahannya di sel itu selamanya.”

Di kota Qiqihar, di ujung utara Tiongkok, suhu sering turun hingga -23° C pada bulan Januari. Tidak ada tempat tidur, selimut, atau bantal di sel kecil, dan Xu harus tidur di lantai semen yang dingin. Hanya mengenakan pakaian tipis, dengan tangan diborgol dan kaki dibelenggu, ia hanya bisa tidur untuk waktu yang sangat singkat karena kedinginan dan ketidaknyamanan.

Para penjaga hanya memberi Xu dua sendok sup mie setiap hari. Kelaparan segera menyebabkan sembelit parah. Berat badannya turun dengan cepat, dan ia sangat kurus saat dikeluarkan dari sel kecil itu. Gusinya terinfeksi karena tidak diperbolehkan menyikat gigi.151

 Kasus 2: Seperti Neraka

Hu Aiyun (wanita), praktisi dari Kota Harbin, Provinsi Heilongjiang, pernah diikat ke kursi besi dan ditahan di sel isolasi selama lebih dari dua bulan:152

Mereka memborgol saya di kursi besi. Kedua pergelangan kaki dan tangan saya diikat dan saya tidak bisa bergerak. Setelah beberapa saat, saya merasa sangat lemah. Saya kehilangan kekuatan. Lengan, tangan, dan kaki menjadi sangat bengkak. Kaki seperti roti kukus yang bahkan tidak muat untuk sepatu ukuran 43. Borgol logam di sekitar pergelangan kaki sudah menempel di daging. Yang paling menakutkan saya adalah rasa takut dan penderitaan. Pengekangan fisik total membuat saya gila. Saya mengalami depresi. Saya merasa dada sangat sesak dan saya hampir pingsan.

Untuk menambah penderitaan saya, para penjaga memutar musik rock dengan suara sangat keras. Agar mereka sendiri tidak mendengar kebisingan itu, mereka segera melarikan dirisetelah mereka menekan tombol. Musik yang memekakkan telinga membuat langit-langit dan lantai di ruangan itu bergetar. Kepala saya gemetar dan telinga saya berdenging. Jantung saya berdetak sangat kencang. Penderitaan ini sangat dahsyat sehingga pikiran saya menjadi kosong dan mati rasa. Saya merasa sesak napas.

Selama beberapa bulan saya ditahan di sel isolasi, mereka tidak mengizinkan saya mandi atau berganti pakaian. Para penjaga meletakkan pispot di sel untuk saya buang air kecil. Setelah beberapa hari, bau di sel sangat parah. Serangga, nyamuk, lalat, dan tikus berkeliaran di mana-mana. Tidak ada jendela di ruangan itu, tidak bisa melihat pemandangan langit biru atau menghirup udara segar.

Di malam hari, ketika semua orang sudah tidur, keheningan di sekeliling saya menjadi lebih menakutkan. Saya bertahan detik per detik, menggigil kedinginan. Malam hari luar biasa panjangnya.

Terdapat kudis di seluruh tubuh saya. Para penjaga kemudian menggunakan sendok besi tumpul untuk mengorek kudis di tubuh saya. Saya hampir pingsan karena kesakitan. Kaki saya tidak berhenti berdarah.

§4.9 Pemerkosaan, Pelecehan Seksual, dan Penghinaan Seksual

Bentuk penyiksaan lain yang secara konsisten digunakan terhadap praktisi Falun Gong adalah penghinaan atau penyerangan seksual. Ini sangat efektif untuk menghancurkan jiwa dan tekad para korban.

§§4.9.1 Penyiksaan Seksual terhadap Wanita

Perlakuan kejam termasuk pemerkosaan, menelanjangi mereka di depan penjaga laki-laki, memasukkan sapu atau sikat gigi ke dalam vagina, serta menyetrum vagina dan payudara dengan tongkat listrik. Banyak orang yang selamat dari perlakuan kejam tersebut mengalami trauma dan menderita rasa malu, kesedihan, dan ketakutan.

Kasus 1: Delapan Belas Praktisi Diperkosa Beramai-ramai oleh Tahanan

Satu kasus paling memilukan di Kamp Kerja Paksa Masanjia yang terkenal kejam, pada 19 April 2001, penjaga memasukkan 18 praktisi wanita ke dalam sel pria dan membiarkan tahanan pria memperkosa mereka beramai-ramai, yang menyebabkan kematian, cacat, atau gangguan jiwa pada para korban.153

Salah satu dari 18 korban, Yin Liping, mengatakan bahwa perasaan sedih dan malunya semakin parah ketika ia menyadari penyerangan itu telah direkam.154

Kasus 2: Wanita Lansia Diperkosa dan Vaginanya Disetrum

Zou Jin, mendekati usia 70 tahun, diperkosa oleh dua petugas tidak lama setelah ditangkap pada Februari 2001. Petugas kemudian memasukkan tongkat listrik ke dalam vaginanya dan menyetrumnya. Ia berteriak kesakitan. Para penjaga mengeluarkannya hanya setelah ia kehilangan kesadaran. Vaginanya berdarah dan bengkak, membuatnya sangat kesakitan. Zou tidak bisa duduk atau berjalan selama lebih dari sebulan.155

Kasus 3: Penjaga Menyemprot Alat Kelamin Wang Jinping

Penjaga di Penjara Wanita Provinsi Liaoning menginstruksikan narapidana untuk menarik kaki Wang Jinping lebar-lebar dan narapidana lain untuk menyemprot alat kelaminnya. Akibatnya, Wang tidak dapat buang air kecil dan tidak dapat mengontrol buang air besar. Kedua kakinya membengkak dan menghitam keungu-unguan.156

Kasus 4: Tahanan Memasukkan Cabai Pedas ke Vagina Zhang Shuxia

Zhang Shuxia berusia 60 tahun ketika dibawa ke Penjara Wanita Liaoning pada 2005. Polisi menginstruksikan dua tahanan untuk memasukkan cabai ke dalam vaginanya. Mereka juga memaksanya untuk minum air asin mendidih yang telah diberi cabai. Mereka menuangkan air cabai ke pantatnya dan kemudian memaksanya untuk minum air kotor itu.157

Kasus 5: Tongkat Kayu Tajam Ditusuk ke Vagina Wang Lijun

Wang Lijun disiksa di Kamp Kerja Paksa Dalian dengan tali tebal digosokkan bolak-balik ke alat kelaminnya. Penyiksaan ini terhadap Wang telah dilakukan sebanyak tiga kali. Para pelaku juga menggunakan tongkat kayu patah dengan ujung yang tajam untuk menusuk vaginanya, menyebabkan perut dan area genitalnya berdarah dan membengkak. Ia tidak bisa menarik celananya atau jongkok. Ia juga mengalami kesulitan buang air kecil.158

§§4.9.2 Penyiksaan Seksual Terhadap Pria

Banyak praktisi Falun Gong pria juga melaporkan bahwa mereka disiksa secara seksual saat mereka ditahan. Serangan terhadap praktisi laki-laki sering kali termasuk sengatan listrik, penyerangan pada alat kelamin mereka, dan rambut kemaluan mereka dicabuti.

Seorang penjaga di Penjara Benxi menyetrum penis Meng Xianguang dan berkata, “Saya akan membuat kamu tidak mempunyai keturunan.” Meng kejang-kejang karena sengatan listrik, dan para penjaga menertawakannya.159 Penjaga di Kamp Kerja Paksa Hegang mencubit dan menarik-narik penis Sun Fengli, yang kemudian menjadi bengkak parah dan sangat menyakitkan. Ia mengalami kesulitan buang air kecil dan berjalan. Ia dipermalukan oleh narapidana.160 Penjaga Zhao Shuang, di Kamp Kerja Paksa Changlinzi, memeras testis Zang Dianyong. Selangkangannya masih sakit bahkan setahun kemudian.161

Ketika Chen Shaomin (pria) menjalani hukuman di Kamp Kerja Paksa No.3 Provinsi Henan pada 2004, narapidana Nie Yong memasukkan penisnya dengan paksa ke mulut Chen dan mengancam akan kencing di mulutnya jika ia tidak berhenti berlatih Falun Gong.162

(Bersambung)

https://www.tiantibooks.org/collections/minghui-publications-featured/products/minghui-report-the-20-year-persecution-of-falun-gong-in-china-print?variant=40824205508713