(Minghui.org) Praktisi Falun Gong Mr. Huang Chaowu tinggal di Kota Ruichang, Provinsi Jiangxi. Dia telah dianiaya hingga sekarat di Kamp Kerja Paksa Majialong di Kota Jiujiang. Ayahnya dan mantan instruktur Kantor Polisi Kabupaten Ruichang, Huang Shaojing, memberikan uang jaminan agar korban dapat dirawat di rumah. Para petugas dari kamp kerja paksa sering datang ke rumah korban untuk mengganggu. Praktisi Huang menjadi sangat kurus dan lemah.

Pada 9 Mei 2007, lima petugas dari Kantor Polisi Kota Ruichang cabang Matou, bertindak atas dasar laporan bahwa Mr. Huang Chaowu tengah menganjurkan orang-orang untuk mengundurkan diri dari PKC, menerobos masuk ke rumah praktisi Huang dan menangkapnya. Di kantor polisi, Huang dikelilingi dan dipukuli oleh para petugas, dan tangannya diborgol hingga berdarah. Ia dibawa ke Pusat Penahanan Wanbaoshan di Kota Ruichang, dijatuhi hukuman dua tahun kamp kerja paksa, dan dipindahkan ke Kamp Kerja Paksa Majialong.

Untuk memaksa Mr. Huang melepas keyakinannya pada ‘Sejati-Baik-Sabar,’ sipir Ke Hua dan lainnya mendorong para tahanan pecandu narkoba untuk memukuli praktisi Huang dengan imbalan pengurangan masa tahanan mereka. Mereka memberitahu para pecandu obat-obatan, ”Pukuli dia sampai meninggal. Jangan memukul pada bagian tubuh yang terbuka; hanya pada bagian tubuh yang tersembunyi.” Perlakuan kasar ini telah membuat korban banyak kali berada di ambang kematian tahun lalu.

Pada 21 Agustus 2008, Istri Mr. Huang menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa suaminya disiksa hingga sekarat oleh para sipir di kamp kerja paksa. Dia mengundang saudari praktisi Huang dan ayah korban yang sudah berumur 83 tahun untuk menemaninya mengunjungi Mr. Huang di Majialong pada 22 Agustus 2008. Namun otoritas Kamp Kerja Paksa Majialong menolak kunjungan mereka, dengan alasan bukan hari kunjungan. Mereka masih terus menolak bahkan setelah pihak keluarga mengajukan permohonan secara berulang-ulang. Pada akhirnya, istri Mr. Huang berkata kepada mereka, ”Sangatlah sulit bagi kami untuk datang ke sini, tolong biarkan ayahnya menemuinya.” Mereka akhirnya menyetujuinya.

Ketika ayah Mr. Huang melihat kondisi putranya, ayahnya sangat terpukul. Huang terbaring tak sadarkan diri di atas papan kayu. Ayahnya tidak dapat menahan kemarahannya dan dengan seketika menuntut, ”Lihat apa yang telah kalian lakukan pada dia! Kalian harus melepaskannya sekarang. Saya akan membawanya pulang.” Dalam situasi seperti itu, kamp kerja paksa setuju untuk membiarkan Mr. Huang kembali ke rumah selama satu bulan untuk perawatan, tetapi dengan berbagai syarat. Mereka meminta ayah Mr. Huang menulis surat jaminan yang menyatakan ”menjamin Mr. Huang Chaowu tidak lagi belajar ceramah-ceramah Falun Gong, tidak melakukan latihan Gong, bertemu dengan praktisi lain atau mengungkap kasusnya.” Demi menyelamatkan nyawa putranya, sang ayah menyetujui semua persyaratan tersebut.

Setelah Huang Chaowu kembali ke rumah, sang istri merawatnya dan ia mendapatkan kembali kesadaran seminggu kemudian. Tetapi ia sehari-hari masih tidak mampu mengurus dirinya sendiri, sehingga kamp kerja paksa memberikan perpanjangan cuti sakit sebulan lagi. Di bulan pertama, para sipir dari Kamp Kerja Paksa Majialong datang ke rumah Mr. Huang sebanyak empat kali, mencoba untuk membawa Mr. Huang kembali ke kamp. Suatu hari, ketika anggota keluarganya tidak ada di rumah, para sipir menggunakan kunci khusus untuk membuka pintu dan menerobos masuk. Namun, mereka tidak bisa membawa Mr. Huang, karena korban masih berada dalam kondisi kritis.

Sebelum memasuki kamp kerja paksa yang terakhir kalinya, Mr. Huang pernah ditangkap dan dianiaya beberapa kali. Pada 3 Desember,2003, ia ditangkap ketika tengah membagi-bagikan materi klarifikasi fakta. Mr. Huang melakukan 15 hari mogok makan untuk memprotes penganiayaan ketika berada di Pusat Penahanan Kota Ruicang. Setelah itu, dia dihukum di kamp kerja paksa Jiujiang selama satu tahun sepuluh bulan (dengan perpanjangan satu bulan masa tahanan). Di Kamp Kerja Paksa Jiujiang, di bangsal ketiga, dia dipaksa menulis sebuah pernyataan bertobat. Ia kemudian melakukan mogok makan dan akibatnya dipaksa makan oleh para sipir yang bermarga Chen dan lainnya. Dua gigi bawahnya rontok dalam proses tersebut. Para sipir tidak membiarkan dia tidur dan pagi harinya korban harus melakukan kerja paksa dan mengikuti sesi indoktrinasi. Setelah itu, sipir bermarga Chen memindahkan Mr. Huang ke bangsal kedua. Sipir bermarga Deng mencoba memaksanya untuk menulis ”pernyataan bertobat,” tapi praktisi Huang menolaknya, mempertahankan pendapatnya bahwa mengikuti prinsip ‘Sejati-Baik-Sabar’ tidaklah salah. Sipir penjara menghasut para tahanan untuk melakukan sesi cuci otak pada Mr. Huang, memaksa korban menghadap ke tembok, sambil memborgol tangannya ke jendela dengan kaki tidak menyentuh lantai. Pada saat itu, Mr. Huang jatuh pingsan, lalu mereka menyiramkan air dingin padanya. Tangan Mr. Huang diborgol sampai sore hari. Tangan-tangannya membengkak dan mati rasa dengan lepuh-lepuh kuning, korban menggigil dan kakinya juga bengkak. Dia dibawa ke rumah sakit untuk perawatan dan harus membayar sendiri biaya perawatannya.

Setelah dua puluh hari perawatan, kondisinya sedikit lebih baik. Mr. Huang mempunyai banyak luka pada tangan-tangannya, jari-jarinya berubah bentuk dan sulit untuk berjalan. Para sipir mengabaikan kondisi praktisi Huang dan bahkan menambah masa tahanan satu bulan sebelum melepaskannya. Para sipir mengancamnya dan berkata, ”Kamu lebih baik tidak cerita tentang pengalamanmu di kamp kerja paksa pada yang lain.”

Ke Hua, sipir Kamp Kerja Paksa Majialong: 86-13879209877 (HP)

Chinese: http://minghui.ca/mh/articles/2008/10/19/188035.html
English: http://www.clearwisdom.net/emh/articles/2008/10/27/101787.html