(Minghui.org) Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan pulang setelah mengikuti kegiatan Dafa di kota lain, saat menunggu di bandara, saya melihat sekelompok atlet muda sedang menunggu pesawat mereka. Saat itu ruang tunggu bandara penuh sesak, karena cuaca buruk di pagi hari, membuat banyak penerbangan mengalami penundaan jadwal.

Setelah berputar sejenak meluruskan pinggang, saya duduk di sebelah seorang atlet muda. Saya tersenyum dan dia langsung menyapa, “Mau kemana?” Saya langsung teringat para makhluk sedang menantikan Dafa. Maka setelah bertukar beberapa kata sopan santun, brosur Falun Dafa pun saya berikan dan pembicaraan beralih dari topik olah raga ke Falun Dafa.

Dalam hitungan menit, pesawatnya melakukan panggilan ‘boarding’. Kemudian saya memalingkan kepala ke arah seorang bapak di kanan saya. Saya senyum, kami pun terlibat dalam dialog. Saya membiarkan bapak itu bercerita terlebih dahulu, ternyata dia seorang pejabat di kantor pajak. Menunggu momen yang tepat, saya mulai menuntun pembicaraan ke topik Falun Dafa dan seterusnya. Setelah kata-kata penjelasan diucapkan, pesawat kami melakukan panggilan untuk ‘boarding.’ Kami pun berpisah.

Sekilas balik - sebelumnya ada kejadian ‘aneh’ dalam perjalanan menuju ke kota tempat kegiatan. Rekan praktisi dan saya memperoleh nomor kursi 31, sementara pesawat hanya memiliki 30 baris kursi. Maka 6 orang penumpang yang memiliki tiket dengan nomor kursi 31, terpaksa menunggu di ujung belakang badan pesawat. Saat menunggu, saya melihat seorang pemuda Tionghoa tersenyum simpul, saya pun tersenyum balik kepadanya. Sementara beberapa penumpang kursi 31 mulai mengeluh, saya memancarkan pikiran lurus ke arah pemuda Tionghoa tersebut. Ketika dia kembali menoleh, saya berikan brosur Falun Dafa yang segera ia baca. Setelah beberapa saat membacanya, dia mengangguk dan wajahnya terpancar rasa terima kasih. Hanya dalam hitungan menit, pramugari memanggil kami yang belum memiliki tempat duduk, agar menuju baris tengah.

Demikian singkat perjumpaan kami, entah, apakah akan ada perjumpaan kedua bila saya tidak segera berikan brosur kepadanya?

Berbicara perjumpaan kedua, dalam perjalanan pulang, saat ‘boarding’ duduklah saya di sebelah seorang pria. Saya tersenyum, dia pun bertanya, “Anda berangkat hari Jum’at yah?” Saya balik bertanya, “Wah kog tahu?” “Kita juga satu pesawat saat berangkat,” ujarnya. Maka saya pun berpikir, anda berjodoh dengan Falun Dafa. Benar saja, pandangan pria asal Medan itu ternyata negatif terhadap Dafa, karena mendengar Dafa dilarang di negeri asalnya. Brosur klarifikasi pun saya berikan, tetapi belum selesai membaca, pesawat harus lepas landas. Dia segera tertidur, saya pun demikian. Setelah terjaga, saya sedikit gelisah karena dia masih berpikir negatif tentang Dafa alam semesta ini. Saya memancarkan pikiran lurus, pria itu masih terus terlelap. Saya mungkin juga kurang tenang, terlalu bersemangat ingin membangunkan jiwanya yang terlelap. Ketika pesawat mengumumkan untuk mengencangkan ikat pinggang, saya semakin gelisah melihat pria ini terus tertidur. Saya terus memancarkan pikiran lurus, akhirnya dia pun terbangun. Dan tanpa perlu saya membuat upaya, dia langsung kembali pada pokok bahasan mengenai Falun Dafa. Akhirnya, setelah mendengar penjelasan, dia berkata sambil mengangguk, “Saya sekarang paham.” Pesawat tidak lama kemudian mendarat dengan mulus di landasan.

Keluar dari bandara, saya naik bus untuk pulang ke rumah. Saya sengaja duduk di bangku bagian dalam dengan tas saya letakkan di kaki, sehingga orang yang memerlukan kursi dapat duduk di samping saya. Ternyata seorang dokter setengah baya yang sangat santun, duduk di samping saya. Meskipun beberapa konsep pribadinya sedikit menghambat penerimaannya terhadap Dafa, namun saya merasa secara keseluruhan dia dapat merasakan kebaikan dan kebenaran Dafa ini. Ada kata-katanya yang membuat saya harus mencari ke dalam, “Kalau baik, tidak perlu diceritakan - orang juga akan tahu.” Saya menjawab justru propaganda fitnahan partai xx sudah meresap ke banyak orang, terutama orang Tionghoa. Maka kami praktisi Falun Dafa, dari hati ke hati hanya ingin mengutarakan bahwa Falun Dafa bukanlah seperti yang dituduhkan. Dan saya juga ceritakan banyak orang Tionghoa yang memiliki kesalahpahaman terhadap Falun Dafa. Sebelum terminal, dokter itu harus turun terlebih dahulu, dia berkata sambil tertawa, “Kalau begitu brosur ini akan saya berikan ke teman Tionghoa saya.”

Saya ikut bus hingga terminal. Di dekat terminal ada sebuah supermarket di mana istri saya menunggu. Dari terminal saya pun berjalan kaki ke arah supermarket. Di tengah perjalanan, saya melihat sebuah rumah makan kecil ‘Pempek Palembang’. Pemiliknya, seorang pria Tionghoa setengah baya tampak muram, tidak ada pengunjung di rumah makannya. Saya pun masuk dan berikan dia sebuah brosur dan katakan Falun Dafa baik. Saya sungguh berharap dia akan mendapat masa depan yang baik.

Demikianlah perjalanan baru-baru ini setelah mengikuti kegiatan Dafa. Saya merasakan Shifu kita secara cermat dan belas kasih mengatur setiap langkah kita. Kita hanya perlu memunculkan tekad untuk menyelamatkan para makhluk dan percaya pada pengaturan Shifu, maka beliau serta para dewa pelindung Fa akan mengatur yang terbaik.

Ketika hendak menutup artikel ini, saya teringat kata-kata dokter itu, “Kalau baik, tidak perlu diceritakan - orang juga akan tahu.” Dalam konteks klarifikasi ketika Dafa tengah dianiaya, saya tidak terlalu memikirkan kata-katanya - tetapi karena saya juga tengah mengultivasi diri, kata-kata ini kembali mengingatkan saya agar melepaskan keterikatan pamer maupun bergembira hati. Dalam proses menulis saya merasakan masih banyak konsep dan keterikatan hati yang perlu dilepaskan.

Rekan-rekan praktisi, demikian pengalaman dan pemahaman saya yang terbatas, saya sharingkan dengan harapan kita semua dapat meningkat bersama-sama. Mohon tunjukkan yang tidak sesuai Fa. Terima kasih.