(Minghui.org) Jangan coba mencari nama desa Bilukan di peta pulau Bali. Anda bisa kecewa karena sia-sia membuka mata lebar-lebar namun tak menemukannya. Bilukan adalah desa di pedalaman pulau Dewata, termasuk dalam wilayah kecamatan Tegallalang di kabupaten Gianyar. Posisinya di ujung Utara, lebih dekat ke Kintamani.


Sejak tiga tahun lalu sejumlah warga desa Bilukan telah berlatih Falun Dafa. Di desa ini, para praktisi Falun Dafa adalah petani. Ada juga yang bekerja membuat kerajinan golek, kerajinan kayu albesia berupa boneka Pinokio, Mickey Mouse, kucing, ayam, dan lain-lain.


Pinokio dan Mickey Mouse made in Bilukan


Hingga hari ini, mereka tetap giat berlatih Falun Dafa dua kali seminggu. Latihan pagi berlangsung setiap hari Rabu. Sedangkan latihan sore diadakan setiap hari Senin. Latihan hari Senin sore ini juga diikuti oleh anak-anak yang bergabung dalam Sekolah Minghui. Di luar jadwal rutin ini, mereka juga pergi berlatih di desa tetangga, Pupuan, atau di pura Gunung Kawi-Sebatu dan Ubud.

Saat koresponden KebijakanJernih.net bertandang ke desa Bilukan, beberapa praktisi tengah bekerja. Berikut ini penuturan sejumlah praktisi mengenai kisah kultivasi mereka serta manfaat nyata yang mereka peroleh setelah berlatih Falun Dafa.

Wayan Reden (35), pengrajin golek merangkap petani. Sebelum berlatih Falun Dafa ia menderita berbagai macam penyakit yang membuat rambutnya rontok. Kini kepalanya plontos tak berambut, ia selalu mengenakan topi untuk menyembunyikan kepala gundulnya. Ia telah berobat ke dokter dan dukun, namun hasilnya nihil. Dulu ia mudah naik darah dan mengamuk, setiap orang di dekatnya pasti kena labrak amarahnya. Sebelum berumah tangga, ia seorang penakut, tidur pun harus dijaga oleh adik laki-lakinya.  Kini semua sifat buruknya telah hilang setelah berlatih Falun Dafa. Ia tidak takut lagi, juga tidak pernah marah-marah seperti dulu.

Bapak tiga anak ini juga bercerita tentang penyakit amandel parah yang pernah di deritanya. Bulan Oktober 2008, ia menderita amandel. Saat itu istrinya belum ikut berlatih Falun Dafa dan memaksanya berobat. Bukan sembuh, tapi sebaliknya amandelnya semakin parah. Hidupnya sungguh tersiksa. Di samping menahan rasa sakit, ia juga tidak bisa makan dan minum. Atas desakan istrinya, ia pun opname di RSU Gianyar dan hendak dioperasi. Namun hal itu urung terlaksana karena tidak ada jadwal operasi. Ia sendiri gelisah selama berada di rumah sakit. Akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah. Pada saat ke luar hendak pulang, di depan rumah sakit sedang menunggu dua tukang ojek yang siap mengantarkannya kembali ke kampung. “Aneh sekali!,” katanya tentang tukang ojek, “Kok mereka sudah ada di sana untuk saya?” tanyanya heran.

Tiba di rumah ia mengambil buku Zhuan Falun dan menghabiskan waktunya dengan membaca dan melakukan latihan gerakan serta meditasi. Tak lama kemudian  amandelnya hilang. Setahun kemudian  amandelnya muncul kembali, kali ini di sebelah kiri. Ia sepenuhnya sadar akan penderitaan yang harus ditanggungnya. Akhirnya amandelnya pecah sendiri berupa cairan seperti air liur yang keluar dari mulutnya.

Kini Wayan Reden sepenuhnya sehat dan bisa bekerja dengan normal. Ia merasa beruntung mendapatkan Fa dan berlatih Falun Dafa. Dulu anak-anaknya sering sakit-sakitan. “Anak-anak dan keluarga saya sekarang sehat semua,” katanya menutup cerita. Istri dan anak-anaknya sekarang juga berlatih Falun Dafa.




Dua pasang suami-istri praktisi pengrajin golek sedang bekerja


Ni Nyoman Inul (44), ibu rumah tangga merangkap petani. Sebelum berlatih Falun Dafa tiga tahun lalu, hidupnya selalu gelisah. Badan terasa panas, sering kali ia tidak bisa tidur di malam hari. Agar bisa memejamkan mata, ia harus merebahkan diri di lantai rumah untuk melawan panas yang menyerang tubuhnya. Demi memperoleh kesembuhan, ia sudah berkeliling dari satu dokter ke dokter lain, dari satu dukun ke dukun lainnya. Dokter mengatakan ia menderita penyakit serangan jantung. Sedang dukun mengatakan sakitnya karena serangan ilmu hitam dari orang lain.

Ia tidak ingat berapa lama menderita seperti itu. Yang pasti ia ingat betul saat adik iparnya memberitahu ada latihan meditasi Falun Dafa di lapangan Mumbi, desa tetangga. Adik iparnya juga yang membelikan buku Zhuan Falun untuknya. Ketika pertama kali membaca buku Zhuan Falun, kepalanya terasa pusing. Pada saat itu juga ia dilanda rasa takut yang membuatnya berhenti membaca. Namun karena dorongan teman-teman di sekitarnya yang sama-sama baru berlatih, ia kembali membaca dan mengikuti latihan bersama dengan praktisi lainnya.

Ketika selesai berlatih yang pertama kali, ia mengeluarkan darah saat buang air besar. Ia memahami itu sebagai pemurnian tubuh, seperti yang ia baca di dalam buku Zhuan Falun. Baginya, membaca buku dan berlatih bukanlah hal yang mudah. Ia harus menguatkan tekad dan menerobos berbagai rintangan yang menghalangiya. Satu kali ketika berlatih di pura Gunung Kawi – Sebatu, ia menjerit karena tidak kuat menahan rasa sakit. Kini apapun yang ia alami dipandangnya sebagai peristiwa baik.

Ibu dua anak dan nenek satu cucu ini selalu berlatih bersama teman-teman praktisi di desanya, hari Senin dan Rabu. Ia mengaku dulu sangat egois, selalu merasa benar sendiri. Sekarang ia bisa bersikap lebih sabar. Suami dan anak-anaknya tidak berlatih namun mereka sepenuhnya memberi dukungan kepadanya. Dengan kemampuan yang terbatas, ia juga berusaha melakukan klarifikasi fakta dan menyebarkan brosur Falun Dafa kepada orang-orang di desanya.

Ni Made Mupu (35), ibu rumah tangga dan petani. Dulu kakinya terasa sakit saat berjalan, dan terasa panas di malam hari. Setiap bulan ia harus mendapatkan dua kali injeksi untuk melawan sakitnya. Menurut dokter, ia menderita penyakit syaraf. Sedangkan dukun mengatakan ia kena serangan ilmu hitam. Setelah berlatih Falun Dafa selama dua tahun, penyakitnya semakin berkurang. Sekalipun terkadang masih muncul, namun ia mampu bertahan, masih bisa melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia tidak lagi pergi berobat atau ke dukun. Ibu dua anak ini berusaha membaca buku Zhuan Falun semampunya dan berlatih Gong bersama praktisi di desanya. Dulu ia mudah terpancing emosi dan sering bertengkar dengan suaminya. Kini bila suaminya marah-marah, ia hanya berdiam diri tidak menanggapinya. Ia menjadi wanita yang lebih sabar dari pada sebelumnya.

Made Bukti (40) dan Made Wirni (32), suami-istri pengrajin golek. Made Bukti telah berlatih Falun Dafa selama tiga tahun, sedang istrinya baru sekitar setahun terakhir ini. Suatu malam, Made Bukti mengalami sesak napas dan tidak bisa tidur. Ia mengajak istrinya melakukan latihan bersama. Setelah selesai latihan sekitar satu setengah jam, dadanya terasa ringan, ia pun bisa tidur dengan nyenyak.

Made Wirni mengaku menderita penyakit flu yang berkepanjangan. Dulu ia rajin mengunjungi dokter untuk berobat. Setelah berlatih Falun Dafa, ia memiliki pemahaman berbeda tentang penyakit. Sekarang bila ia merasa tidak enak badan, ia mengerti saat itulah tubuhnya sedang dimurnikan. Maka ia segera membaca buku Zhuan Falun. Ketika bertutur kepada koresponden Kebijakan.Jernih.net, wajah  ibu dua anak ini terlihat cerah. Ia tampak tenang walau dua bulan lalu kehilangan anak keduanya, seorang remaja putri yang pergi untuk selamanya. Ia tidak lagi larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Bersama suami dan putranya, ia bertekad untuk berkultivasi dan berlatih Falun Dafa dengan baik.

Ni Made Suma (30), ibu rumah tangga dan petani. Ia telah berlatih Falun Dafa selama dua tahun. Ia menderita sakit perut yang tembus hingga ke punggung belakang disertai rasa pusing. Ia menduga ini disebabkan saat mengandung anak kedua pernah terjatuh dari sepeda, saat itu kandungannya baru berusia dua bulan. Ia tidak bisa melakukan apapun ketika rasa sakit itu datang menyerang. Sebelum berlatih Falun Dafa, ia mencari berbagai cara pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Dokter dan dukun sudah dicobanya, tapi penyakit itu tidak kunjung pergi. Dokter mengatakan ia sakit kronis tahunan, sedang dukun mengatakan karena serangan ilmu hitam. Setelah berlatih Falun Dafa, ia merasa tercerahkan karena mulai mengerti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Kini ketika perutnya sakit, ia bisa bertahan sambil tetap bekerja seperti biasa. Ia membaca buku Zhuan Falun setiap hari dan tetap giat berlatih Gong bersama praktisi di desanya.

Ni Nyoman Senin (24), ibu rumah tangga dan pengrajin golek. Ia menderita rematik dan migraine (sakit kepala) parah. Sebelum berlatih Falun Dafa, ia harus pergi berobat ke dokter setiap dua puluh hari sekali. Ia juga pergi ke dukun, tetapi percuma karena penyakitnya tidak sembuh. Setelah berlatih Falun Dafa selama dua tahun, kesehatannya semakin membaik. Penderitaannya tidak separah sebelumnya. Dulu ia sulit tidur di malam hari karena seluruh badan terasa sakit. Sering kali ia harus minta tolong pada suami untuk menginjak-injak punggungnya sebelum tidur. Sekarang ia bisa tidur dengan tenang.

Walau secara berkala penyakit itu masih datang, namun ia tidak menggubrisnya. Saat mengalami penderitaan ia mengerti bahwa sedang membayar karma. Maka ia tetap bertahan, melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Ia  membaca buku Zhuan Falun setiap hari dan berlatih bersama teman-teman praktisi. Ibu dua anak ini merasa beruntung mendapatkan Fa dan berlatih Falun Dafa. Falun Dafa telah memberinya pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan. Kini ia sepenuhnya mengerti makna keberadaan dirinya di dunia dan tujuan hakiki hidup manusia. Bersama suami dan anak-anaknya, ia mengatakan tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk sungguh-sungguh berlatih dan berkultivasi.


Latihan Gong di pagi hari


Ni Wayan Cari (36), ibu rumah tangga dan petani. Ia mengenal Falun Dafa tiga tahun lalu saat ia putus asa karena menderita penyakit aneh. Orang Bali mengatakan ia menderita penyakit ‘Ceroncong Polo.” Ia merasa kepalanya kosong tak berisi. Ia telah pergi ke banyak dokter dan dukun, namun sia-sia semua. Terakhir ia dianjurkan opname di rumah sakit di Tampak Siring. Namun karena biaya pengobatan yang mahal, ia memutuskan pulang ke rumah. Kebetulan ada orang yang berlatih Falun Dafa di desanya. Ia pun memutuskan ikut berlatih. Setelah berlatih Falun Dafa, ia tidak lagi berpikir tentang penyakitnya. Ia terus membaca buku Zhuan Falun dan berlatih bersama teman-teman praktisi. Sekarang, ia telah sehat, sembuh dari penyakit “Ceroncong Polo.” Kata ‘penyakit’ kini sudah terhapus dari kamus kehidupannya. Bila ia merasa tidak enak badan, baginya itu adalah membayar karma dan tubuhnya sedang dimurnikan. Apapun masalah yang dihadapi, ia menemukan jawabannya ketika membaca buku Zhuan Falun.

Sekitar dua minggu lalu, ia mengalami kejadian aneh dan ajaib. Suatu malam sekitar pukul 19.30, ia mulai membaca buku Zhuan Falun. Ketika itu anak bungsunya, Ni Ketut Suningsih (7) yang duduk di kelas 1 SD menghalanginya membaca buku Zhuan Falun. Namun ia tidak mempedulikan gangguan dari anaknya itu, ia tetap membaca. Sementara itu anaknya sambil tiduran menutup kedua telinganya dengan tangan. Itu isyarat ia tidak mau mendengar suara ibunya yang sedang membaca buku Zhuan Falun.

“Meme da memaca, icang bongol ne!” teriak anaknya. Bahasa Bali itu berarti, “Ibu jangan membaca, aku tuli nih!”

Keesokan harinya,  anaknya tidak bisa menangkap apapun yang ia diucapkan. Anaknya benar-benar tuli. Lalu ia menasihati anaknya agar tidak mengganggu saat ia membaca buku Zhuan Falun.

“Nyai setata keto yen meme memaca. Ne suba akibatne nyai ngulgul meme. Mani yen meme memaca dingehin nah!” begitu ia menasihati anaknya. Dalam bahasa Indonesia, “Kamu selalu begitu kalau ibu membaca. Beginilah akibatnya kamu mengganggu ibu. Lain kali kalau ibu membaca, kamu ikut mendengarkan ya!”

Dua hari sesudah itu, anaknya bisa mendengar kembali secara normal. Sikapnya pun kini berubah, ia tidak lagi menghalangi dan mengganggu ibunya ketika membaca buku Zhuan Falun. Ia bahkan berada di samping ibunya, ikut mendengarkan ibunya yang sedang membaca.