(Minghui.org) Sebagai praktisi xiulian, kita semua mengetahui “tak ada yang kebetulan”, semuanya dipergunakan untuk mengungkap keterikatan hati kita, untuk dikenali dan dilepaskan. Hal ini sangat penting untuk peningkatan kita.

Hanya saja, benarkah kita memahami tak ada yang kebetulan dalam apa pun yang dialami? Tak ada yang kebetulan dalam apa pun yang kita lihat dan dengar? Di sini saya mencoba sharing, pemahaman sebagai praktisi dalam memahami bahwa “tak ada hal yang kebetulan”.

Kita kadang-kadang atau seringkali, dalam perjalanan xiulian kita ini, selalu dihadapkan pada apa yang kita pahami dari Fa ini dengan apa yang kita ketahui atau yang diketahui oleh orang umum. Saat kita dihadapkan pada suatu kejadian, yang manakah yang akan kita yakini, Fa inikah atau pengetahuan dan logika umum. Kita diuji di sana. Seperti Hong Yin Shifu:

“Benarkah ? Misterikah? Kultivasikah?
Ayun dan Goyang Menuju Kesempurnaan”

Saya teringat kejadian Desember tahun lalu, saat saya terjatuh dari motor. Sendi pergelangan tangan kanan saya bergeser dan tulang lengan bawah saya patah. Dislokasi dan fraktur, yang disebut juga Galeazi Fraktur. Dalam bahasa umum ini disebut ‘keseleo’ dan patah sekaligus.

Saat melihat hasil rontgen, teman sejawat saya, ahli bedah tulang, berkata dengan yakin, “Ini adalah fraktur dan dislokasi sekaligus, harus pasang pen (besi untuk menfiksasi tulang agar tidak bergeser/bergerak) kalau tidak - tak akan sembuh, cacat.”

Saya tahu apa maknanya itu. Sebagaimana juga saya tahu dengan jelas, apa artinya pergelangan tangan kanan bagi saya. Bagi masa depan saya. Sebagai “calon dokter anestesi” bagaimana mungkin saya bisa memasang infus, intubasi (pipa nafas), spiral dan epidural (bius separuh badan) dan lain-lain kalau tangan saya tak bisa dipergunakan? Jelas tidak bisa.

Operasi, dalam hal seperti ini, bagi dunia medis kedokteran sesuatu yang tak bisa ditawar. Telah banyak kejadian, pasien menolak operasi, mencari pengobatan alternatif, lalu beberapa waktu kemudian datang lagi dengan kondisi yang lebih parah. Dan operasi saat itu hanya bisa memulihkan kurang dari 100%, entah itu 90%, 80% atau bahkan lebih buruk.

“Operasi sekarang juga dan besar kemungkinannya pulih 100%. Kalau tidak, cacat.” Begitu kata rekan dokter bedah tulang tersebut.

Saya menolak, saya yakin, sebagai praktisi ini bukan kebetulan. Bukankah hal ini adalah pembayaran karma. Dan bukankah membayar karma, menanggung penderitaan adalah baik?

“Tapi kamu kan dokter? Masa dokter begitu? Masa dokter tidak percaya dengan medis?” begitu desakan teman saya.

“Bukannya saya tak percaya dengan medis. Kalaulah yang mengalami hal ini orang lain, bukan saya sendiri, atau saya sendiri tapi saya bukan praktisi, saya akan mau operasi. Saya akan lakukan ini tapi karena saya praktisi Falun Dafa, orang xiulian, saya tak mau operasi.”

“Lalu kamu mau apa? Urut ke dukun patah?“

“Tidak, saya tak akan mencari pengobatan aternatif.”

“Lalu apa?”  dia mendesak.

“Saya akan latihan Gong Falun Dafa.”

“Ok, setidaknya pasang gips.”

“Gipsnya bisa dibuka tidak?” Saya bertanya. Pertanyaan konyol sebenarnya, mana boleh gips dibuka pasang?”

“Tentu saja tidak, kecuali gips separuh. Sebagian dibalut verban sehingga bisa dibuka.”

“Kalau begitu yang itu saja,” kata saya.

“Kamu yakin?” Dia balik bertanya. Bagaimana mungkin akan sembuh, bila dislokasi sendi (keseleo) atau patah akan bersambung kalau tidak dikembalikan ke posisinya dan dipertahankan dengan besi (pen) atau setidaknya dengan Gips.

“Yakin,” kata saya.

Dengan berat hati teman saya memasang gips separuh. “Ini adalah fraktur dan dislokasi, tanpa fiksasi yang benar dengan besi, dia akan lepas lagi.” Dia masih mencoba meyakinkan saya.

“Saya mengerti.”

“Ah...” Ekspresi kesakitan tanpa sadar muncul saat tangan saya diposisikan.

Dia berhenti, “Setidaknya minum obat penghilang sakit.”

Saya menggeleng.

Dia pun menggeleng, sambil membalut lengan saya.

Tak berapa lama berselang, senior saya datang.

“Ok, kamu mau istirahat?”

Saya mengangguk.

“Berapa lama?”

Saya terdiam. Saya memang yakin akan sembuh. Tetapi butuh waktu berapa lama?

“Masalahnya kamu tak bisa istirahat lama, karena tak ada ijin khusus dari bagian orthopedi. Beberapa lama kamu tak pasti kan?”

Saya mengangguk.

“Kecuali kamu mau operasi, berapa lama pun boleh.” Dia juga berusaha meyakinkan saya. Saya terdiam. Disaat saya terdiam, mertua saya berkata, “Sudah, satu bulan saja.”

Saya kaget mendengar ucapan itu. Saya tersadar. Kenapa yang bukan praktisi saja bisa yakin sebulan sembuh, sedang saya tidak? Tapi di sisi lain, saya tahu persis, penyembuhan patah tulang dan sendi, biasanya tak secepat itu. Bukankah tak ada yang kebetulan? Bukankah itu isyarat agar saya yakin?

“Ok, saya istirahat satu bulan.”

Hari itu dan beberapa hari kemudian, banyak argumen, atau nasehat yang mencoba merevisi tindakan saya. Teman seprofesi, istri saya yang juga seorang dokter, mertua, ibu, kakak, adik, ipar, semuanya berusaha meminta saya operasi. Bahkan kakak saya sengaja “terbang” dari luar pulau, untuk meyakinkan saya. Di sana keyakinan saya akan kebenaran Fa betul-betul diuji.

Dengan menggendong tangan menggunakan gips separuh, saya pulang. Di perjalanan ada perasaan tak enak. Saya merasa ada yang tak tepat dalam langkah saya.

Saya pasang gips separuh? Apakah artinya saya juga hanya percaya separuh?

Tidak, saya percaya penuh. Akhirnya gips saya buka. Nyut-nyut…., rasa nyeri langsung bertambah. Secara refleks saya pegang tangan saya.

Gips sudah dibuka. Lalu gendongan tangan? Jelas gendongan tangan membantu mengurangi sakit. Karena gendongan tangan mengurangi gerakan, yang tentu saja akan menambah nyeri karena urat syarafnya tambah terjepit.

Akhirnya saya putuskan memakai gendongan tangan. Bukan karena takut nyeri, tapi lebih karena dengan begitu perhatian saya akan nyeri bisa dialihkan dan saya bisa melakukan hal lain.

Sore itu saat pemancaran pikiran lurus, saya tak bisa menggerakan tangan, menegakkan telapak tangan. Sakitnya luar biasa. Lalu bagaimana dengan berlatih Gong? Saya berdiri Jie Yin pada saat Mile Shen Yao, baru diangkat sedikit, saya merasa tangan saya tak bisa diperintah. Sakitnya luar biasa. Begitu sakitnya, sehingga membayangkan latihan saja, sudah menimbulkan nyeri. Latihan akhirnya saya lanjutkan dengan satu tangan tetap di gendongan.

Hal itu berlanjut selama satu minggu. Ingatan akan sakit saat merentang tangan masih membekas kuat. Hari itu hari Kamis, hari ke-8 setelah kejadian. Hari ke-8 di mana malam-malam saya ditemani oleh rasa nyut-nyut-nyut….

Hanya kelelahanlah yang membuat saya tertidur, melupakan rasa nyut..nyut..nyut. Tetapi saat bangun, hari disambut rasa nyut..nyut..nyut lagi.

Pemberitahuan akan diadakan aksi meditasi di depan Kedubes China membuat saya bersemangat. Bagaimana tidak, selama ini, saya tak pernah bisa ikut kegiatan tersebut setiap hari Kamis di depan kedubes, karena waktu kerja, waktu di mana saya berada di kamar operasi.

Saya memahami kata-kata Shifu demikian: “Pembayaran karma, bukan pembayaran karma lagi, bila sampai menghalangi melakukan tiga hal yang diminta Shifu. Itu berarti suatu bentuk gangguan, gangguan yang harus diterobos.”

Selama masa istirahat ini, saya justru ada waktu untuk ikut duduk di depan Kedubes China menentang penganiayaan Falun Gong secara damai. Saya memahami bukankah di alam semesta ini ada prinsip “tak selamanya anda sibuk, begitu juga tak selamanya anda senggang.”

Saat mau berangkat, mertua saya bertanya, “Bagaimana tangannya, sudah ada perubahan?”

Saya terdiam, ingin rasanya menjawab: “Yah, namanya patah, mana ada seminggu sudah bisa digerakkan.” Tapi perkataan itu saya telan kembali. Bukankah saya praktisi? Bukankah tak ada yang kebetulan? Kenapa saya mendengar ucapan tersebut? Apakah itu bukannya isyarat agar saya mencoba latihan dua tangan lagi? Pertentangan itu terbawa sampai di depan Kedubes China.

Saat itu mendung, pemancaran pikiran lurus 5 menit pertama terlewati. Saat 5 menit kedua menegakkan telapak, saya merasa ada yang membantu mengangkat tangan saya. Walau nyeri tapi masih dapat saya tahan. Saya masih bisa memutar telapak, menegakkannya walau tidak dalam posisi sempurna. Jari jemari yang harusnya menunjuk ke atas, hanya mampu menunjuk ke depan. Tapi bagi saya itu sudah luar biasa. Ingatan akan sakit saat menggerakan tangan masih ada, tapi saya berhasil menegakkan telapak tangan walau tidak sempurna.

Dengan gemetaran menahan sakit, saya berusaha mempertahankan posisi tangan saya. Lucunya, momen saya gemetaran menahan sakit tersebut, bagi wartawan foto yang saat itu meliput, malah jadi objek foto. Mungkin dianggap saya terlihat memancarkan energi yang hebat. Dalam hati saya tersenyum, tersenyum membayangkan pikiran sang wartawan. Pikiran yang segera saya tepis, mencoba kembali memusatkan pikiran, memancarkan pikiran lurus.

Keberhasilan mengangkat telapak dan perkataan mertua pagi tadi menggugah saya untuk mencoba latihan gong dengan 2 tangan lagi. Kali ini walaupun sakit, saya masih dapat bertahan untuk melanjutkannya. Walau saat saya mengulangi gerakan yang sama, perjuangan antara meneruskan latihan dan ingatan akan nyeri, terus terjadi. Tiap posisi apa pun adalah perjuangan. Pergulatan antara keyakinan akan hal ini adalah pembayaran karma - suatu hal yang bagus, dan keinginan manusia yang takut akan sakit, terus terjadi silih berganti.

Tiga minggu berlalu, awal bulan saya sudah aktif lagi. Sudah bisa pasang infus, spinal dan epidural. Sesuatu yang tentu saja mengherankan rekan-rekan sejawat saya. Apalagi saat melihat saya tanpa menyadari makan pakai sumpit.

Tidak ada yang kebetulan, sebagai orang xiulian kita harus yakin hal itu. Hal yang kita lihat, perkataan yang kita dengar, semuanya bukan kebetulan. Semuanya isyarat bagi kita maukah wu (sadar) akan hal itu. Hanya orang xiulian yang akan mengerti.

Demikian pengalaman dan pemahaman saya, semoga bermanfaat.