(Minghui.org) (Sambungan dari Bagian 5)

Warna Biru

Dalam lingkungan yang bebas polusi, warna biru adalah warna dengan area terbesar yang orang-orang dapat lihat begitu keluar dari rumah karena itu adalah warna dasar dari langit yang sangat luas.

Seperti yang kita tahu, langit tidak hanya memiliki satu warna biru yang tidak berubah. Warnanya biru langit pada siang hari dan biru tua di malam hari, seiring dengan perubahan musim dan cuaca, terkadang warnanya menjadi ungu-biru, terkadang berwarna indigo.

Banyak kelompok etnis yang meyakini keharmonisan langit dan bumi dan menyadari bahwa batu permata di bumi tampaknya merefleksikan warna langit. Batu permata merefleksikan seluruh cakupan berwarna biru, seperti biru tua, biru langit, ungu-biru, hijau-biru, dan seterusnya. Batu permata ini disebut “qingjin shi” dalam bahasa Mandarin, dan disebut “lapis lazuli” di negara Barat.

Qingjin shi (lapis lazuli)

Sejak zaman kuno, kelompok etnis yang berbeda tampaknya menghargai batu permata jenis ini sebagai simbol alam semesta yang luas dan sakral. Tradisi ini sangat mengakar dalam budaya, dan sebagian aspek mereka terus hidup dan diteruskan oleh peradaban lainnya bahkan setelah peradaban aslinya menghilang. Sebagai contoh, hingga Dinasti Qing di Tiongkok (1644-1912), di upacara besar yang memberi penghormatan pada langit, kaisar akan mengenakan busana pejabat istana berwarna biru tua dan rangkaian 108 manik-manik lapis lazuli.

Kita semua tahu bahwa ada banyak mineral berwarna biru di planet kita, dan ada sedikit batu permata yang berwarna “biru langit". Jadi mengapa “lapis lazuli” sangat spesial?

Sekali lagi, alasannya ada pada hubungan uniknya dengan dewa dan Buddha. Berikut beberapa contohnya.

Dewa bulan dalam mitologi Mesopotamia di Akad, Assyria, dan Babylon disebut “Sin” (“Nannar” dalam Bahasa Sumeria). Menurut legenda dewa bulan memiliki fitur wajah khusus, yakni, jenggotnya terbuat dari lapis lazuli.

Sama dengan hal tersebut, di Mesir kuno diyakini bahwa tubuh dewa terbuat dari emas namun rambut mereka terbuat dari lapis lazuli.

“Ra” adalah nama utama dewa matahari di Mesir kuno. Dia juga dihormati sebagai pencipta segalanya. Rakyat Mesir kuno meyakini bahwa dewa ini memiliki tubuh emas dan rambut lapis lazuli.

Rakyat Tiongkok tidak mempunyai masalah dalam memahami bahwa dewa memiliki tubuh emas dan rambut berwarna biru, karena sebagian besar gambar atau patung Buddha ditampilkan seperti itu.

Ada juga sejenis pigmen yang digunakan dalam seni agama Buddha disebut “Biru Kepala Buddha” atau “Biru Buddha” untuk mewarnai rambut dari patung atau gambar Buddha. “Biru Buddha” bisa terbuat dari bahan baku yang berbeda-beda, seperti bubuk azurit, bubuk lapis lazuli, atau campuran keduanya.

Warna biru laut yang digunakan pada rambut patung Buddha sangat jenuh dan gelap, membuatnya sangat kontras dengan warna emas. Di zaman kuno, untuk merefleksikan warna biru secara lebih baik pada kepala dari tubuh emas, pigmen dibuat dari bubuk lapis lazuli yang sudah dihaluskan.

Namun, karena mahalnya biaya untuk pigmen semacam itu, pemakaiannya kebanyakan dapat dilihat pada artefak berukuran kecil dan sedang milik agama Buddha di daerah Barat Tiongkok, tempat di mana agama Buddha memiliki pengaruh yang besar. Di daerah lainnya di Tiongkok, sebagian besar orang-orang menggunakan azurit sebagai bahan baku untuk membuat pigmen serupa selama ribuan tahun. Tentu saja, terdapat banyak patung Buddha yang rambutnya tidak diwarnai. Namun di Tibet, pigmen yang terbuat dari bubuk lapis lazuli yang telah dihaluskan digunakan secara meluas pada lukisan tangan thangka.

Patung Buddha Tathagata Bukuchi diabadikan di Kuil Kelahiran Renhuain Kota Tamana, Prefektur Kumamoto, Jepang. Buddha ini, salah satu dari lima Tathagata aliran Tantra yang memimpin Dunia Lotus Utara. Semuanya berwarna emas kecuali rambutnya yang biru, yang mana adalah fitur utama dari seni agama Buddha.

Warna biru laut adalah pigmen biru tua yang sering digunakan dalam kesenian Barat. Di Barat, warna biru laut dibuat dengan menggiling lapis lazuli menjadi bubuk. Itu adalah warna biru yang terhalus dan termahal yang digunakan oleh pelukis Renaissance dan sering digunakan mewarnai jubah Santa Perawan Maria untuk melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Pigmen semacam itu juga digunakan pada lukisan tradisional Tuhan dan Yesus.

Santa Perawan Maria, ibu Yesus, dilukis oleh pelukis Italia bernama Giovanni Battista Salvi da Sassoferrato sekitar tahun 1654. Warna biru laut yang digunakan dalam lukisan terbuat dari lapis lazuli yang telah digiling menjadi bubuk halus.

Lukisan cat minyak “L’Apparition du Christ aux pèlerins d’Emmaüs” oleh pelukis Prancis bernama Laurent de La Hyre tahun 1656. Busana Yesus dilukis dengan pigmen biru laut yang terbuat dari bubuk lapis lazuli.

Penggunaan pigmen yang terbuat dari bahan baku berharga seperti emas dan lapis lazuli cukup lumrah pada karya seni religius sejak zaman kuno. Orang-orang sering merasa bahwa ini karena orang memuja dewa, jadi bahan-bahan mahal digunakan dalam lukisan untuk menghormati para dewa.

Meski itu benar, itu hanya menunjukkan penghormatan kepada dewa di tingkat permukaan. Fakta bahwa bahan-bahan ini dipilih bukan saja karena harganya yang mahal namun juga karena konotasi di baliknya. Sesungguhnya, segala sesuatunya memiliki kecerdasan, dan semuanya memiliki alasan yang mendalam tentang keberadaannya, termasuk bahan baku. Seseorang mungkin dapat memahami konotasi semacam itu dengan pikiran yang tercerahkan saat waktunya tiba.

Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah lapis lazuli tidak disebut “qingjin shi” dalam bahasa Mandarin sebelum masa Dinasti Ming dan Qing. Ini karena lapis lazuli selalu diimpor dari negara lain sejak zaman kuno di Tiongkok, dan sebutan yang berbeda diberikan pada lapis lazuli selama periode yang berbeda dan tempat yang berbeda, lapis lazuli juga bisa dibingungkan dengan mineral biru lainnya. Kekeliruan semacam ini dapat terlihat pada buku kuno Tiongkok. Namun, saat kita mengacu pada sastra dalam bahasa asing mengenai topik tersebut, kekeliruan tersebut dapat dengan mudah diluruskan.

Sebagai contohnya “Guru Pengobatan dan Raja Cahaya Lapis Lazuli.” Beliau disebut “Maître guérisseur de la Lumière de Lapis-lazuli” dalam bahasa Prancis, dan “Maestro della Medicina dalla Luce Lapislazzuli” dalan bahasa Italia. Dunia tempat beliau bersemayam terkenal dengan nama “Liuli Shijie” dalam bahasa Mandarin, “Eastern pure land of Pure Lapis Lazuli” dalam bahasa Inggris, “Terre pure de pur Lapis-lazuli” dalam bahasa Prancis, dan “Pura terra di puro Lapislazzuli” dalam bahasa Italia. Kata yang sepadan dengan “Liuli” adalah “Lapis lazuli” di ketiga bahasa asing tersebut. Sudah jelas bahwa, “Lapis lazuli” adalah apa yang kita sebut sebagai “qingjin shi” dalam bahasa Mandarin saat ini.

Buddha Pengobatan (Bhaishajaguru) duduk dengan kaki menyilang dan Bodhisattva berdiri di kedua sisinya. Nama lengkap Bhaishajaguru adalah “Bhaishajaguru Lapis Lazuli Cahaya Kristal.” Dalam agama Buddha, warna biru lapis lazuli adalah warna dari tubuh Bhaishajaguru.

Baik itu “Liuli Shijie” atau “Eastern pure land of Pure Lapis Lazuli” itu hanyalah nama yang kita tahu di dunia manusia ini, dan “Lapis Lazuli Murni” di tingkat lebih tinggi tidak sama dengan apa yang kita miliki di dunia manusia ini. Mineral di dunia manusia cukup tidak murni dan jauh dari batu permata berharga yang tercatat dalam buku kuno agama Buddha.

Meski lapis lazuli dianggap sebagai salah satu dari tujuh batu permata dalam agama Buddha -- dan sangat dihargai oleh pembuat perhiasan -- latihan kultivasi sejati sejak zaman kuno semua mengharuskan praktisinya untuk melepaskan keterikatan terhadap kenyamanan materi dan harta benda. Ini karena yang terpenting adalah meningkatkan karakter dan kebajikaan seseorang serta memperkuat keyakinan lurusnya terhadap dewa dan Buddha.

* * *

Rangkaian artikel ini hanya mencakup beberapa perwakilan warna khas tradisional yang banyak orang sering tinggalkan. Tujuan utama yang saya ingin sampaikan adalah warna tradisional Tiongkok bukanlah warna merah tajam menyilaukan seperti yang telah disalahgunakan oleh Komunis Tiongkok saat ini.

Dengan mempelajari sejarah, kita menemukan bahwa warna tradisional sejati sangat erat berhubungan dengan dewa, Buddha, langit, dan bumi. Baik itu “tubuh emas” yang dihormati dalam agama Buddha maupun “qi ungu” yang dihormati dalam agama Tao, warna-warna ini memberikan perasaan yang sangat positif pada orang-orang. Warna tersebut tampak mulia dan khidmat, luar biasa dan elegan. Sebaliknya, kekhawatiran duniawi tetang permasalahan kecil sehari-hari dan pengejaran terhadap nama dan keuntungan di dunia manusia merujuk pada “merah debu” dalam bahasa Mandarin, dan tempat bisnis yang berkaitan dengan seks serta penyalahgunaan narkoba secara umum merujuk pada “distrik merah terang.” Sudah jelas, bahwa orang-orang memiliki perasaan yang serupa tentang warna.

Tentu saja, semua warna memiliki kegunaannya dan dapat digunakan sesuai kebutuhan di segala jenis pemakaian. Saya tidak mencoba menimbulkan kebencian terhadap warna merah itu sendiri, karena warna merah juga termanifestasi pada tingkat dan dimensi berbeda dalam di segala jenis warna merah. Yang tidak saya setujui adalah penyalahgunaan salah satu warna untuk tujuan yang negatif, seperti pemujaan yang irasional dan membabi buta terhadap warna merah tajam di Komunis Tiongkok masa kini.

Saya harap rangkaian artikel ini menyediakan sudut pandang baru bagi orang-orang yang menghargai warna-warna tradisional dan menghargai konotasinya yang mendalam. Harapan saya adalah kita sekali lagi menikmati keindahan dan kecemerlangan budaya tradisional kita, yang sayangnya terus berkurang di lingkungan manusia modern yang kita tempati saat ini.

Referensi:

Zhao Ming Wen Xuan (Pilihan Sastra Halus), dihimpun pada Dinasti Utara dan Selatan
Shi Ji (Catatan Sejarawan Agung) “sejarah dasar Qin Shihuang” oleh Sima Qian dari Dinasti Han Barat
Guochu Shiji oleh Liu Chen dari Dinasti Ming
Shuowen Jiezi oleh Xu Shen dari Dinasti Han Timur
Qing Bai Lei Chao, dihimpun oleh Xu Ke, Republik Tiongkok
Fayuan Zhulin, ensiklopedia Buddhis dihimpun pada tahun 668 M oleh Daoshi
Ling Gui Zhi, novel fantasi tiga jilid oleh Xun dari Jin Timur
Lunheng, teks kuno Tiongkok yang berjangkauan luas oleh Wang Chong dari Dinasti Han Timur
Taiping Guangji, kumpulan kisah yang dihimpun pada masa awal Dinasti Songy
Hortus deliciarum, Herrade de Landsberg, abad ke-12
Kitab Wahyu oleh John the Apostle, abad ke-1
La valeur de l'or dans la pensée égyptienne oleh François Daumas, 1956
Ringkasan Materia Medica, buku herbologi Tiongkok yang ditulis oleh Li Shizhen dari Dinasti Ming
Shiming, kamus Tiongkok yang menggunakan terjemahan fonologis oleh Liu Xi dari Dinasti Han Timur
Tongdian, sejarah kelembagaan dan teks ensiklopedia Tiongkok oleh Du You dari Dinasti Tang
I Ching (Buku Perubahan)
Buku Han Kelak oleh Fan Ye dari Dinasti Selatan
Guan Fo Sanmei Hai Jing, juga umum dikenal sebagai “Sutra Laut Samādhi”

(Tamat)