(Minghui.org) Apa itu sains? Dalam masyarakat Barat, orang biasanya menyamakannya dengan ilmu empiris. Dalam Komunis Tiongkok, sains dimanipulasi sebagai alat politik untuk mencuci otak masyarakat umum atau menargetkan kelompok minoritas. Di sini saya ingin mengambil langkah mundur dan mengeksplorasi apa sebenarnya sains itu.

Definisi Sains

Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche pernah berkata bahwa hanya keberadaan yang tidak memiliki sejarah yang dapat didefinisikan dengan tepat. Kalimat ini dapat diartikan dengan berbagai cara. Namun terlepas dari pemahaman seseorang, hal itu menunjukkan bahwa mendefinisikan istilah dengan jelas – seperti “sains” – mungkin tidak bisa diartikan secara langsung, sebagian karena maknanya berubah seiring berjalannya waktu.

Kata “science” dalam Bahasa Inggris berasal dari kata Latin scire (tahu) atau scientia (pengetahuan). Dalam Bahasa Mandarin 科学(istilah kontemporer untuk sains) sebenarnya berasal dari bahasa Jepang, yang berarti sub-disiplin pengetahuan. Faktanya, baru-baru ini banyak istilah seperti itu yang muncul dalam sejarah Tiongkok berasal dari Jepang dan terjemahannya tidak akurat. Contoh lain adalah "filsafat." Berasal dari bahasa Yunani philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), itu berarti "cinta kebijaksanaan." Istilah modern dalam bahasa Jepang, 哲, bagaimanapun, berarti kecerdasan, yang sangat berbeda dari arti asli kebijaksanaan.

Yang cukup menarik, istilah 哲(filsafat) juga berarti kebijaksanaan dalam Tiongkok kuno, mirip dengan sophia dalam Bahasa Yunani kuno. Dalam kedua budaya tersebut, makna istilah tersebut menyempit seiring berjalannya waktu, terutama dalam masyarakat modern.

Hal yang sama terjadi dengan "sains." Terutama setelah pertengahan abad ke-19, sains kehilangan makna mengetahui atau pengetahuan, menjadi “ilmu pengetahuan modern,” sebuah istilah yang mengacu pada “ilmu alam dan fisika.”

Sejarah Sains

Selain definisi, kita juga bisa mendapatkan beberapa wawasan dengan menganalisis beberapa perubahan dalam sejarah.

Dalam Bahasa Yunani, kata pengetahuan adalah epistēmē. Aristoteles percaya bahwa pengetahuan dapat mengetahui penyebab yang diperlukan - terutama penyebab akhir, bukan deskripsi prediksi yang dangkal. Secara khusus, dia bersikeras bahwa pengetahuan adalah untuk memahami tujuan keberadaan sesuatu.

Ini konsisten dengan sudut pandang budaya kuno lainnya. Teks matematika ditemukan di Mesopotamia dan Mesir kuno sekitar tahun 2000 SM, sedangkan di Tiongkok, matematika ditelusuri kembali ke Kaisar Kuning 4.700 tahun yang lalu. Menterinya Lishou dikatakan telah menemukan matematika dan alat-alat seperti sempoa. Dua ribu tahun kemudian, baik Buddhisme maupun Taoisme muncul di Timur, membawa tingkat pemahaman yang sama sekali baru tentang umat manusia, masyarakat, dan alam semesta kita.

Di Barat, Thales of Miletus (sekitar 600 SM) di Yunani menggunakan geometri untuk memecahkan masalah seperti mengukur ketinggian piramida. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, daerah-daerah Arab memajukan ilmu-ilmu dengan alkimia (dari bahasa Arab al-kimiya), aljabar (dari bahasa Arab al-jabr), dan astronomi, dengan aliran perkembangan yang berakhir pada tahun 1200-an.

Ilmu pengetahuan di Tiongkok kuno berkembang pesat dari Dinasti Tang hingga akhir Dinasti Ming (1600-an) dengan berkembangnya kepercayaan akan keharmonisan antara Langit, Bumi, dan umat manusia. Lebih khusus lagi, sains memiliki empat mata pelajaran utama termasuk pertanian, kedokteran (dengan pendukung seperti Sun Simiao, Li Shizhen), astronomi (pendukungnya antara lain Li Chunfeng, Shen Kuo), dan matematika, serta teknologi utama di bidang keramik, sutra, dan konstruksi. Baru pada Perang Salib di akhir abad ke-11, Empat Penemuan Besar Tiongkok (kompas, bubuk mesiu, pembuatan kertas, dan percetakan) serta ilmu-ilmu Yunani dibawa ke Barat oleh orang-orang Arab.

Setelah kejayaan seni, arsitektur, sains, dan sastra selama Renaisans, sains modern berkembang di bidang mekanika, kimia, listrik, magnet, dan optik. Secara kolektif, mereka menyebabkan revolusi industri dan ilmu pengetahuan yang kita lihat sekarang.

Keterbatasan Sains Modern

Melihat kembali sejarah, orang akan menemukan bahwa penemuan ilmiah besar, seperti yang dibuat oleh Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton, berasal dari pencarian kebenaran yang gigih. Ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada menantang doktrin-doktrin yang ada. Selain itu, banyak dari mereka didasarkan pada hipotesis, penalaran, dan deduksi. Sangat sering tidak ada bukti eksperimental pada saat itu.

Begitu sistem sains modern terbentuk, pikiran terbuka seperti itu sering dilupakan. Banyak orang, termasuk ilmuwan, cenderung hanya mengikuti atau mempertahankan sistem yang sudah ditetapkan sambil menentang atau menyerang mereka yang berbeda pendapat. Ini hampir berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh para pendiri sains.

Salah satu contohnya adalah teori evolusi. Dari pengenalannya hingga zaman modern, ia memiliki banyak celah yang tetap tidak terjawab. Pada tahun 2006, lebih dari 500 ilmuwan doktoral menandatangani pernyataan yang mempertanyakan validitas evolusi Darwin. Namun selain kejadian langka seperti ini, sebagian besar ilmuwan telah menjadi sasaran dan diasingkan oleh rekan-rekan mereka atau publik karena mempertanyakan teori evolusi.

“Daftar ilmuwan, guru, siswa, dan lainnya yang telah menghadapi pembalasan atau diskriminasi atas skeptisisme publik mereka terhadap Darwinisme sudah panjang dan terus bertambah,” tulis John West dalam artikelnya pada Maret 2022 berjudul “Apakah Ilmuwan Memiliki Kebebasan untuk Mempertanyakan Darwinisme?” Bahkan, beberapa profesor biologi kehilangan pekerjaan karena hal ini di San Francisco State University, George Mason University, dan lainnya. Anggota fakultas di departemen lain juga menghadapi diskriminasi dan penganiayaan serupa. Contohnya termasuk departemen matematika di Baylor University, departemen kimia di University of Mississippi, dan departemen fisika di Ball State University. Universitas sangat dihormati karena kebebasan akademiknya. Tetapi ilmu pengetahuan modern, setelah diterapkan, menjadi hampir sembrono dalam memusnahkan suara-suara atau opini-opini yang bertentangan.

Kerugiannya lebih dari sekadar menghancurkan karier orang-orang yang berbeda pendapat. Ketika orang-orang dalam masyarakat modern, terutama generasi muda, terpaku pada dunia virtual yang diciptakan oleh komputer dan telepon, mereka ditarik menjauh dari dunia fisik yang nyata. “Ada bukti yang menunjukkan bahwa perkembangan kognitif anak-anak dapat rusak oleh penggunaan internet yang berkepanjangan, termasuk pengembangan keterampilan memori, rentang perhatian, kemampuan untuk penalaran kritis, penguasaan bahasa, membaca, dan belajar. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menarik kesimpulan,” kata laporan European Parliamentary Research Service (EPRS) pada bulan Mei 2020 berjudul “Potensi efek negatif dari penggunaan internet.”

Selain dampaknya terhadap anak-anak, risiko lain yang terkait dengan sains modern juga muncul dalam beberapa tahun terakhir, termasuk ancaman nuklir, krisis ekologi, krisis energi, dan krisis budaya. Ditambah lagi, dengan batu bara dan minyak bumi sebagai sumber energi utama, keterbatasannya dan ketergantungan dunia yang berlebihan tersebut suatu hari nanti dapat menyebabkan bencana serius bagi umat manusia. Bahkan di abad ke-21, orang-orang tidak siap dengan gempa Samudra Hindia 2004 dan tsunami terkait yang menewaskan sekitar 230.000 orang. Demikian pula, pandemi baru-baru ini telah menginfeksi hampir 487 juta orang di seluruh dunia dengan jumlah kematian lebih dari 6 juta. Apakah kita mampu mencegah atau menghentikan bencana di masa depan seperti wabah penyakit, pemadaman listrik, dan sebagainya? Hanya waktulah yang akan menjawabnya.

Kembali ke jalur

Di berbagai budaya ada legenda bahwa umat manusia diciptakan oleh Tuhan. Dengan mempertahankan kebajikan dan menjaga satu sama lain, umat manusia akan diberkati dengan umur panjang dan kemakmuran. Tanpa nilai-nilai tersebut, peradaban maju mana pun dapat segera dimusnahkan. Dari Atlantis hingga Pompeii, dari budaya Yunani kuno hingga Sodom dan Gomora, ada banyak contoh semacam ini. Situasi ini juga telah dijelaskan dalam pepatah Tiongkok kuno: Ketika hal-hal mencapai ekstrem, mereka akan bergerak ke arah yang berlawanan.

Fakta, banyak ilmuwan besar sangat religius. “Untuk mengetahui karya-karya besar Tuhan, untuk memahami kebijaksanaan dan keagungan dan kuasa-Nya; untuk menghargai, dalam tingkatan, cara kerja hukum-Nya yang luar biasa, tentunya semua ini harus menjadi cara penyembahan kepada yang Maha Tinggi yang menyenangkan dan dapat diterima, bagi mereka yang tidak berpengetahuan tidak ada yang lebih menyenangkan dari pengetahuan,” tulis Nicolaus Copernicus (19 Februari 1473 – 24 Mei 1543), seorang matematikawan dan fisikawan Polandia.

Newton pernah menciptakan model tata surya. Dengan tarikan pegangan, semua planet mulai bergerak di orbitnya masing-masing. Ketika temannya Edmund Halley memuji karyanya itu, Newton menjawab bahwa meskipun modelnya rumit, itu hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tata surya yang sebenarnya. Jika model itu berasal dari desain dan tangannya, bukankah tata surya yang sebenarnya, sesuatu yang jauh lebih canggih, telah diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa?

Newton pernah berkata, "Seperti orang buta yang tidak tahu warna, kita juga tidak tahu bagaimana Tuhan yang Maha Bijaksana memandang dan memahami segala sesuatu."

Albert Einstein juga kagum dengan pengaturan dunia kita yang begitu rapi. “Dalam pandangan keselarasan dalam kosmos yang dapat saya kenali, dengan pikiran manusia saya yang terbatas, masih ada orang yang mengatakan tidak ada Tuhan. Tapi yang membuat saya sangat marah adalah mereka mengutip perkataan saya untuk mendukung pandangan seperti itu,” katanya.

Hampir semua ilmuwan hebat ini mendorong pemikiran terbuka. “Perumusan masalah sering kali lebih penting daripada solusinya, yang mungkin hanya masalah keterampilan matematika atau eksperimental. Untuk mengajukan pertanyaan baru, kemungkinan baru, untuk melihat masalah lama dari sudut pandang baru membutuhkan imajinasi kreatif dan menandai kemajuan nyata dalam sains,” jelas Einstein.

Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam sains seperti Monster Loch Ness, Segitiga Bermuda, Near-Death Experiences, dan Sixth Sense. Dalam sejarah, banyak peristiwa telah diturunkan dari zaman kuno seperti seorang perawan melahirkan dan kebangkitan Yesus. Di Tiongkok, legenda Zhou Yi (Kitab Perubahan) dan tabib hebat seperti Sun Simiao dan Bian Que juga telah meninggalkan banyak legenda dan kebijaksanaan yang menginspirasi.

Filsuf Austria-Inggris Karl Popper pernah berargumen bahwa, agar sebuah teori dianggap ilmiah, teori itu harus dapat diuji dan mungkin terbukti salah. Salah satu contohnya adalah hipotesis bahwa "semua angsa berwarna putih," yang dapat dipatahkan dengan mengamati angsa hitam. Dengan begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam hidup kita, di bumi kita, dan di alam semesta, mengabaikannya begitu saja dan membela sains modern bukanlah pendekatan yang paling bijaksana.

Pandemi yang sedang berlangsung memberi kita kesempatan untuk memikirkan banyak hal, termasuk siapa kita dan mengapa kita datang ke dunia ini. Newton pernah berkata, “Saya tidak tahu seperti apa penampilan saya di dunia, tetapi bagi diri saya sendiri, saya tampaknya hanya seperti anak laki-laki yang bermain di pantai, dan menyenangkan diri saya sesekali dengan menemukan kerikil yang lebih halus atau cangkang yang lebih cantik dari biasanya, sementara samudra besar kebenaran terbentang di hadapan saya, semuanya belum ditemukan.” Kerendahan hati dan rasa syukur seperti itu dapat membantu kita memahami dunia dengan lebih baik, baik untuk diri kita sendiri maupun generasi mendatang.