(Minghui.org) Dalam artikel “Dokter Pembunuh Tiongkok” yang diterbitkan di majalah Tablet pada 27 Juni 2022, seorang ahli bedah transplantasi Israel, Jacob Lavee, mengenang percakapan mengerikan dengan seorang pasien pada November 2005.

Menurut Lavee, pasien, yang menderita gagal jantung lanjut, menjadwalkan transplantasi jantung di Tiongkok dalam dua minggu setelah menunggu organ cocok di Israel selama setahun.

Terlepas dari skeptisisme Lavee tentang "donor jantung terjadwal", pasien pergi ke Tiongkok dan menerima jantung pada waktu yang dijanjikan.

Pengalaman ini akhirnya mendorong Lavee untuk melihat ke dalam sistem transplantasi di Tiongkok dan membuat penemuan mengejutkan dari para dokter Tiongkok yang mengekstraksi organ dari orang yang masih hidup. Tiga tahun kemudian, ia memelopori undang-undang transplantasi di Israel, yang melarang perusahaan asuransi Israel menanggung biaya medis pasien yang menerima “organ yang diperoleh secara ilegal” di Tiongkok.

Pada tanggal 2 April 2022, Lavee dan Matthew P. Robertson dari Australian National University menerbitkan artikel berjudul “Execution by organ procurement: Breaching the dead donor rule in China” di American Journal of Transplantation (AJT) tentang penelitian pengambilan organ hidup oleh Partai Komunis Tiongkok.

Artikel AJT memeriksa 2.838 makalah dari database 124.770 publikasi transplantasi berbahasa Mandarin dan menemukan “bukti dalam 71 laporan ini, tersebar secara nasional, bahwa kematian otak tidak dinyatakan dengan benar.

“Dari laporan-laporan ini, kami menyimpulkan bahwa pelanggaran DDR (aturan donor mati) terjadi: Mengingat bahwa donor mungkin belum mati otak sebelum pengadaan organ, pernyataan kematian otak tidak dinyatakan secara medis. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus ini kematian pasti disebabkan oleh ahli bedah yang mengambil organ tersebut,” artikel itu menyimpulkan.

Pengakuan Para Dokter Sendiri

Dalam artikel terbaru Tablet “Dokter Pembunuh Tiongkok”, baik Lavee dan Robertson merinci proses penelitian mereka dan menyoroti bukti yang sebelumnya didokumentasikan dalam makalah AJT.

Mereka mencatat bahwa tahun 2000 menandai awal dari ekspansi yang cepat dari sistem transplantasi organ Tiongkok, termasuk pelatihan ribuan dokter baru, pembangunan gedung rumah sakit baru yang didedikasikan untuk transplantasi, pengajuan paten pada teknologi transplantasi baru, serta produksi dalam negeri obat imunosupresif.

Dengan perkembangan yang begitu pesat, seorang ahli bedah terkemuka mengatakan kepada media Tiongkok bahwa “2000 adalah tahun yang menentukan bagi industri transplantasi organ di Tiongkok.” Yang lain mengatakan jumlah rumah sakit yang melakukan transplantasi hati setelah tahun 2000 “meningkat secara tiba-tiba—seperti bambu musim semi setelah hujan,” menurut artikel Tablet itu.

Semua perubahan ini terjadi meskipun Tiongkok tidak memiliki sistem donasi organ. Sementara beberapa pejabat kesehatan Tiongkok mengklaim bahwa terpidana mati adalah sumber utama, peningkatan transplantasi berlanjut bahkan setelah reformasi besar dalam sistem hukuman mati yang terjadi pada tahun 2007 yang secara dramatis mengurangi jumlah eksekusi.

Pada tahun 2015, Jiang Yanyong, seorang dokter militer Tiongkok, mengaku kepada sebuah media di Hong Kong bahwa dokter Tiongkok “akan menembak para tahanan dengan suatu cara agar mereka tidak sepenuhnya mati… kemudian dengan cepat memasukkan mereka ke dalam truk dan mengeluarkan hatinya.”

“Apakah Narapidana yang Hatinya Diambil untuk Transplantasi Benar-Benar telah Mati?”

Meskipun telah dibuktikan oleh peneliti lain bahwa praktisi Falun Gong dan Muslim Uyghur adalah dua kelompok utama yang menjadi sasaran pengambilan organ, Lavee dan Robertson masih mempertanyakan apakah pendonor benar-benar telah mati ketika para dokter mengambil jantung mereka.

Seperti yang mereka tulis dalam artikel Tablet: “Agar donor organ dinyatakan mati secara medis dan hukum, kematian otak atau peredaran darah harus dinyatakan terlebih dahulu. Kematian otak adalah berhentinya semua fungsi otak, termasuk pernapasan secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Selama alat bantu pernapasan terus dipertahankan pada pasien seperti itu, jantung akan terus berdetak untuk sementara waktu, untuk menjaga organ vital tetap hidup dan cocok untuk transplantasi.

“Pertanyaan ini sangat penting, karena jika pendonor tahanan di Tiongkok benar-benar telah mati otak pada saat itu, maka ekstraksi jantung tidak akan menjadi penyebab kematian. Tetapi jika pernyataan kematian otak itu palsu—atau memang, secara medis tidak mungkin dinyatakan demikian—maka pengambilan jantung pastilah menjadi penyebab kematiannya. Dengan kata lain, para tahanan masih hidup pada saat ekstraksi jantung dan ahli bedah akan menjadi algojonya.”

Untuk menjawab pertanyaan mereka, mereka mencari 120.000 publikasi medis berbahasa Mandarin di database akademik dan medis dari tahun 1950-an hingga akhir 2020, menggunakan kata kunci seperti “脑死亡后立即气管内插管给氧” (“setelah kematian otak, segera lakukan endotrakeal intubasi") dan "供体大脑死亡后,首先分秒必争地建立呼吸与静脉通道" ("setelah kematian otak donor, berpacu dengan waktu untuk membangun akses pernapasan dan vena").

Dalam temuan mereka, ada 71 penelitian yang diterbitkan antara 1980 dan 2015 yang melibatkan 56 rumah sakit, termasuk 12 rumah sakit militer, di 33 kota di 15 provinsi. Studi-studi ini menunjukkan bahwa kematian otak tidak dinyatakan dengan benar sebelum ekstraksi jantung. Dengan demikian, transplantasi itu sendiri adalah penyebab kematian pendonor.

Lavee dan Robertson mengutip satu studi semacam itu (yang mereka kodekan sebagai makalah 0191) dalam lampiran makalah AJT. Studi ini menyatakan bahwa ahli bedah Tiongkok yang terlibat dalam transplantasi menjelaskan dengan sangat jelas bahwa jantung korban masih berdetak sebelum mereka mengeluarkannya. “Pendonor disuntik secara intravena dengan heparin 3mg/kg 1 jam sebelum operasi… Detak jantung lemah dan miokardium berwarna ungu. Setelah bantuan ventilasi melalui intubasi trakea, miokardium berubah menjadi merah dan detak jantung menjadi kuat... Jantung donor diekstraksi dengan sayatan dari sternum interkostal ke-4... Sayatan ini adalah pilihan yang baik untuk operasi lapangan di mana tulang dada tidak dapat digergaji tanpa listrik.”

Dalam penelitian lain yang diberi kode oleh Lavee dan Robertson sebagai makalah 0173, ahli bedah Tiongkok lainnya mengakui bahwa korban masih bernapas dan tidak diintubasi. "Sebelum dada dibuka, 100mg heparin disuntikkan dan masker diberi tekanan untuk memberi oksigen untuk membantu pernapasan."

Studi ketiga yang diberi kode makalah 0463 mengatakan bahwa seorang ahli bedah mengungkapkan detail penting: "Setelah donor dipastikan mati otak, empat kasus intubasi trakea, tiga kasus oksigenasi masker, segera lakukan pernapasan buatan, pembedahan dada median cepat..." Jika korban sudah mati, mereka tidak akan bisa bernapas sendiri dan masker (oksigen) tidak diperlukan. Ketika ahli bedah masih menggunakan masker (oksigen) pada korban, satu-satunya kemungkinan adalah mereka masih bernapas dan hidup.

Tidak akan Pernah Lagi

Lavee dan Robertson menulis di akhir artikel Tablet, “Kejahatan Tiongkok terhadap kemanusiaan—eksekusi besar-besaran oleh dokter pengadaan organ—telah dilakukan secara diam-diam di bawah lampu ruang operasi, dan selama beberapa dekade sulit dideteksi. Keheningan global terhadap kejahatan ini sungguh tidak masuk akal—kejahatan yang serupa dengan yang dilakukan para dokter Nazi berulang kembali di depan mata kita, namun dunia tetap diam. Sudah saatnya bagi ilmuwan Barat, dokter, dan umat manusia lainnya untuk menegaskan kembali kesucian sumpah Hipokrates dan memberi makna pada slogan Yahudi setelah Holocaust: Tidak akan pernah lagi.”

Senator AS Tom Cotton men-tweet artikel tersebut pada 28 Juni 2022. Dia menulis: “Partai Komunis Tiongkok terus mengambil organ dari kelompok agama yang dianiaya, tahanan hati nurani, dan narapidana. @ChrisCoons dan saya memperkenalkan undang-undang untuk meminta pertanggungjawaban PKT atas kejahatan keji ini.”

Undang-undang yang dimaksud Senator Cotton adalah “Stop Forced Organ Harvesting Act of 2021” yang diperkenalkan ke Senat pada Maret 2021. Sejauh ini, undang-undang tersebut memiliki 15 sponsor pendukung bi-partisan dan sedang menunggu tindakan lebih lanjut oleh Senat.