(Minghui.org) Dalam lirik yang diterbitkan dalam seri Hong Yin selama beberapa tahun terakhir, Guru Li Hongzhi, pencipta Falun Dafa, berkali-kali merujuk pada “ateisme,” “evolusi,” dan “pemikiran dan cara modern.” Setelah mempelajari lirik-lirik ini berkali-kali, saya menyadari bahwa racun ateisme masih mempengaruhi pikiran manusia biasa dan bahkan praktisi Falun Dafa secara serius.

Banyak praktisi Falun Dafa mungkin berpikir bahwa ateisme bukanlah masalah bagi mereka. Namun karena sisi kultivasi kita terpisah dari sisi manusia, kita mungkin masih dipengaruhi oleh segala macam keterikatan dan karma. Faktanya, sains dan ateisme telah merasuki setiap aspek masyarakat modern, sehingga sulit untuk mengenalinya dan tidak terpengaruh olehnya.

Menurut pemahaman saya, orang yang sombong atau ceroboh sudah terpengaruh oleh ateisme. Manusia biasanya memikirkan segala sesuatu dengan pola pikir manusia dan mengabaikan firman Tuhan dan mukjizat. Mereka cenderung hanya menganggap apa yang terlihat dan nyata sebagai sesuatu yang nyata. Karena kita tidak dapat melihat Fashen (Badan Hukum) Guru atau kekuatan Dafa dengan mata telanjang, kita mungkin tidak terlalu mempercayainya. Akibatnya, ketika kita menyelesaikan sesuatu, kita mungkin menganggapnya sebagai pencapaian kita sendiri dan merasa sangat bangga.

Sebagai kultivator, kita tahu hidup kita telah diatur dan Guru bertanggung jawab atas kemampuan kita. Artinya, misalnya, jika keterampilan teknis kita meningkat, berarti Xinxing kita meningkat. Pada akhirnya, semua keterampilan dan kemampuan kita adalah anugerah dari dewa.

Konon, di akhir komposisi musiknya, Johann Sebastian Bach selalu menulis S.D.G., yang merupakan bahasa Latin untuk Soli Deo gloria (Kemuliaan bagi Tuhan). Saya pikir kita sebagai pengikut Dafa seharusnya melakukan lebih baik dari itu. Sudahkah kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki, termasuk kemampuan dan pencapaian kita, diberikan oleh Guru? Apakah ada saatnya kita merasa puas dengan sedikit kemajuan atau merasa lebih baik dibandingkan orang lain atau kita menempatkan Dafa dan Guru di kursi belakang?

Teknologi modern seperti telepon seluler, komputer, dan internet membuat masyarakat mengira dirinya sangat pintar dan mengetahui segalanya. Oleh karena itu, beberapa orang bahkan mungkin merasa dirinya adalah dewa. Karena kemerosotan moral masyarakat, masyarakat menyalahgunakan teknologi ini untuk kepentingan mereka sendiri, yang pada akhirnya membuat mereka semakin sombong dan kurang menghormati Tuhan. Ini sangat berbahaya. Sebagai praktisi Dafa, kita harus memahami dengan jelas bahwa, betapapun canggihnya teknologi manusia, ia masih berada pada tingkat manusia dan berada di bawah kendali Tuhan.

Guru menulis,

“Jika umat manusia dapat menampilkan ketulusan dan penghormatan yang sepatutnya terhadap manifestasi Dafa di dunia, maka itu akan menghantarkan kebahagiaan atau kemuliaan bagi manusia, bagi bangsa atau negara.” (Lunyu, Zhuan Falun)

Kita semua perlu bertanya pada diri sendiri apakah rasa hormat kita terhadap Guru dan Dewa adalah tulus. Hal ini serius dan penting, khususnya bagi kita yang telah terpengaruh oleh ateisme dan pemikiran modern.

Memberantas ateisme sepenuhnya, menyadari betapa mendalamnya Dafa, dan tetap rendah hati harus menjadi upaya tanpa akhir dalam perjalanan kultivasi kita. Namun di alam semesta baru, hanya mereka yang menghormati Dewa yang dapat dianggap sebagai orang baik, dan hanya orang baik yang layak menjadi kultivator.

Catatan Editor: Artikel ini hanya mewakili pemahaman penulis dalam kondisi kultivasi mereka saat ini yang dimaksudkan untuk berbagi pengalaman di antara para praktisi sehingga kita dapat “Banding belajar, Bandingkultivasi.” (“Berkultivasi Nyata,” Hong Yin I)