(Minghui.org) Salam hormat kepada Guru yang penuh belas kasih! Salam kepada rekan-rekan praktisi!

Sebelum mulai berlatih Falun Dafa pada Mei 2023, saya menderita depresi akibat banyak faktor yang kompleks, termasuk data dalam disertasi doktoral saya yang tidak sesuai harapan, serta konflik dengan profesor, keluarga, dan mahasiswa. Depresi itu begitu parah hingga saya tidak mampu bekerja atau belajar. Selama beberapa tahun, penderitaan karena penulisan disertasi menghantui saya seperti bayangan, memenuhi diri saya dengan ketakutan, kecemasan, mudah tersinggung, dan rasa rendah diri. Setiap kali mencoba menulis, rasanya seperti penyiksaan. Saya harus melewati masa-masa panjang yang dipenuhi rasa takut, sakit, keraguan terhadap diri sendiri, dan ketidaknyamanan fisik.

Selama dua tahun terakhir berkultivasi dengan inspirasi dari Dafa dan bantuan dari rekan-rekan praktisi, saya perlahan-lahan berhasil bangun dari tempat tidur, keluar dari depresi, dan mengungkap serta menerobos satu demi satu keterikatan yang menjadi penyebab ketidakmampuan saya menulis disertasi.

Ini Bukan Hanya Tentang Disertasi, Tetapi Tentang Kultivasi

Suatu ketika, ketika saya sedang sangat menderita dan ingin menyerah begitu saja, saya bermimpi sedang mengikuti ujian penting dan mengerjakan soal terakhir. Waktu hampir habis, tetapi masih banyak persamaan matematika yang harus dipecahkan, penuh dengan angka kompleks dan huruf di kedua sisi persamaan. Saya merasa sangat cemas dan tidak ingin melanjutkan. Tiba-tiba, ujian beralih ke soal esai. Dalam mimpi itu, saya menyerahkan puisi yang ditulis seorang teman untuk saya. Ketika guru membacakannya dengan suara keras di depan seluruh kelas, saya takut orang-orang akan tahu bahwa tulisan tangan itu bukan milik saya.

Ketika saya bangun, saya menyadari bahwa masalahnya bukan pada disertasi itu sendiri, melainkan serangkaian ujian kultivasi yang harus saya hadapi. Saya selalu memandang ketidakmampuan saya menulis disertasi sebagai masalah orang biasa, atau bahkan sebagai penyakit. Jadi, terkadang saya hanya ingin menyelesaikannya secepat mungkin, agar saya bisa bebas keluar dan mengklarifikasi fakta serta menyelamatkan orang lain.

Namun, segala sesuatu yang kita temui di dunia manusia adalah bagian dari kultivasi kita. Bagaimana saya bisa meningkatkan xinxing dan menyelesaikan studi saya dengan cara yang bermartabat dan lurus, serta bagaimana saya bisa keluar dari ujian ini—itulah ujian sejati saya.

Menyingkirkan Rasa Takut Adalah Krusial

Dua bulan yang lalu, seorang rekan praktisi memberikan saya buklet petisi dan setumpuk lembaran tanda tangan. Saya berpikir, mungkin saya memang ditugaskan untuk mengisinya dengan tanda tangan. Saya belum pernah mengumpulkan tanda tangan atau membantu orang Tiongkok mundur dari Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan organisasi afiliasinya, jadi saya memutuskan untuk mencobanya sebagai upaya menerobos rasa takut saya. Awalnya, saya sangat gugup. Tidak seperti pendekatan saya yang biasanya agresif, kali ini saya mencoba berbicara dengan beberapa orang, dan secara mengejutkan, banyak dari mereka yang bersedia menandatangani. Tiba-tiba saya menyadari bahwa Guru sedang menyemangati saya, dan selama saya berusaha melangkah keluar dan melakukannya, maka hal itu bisa tercapai.

Pada 13 Mei, saya mengatur waktu untuk pergi bersama dua rekan praktisi baru ke Menara CN di Toronto untuk mengumpulkan lebih banyak tanda tangan. Awalnya, saya merasa sangat cemas berbicara kepada orang-orang yang lewat, dan orang-orang yang saya dekati tampak ragu-ragu. Namun, begitu dua rekan praktisi itu tiba, rasa takut saya berkurang, dan orang-orang pun menjadi lebih bersedia untuk menandatangani. Tetapi, banyak orang yang memakai topi bisbol biru sedang berjalan ke Rogers Centre di seberang jalan untuk menonton pertandingan bisbol, dan tak satu pun dari mereka yang mau menandatangani. Ketika saya mendekati kelompok lain, mereka bercanda bahwa mereka “terlalu lemah dan tidak punya keberanian” untuk menandatangani petisi. Tak peduli seberapa keras saya mendorong mereka, mereka bersikeras bahwa mereka tidak cukup berani dan buru-buru pergi.

Saat itu, tak ada lagi pejalan kaki di sekitar. Dua praktisi menunjuk ke seberang jalan dan berkata bahwa pertandingan bisbol akan segera dimulai, dan bahwa akan ada lebih banyak orang di dalam stadion. Melihat lautan topi biru itu, saya merasa kewalahan. Jika mereka menolak menandatangani saat di luar stadion, bagaimana mungkin mereka akan menandatangani saat sudah di dalam stadion? Tapi saya memutuskan untuk menerima saran dari para praktisi. Saya berpikir, Mungkin ini hanya konsep saya sendiri, jadi saya memaksakan diri untuk ikut ke dalam bersama mereka. Yang mengejutkan, di dalam stadion, banyak orang mulai menandatangani, bahkan sekelompok orang menandatanganinya bersama.

Belakangan, saya menyadari: rasa takut yang saya lihat pada orang-orang itu sebenarnya adalah cerminan dari rasa takut saya sendiri. Ketika mereka mengatakan bahwa mereka lemah, itu karena saya merasa lemah. Melalui pengalaman ini, Guru memperlihatkan keadaan pikiran saya dan membantu saya memahami bahwa reaksi orang lain sering kali adalah cerminan dari keterikatan saya sendiri. Ketika saya berhasil menerobos konsep, keraguan, dan rasa takut itu, mereka pun ikut menerobos rasa takut mereka terhadap PKT dan mulai bersedia menandatangani. Saya mulai mengatakan kepada orang-orang: “Suara satu orang mungkin terdengar lemah, tetapi ketika kita semua berdiri bersama dan berbicara, itu menjadi kekuatan yang luar biasa. Hal yang paling ditakuti PKT adalah suara kita.” Ketika saya mengatakan hal ini, lebih banyak orang lagi yang bersedia menandatangani.

Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa selama dua tahun terakhir, setiap kali saya mengklarifikasi fakta, baik dalam berbagai proyek maupun dengan keluarga dan teman, saya selalu menghindari hal-hal yang tidak perlu. Saya takut untuk langsung menyentuh inti permasalahan yang paling saya takuti. Rasanya seperti saya selalu menghindari ujian Xinxing (watak, kualitas moral) dengan disertasi dan dosen saya. Saat itu, rasanya seperti saya tiba-tiba terbangun dari mimpi.

Mengumpulkan Tanda Tangan di Tempat yang Paling Saya Takuti – Universitas Saya

Seorang rekan praktisi menyarankan agar saya kembali ke kampus untuk mengumpulkan tanda tangan. Awalnya, saya sangat takut, karena kampus dan orang-orang yang sudah saya kenal adalah tempat-tempat yang paling saya hindari untuk mengklarifikasi fakta. Namun, saya menyadari bahwa menghadapi rasa takut terdalam ini adalah rintangan yang harus saya lewati dalam kultivasi. Jadi, saya pun pergi ke kampus untuk mengumpulkan tanda tangan.

Rasanya seolah semuanya telah diatur khusus untuk saya: ada tempat parkir gratis di area hutan kecil di sekitar kampus, dan jalur menuju kampus mengalir begitu alami sehingga memungkinkan saya menyapa orang-orang yang lewat. Karena saya merasa tenang, orang-orang yang saya temui juga merasa santai, dan banyak yang menandatangani tanpa ragu.

Saya bertemu dua orang berbahasa Kanton yang mengaku Kristen. Awalnya mereka menolak menandatangani. Berbeda dengan sebelumnya, ketika saya akan merasa enggan jika ditolak, kali ini saya memaksakan diri untuk tetap teguh dan berbicara dengan ramah. Awalnya mereka bercerita tentang bagaimana PKT meningkatkan perekonomian Tiongkok, tetapi kemudian mengenang penderitaan kerabat yang dianiaya selama Revolusi Kebudayaan. Akhirnya, keduanya menandatangani petisi, termasuk istrinya yang pendiam. Setelah itu, mereka begitu bahagia hingga memeluk saya dan memperlakukan saya seperti keluarga. Itulah pertama kalinya saya merasakan sukacita dan rasa syukur dari makhluk hidup yang benar-benar memahami kebenaran, dan saya sendiri merasa sangat bahagia.

Ketika melanjutkan perjalanan keluar dari area hutan, saya tiba-tiba melihat dua teman dari laboratorium saya sedang duduk di luar gedung kampus, seolah-olah sedang menunggu saya. Dengan mengumpulkan keberanian, saya menjelaskan kepada mereka tentang petisi tersebut. Tanpa ragu sedikit pun, mereka langsung menandatangani.

Kembali melangkah ke lingkungan kampus ternyata terasa mirip dengan pengalaman di pertandingan bisbol. Karena saya berhasil menerobos rasa takut terhadap lingkungan yang sudah saya kenal, banyak orang menjadi bersedia untuk menandatangani. Beberapa dari mereka bahkan dengan tulus mengucapkan terima kasih atas apa yang kami lakukan. Saya menjadi semakin yakin bahwa menerobos keterikatan inti adalah kunci baik bagi kemajuan kultivasi saya maupun untuk menyelamatkan orang-orang pada tahap ini.

Suatu hari, saat berjalan-jalan di kampus, saya tiba-tiba merasakan kerinduan yang kuat untuk bertemu Guru. Saya mulai membayangkan Guru berjalan di samping saya dan bertanya-tanya di mana Guru berada. Saat itu, saya berbalik dan melihat seorang mahasiswa Tiongkok. Saya tertegun sejenak, lalu mengumpulkan keberanian dan dengan hati-hati mendekatinya, menanyakan apakah dia dapat mendukung diakhirinya penganiayaan. Dia berkata dia takut dan bergegas pergi. Saya tidak gentar dan dengan bercanda memanggilnya, "Jangan takut!" Yang mengejutkan saya, dia berlari sekitar sepuluh meter, tiba-tiba berbalik, dan berlari ke arah saya, meminta pena untuk menandatangani. Dia berkata dia khawatir dikenali. Saya mengatakan kepadanya bahwa tidak apa-apa menandatangani dengan nama panggilan. Dia tidak hanya menandatangani dengan nama Inggrisnya, dia memulai baris baru dan juga menandatangani dengan nama Tiongkoknya dan menulis alamatnya di Shanghai. Saya tercengang! Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk mencerna apa yang telah terjadi. Saya menyadari bahwa Guru selalu berada di sisi saya. Segala sesuatu dilakukan oleh Guru. Asalkan saya dapat melepaskan keterikatan manusia, percaya bahwa Guru bersama saya, dan percaya bahwa Guru berbicara menggunakan mulut saya, maka apa pun dapat tercapai.

Menerobos Rasa Takut dan Kebencian

Saat saya secara bertahap menyingkirkan rasa takut dan keterikatan saya melalui pengumpulan tanda tangan, saya juga menjadi lebih bertekad untuk mengatasi kesulitan dalam studi akademis saya.

Ketika menghadapi disertasi dan profesor saya lagi, betapa pun menyakitkan atau tidak nyamannya perasaan saya, saya memaksakan diri untuk bertahan di tengah gelombang penderitaan, ketakutan, dan kebencian terhadap orang lain, dan terus melangkah maju. Setiap kali saya bertahan, dosen saya seakan memberikan bimbingan untuk disertasi saya, menunjukkan jalan ke depan tepat ketika saya pikir semua harapan telah sirna. Meskipun saya masih belum selesai menulis, saya akhirnya melihat harapan untuk menerobos penghalang ini.

Selama proses ini, saya menyadari bahwa selama dua tahun terakhir, saya tidak pernah benar-benar melepaskan kebencian terhadap profesor. Saya takut disakiti, jadi saya tidak memercayainya dan bahkan bersikap defensif. Hambatan-hambatan ini membuat saya memandang rendah dan menjauhinya, yang mencegahnya membantu saya.

Ketika saya melepaskan ego dan dengan tulus meminta bimbingannya, dia justru mendapatkan ide-ide baru dan memberikan nasihat yang sangat membantu. Rasa terima kasih saya yang tulus membuatnya sangat senang. Dia bahkan meminta maaf karena telah mengabaikan saya selama dua tahun terakhir, dan mengatakan bahwa dia merasa bersalah. Saya dengan tulus memberitahunya bahwa rasa takut dan ego saya sendirilah yang membuat saya tidak bisa menerima bantuannya, dan bahwa sikap saya telah menyebabkan dia kehilangan kepercayaan diri dalam perannya sebagai pembimbing.

Sekarang, saya sedang giat menulis disertasi, dan dia membantu saya dengan melindungi saya dari tekanan yang datang dari berbagai arah. Saya merasa sangat bersyukur. Meskipun kami masih belum tahu kapan kami akan menyelesaikannya, kami akhirnya belajar bagaimana saling menghormati dan bekerja sama. Saya telah melepaskan ego dan dengan tulus mengikuti arahannya. Ketika masalah muncul, kami menyelesaikannya bersama-sama, bukannya saling menyalahkan, menekan, atau menyerah hanya karena belum melihat hasil akhirnya.

Mengatasi Keterikatan pada Nama, Kepentingan Pribadi, Hubungan Manusia, dan Urusan Hidup dan Mati

Seorang praktisi yang rutin membantu mengumpulkan tanda tangan di Balai Kota mendengar kisah saya dan mendorong saya untuk memberitahu profesor dan para mahasiswa lainnya tentang Falun Dafa dan penganiayaan yang terjadi. Dia berkata bahwa saya harus percaya mereka akan bisa memahami. Saya teringat betapa profesor saya sangat menjaga privasi, dan pikiran itu membuat saya ragu untuk mendekatinya. Namun praktisi ini dengan sabar dan terus-menerus mendorong saya untuk menyelamatkan profesor saya dan orang-orang di bidang ilmiah saya. Dia mengatakan, “Bicaralah langsung, jangan takut, dan percayalah bahwa orang-orang bisa memahami.”

Saya bekerja di bidang penelitian vaksin HIV, dan meskipun saya menyadari bahwa vaksin HIV yang sesungguhnya tidak dapat dikembangkan, gagasan untuk menyebut dewa dalam ranah sains mengejutkan saya. Saya juga ingat melihat, selama beberapa minggu terakhir di kampus dan di laboratorium, bagaimana orang-orang sangat mendukung dan membela kebenaran politik. Saya menyadari bahwa ketakutan terdalam saya justru inilah.

Dengan dukungan dari rekan-rekan praktisi, saya akhirnya melepaskan rasa takut saya akan kebenaran politik dan ateisme. Saya menyadari bahwa di balik rasa takut itu terdapat keterikatan saya: takut tidak disukai, takut menghadapi kritik atau skeptisisme dari opini publik dan otoritas, serta takut kehilangan semua nama dan kepentingan yang terkait dengan sistem ilmiah. Saya bertekad: Jika saya benar-benar dituntut untuk bicara, saya bersedia melakukannya, tidak peduli saya kehilangan apapun! Semua yang saya takuti hanyalah ilusi. Saya akan menapaki jalan yang Guru inginkan.

Mungkin Guru melihat hati saya untuk menyelamatkan orang. Suatu hari, saya bertemu dengan profesor di koridor dan tanpa sengaja menyinggung topik tersebut. Dia membaca petisi tersebut dengan saksama dan menandatanganinya. Saya percaya bahwa dengan melenyapkan ketakutan terdalam saya terhadap profesor, disertasi saya, dan bahkan teori evolusi, saya juga membantunya melenyapkan ketakutannya sendiri. Saat itu, banyak kenangan membanjiri pikiran saya. Saya melihat bagaimana, selama masa lalu saya yang keras kepala dan membenarkan diri, profesor selalu menoleransi saya. Ketidakpercayaan saya terhadap profesor dan keterikatan saya pada ego pribadi menghalanginya untuk memperoleh Fa. Nyatanya, profesor jauh lebih baik dan peka daripada yang pernah saya bayangkan.

Setelah itu, Guru juga mempertemukan saya dengan banyak profesor yang telah ditakdirkan. Saat mengumpulkan tanda tangan di kampus, saya bertemu dengan seorang profesor yang sebelumnya pernah saya klarifikasi fakta. Setelah ragu sejenak, dia menandatangani namanya, tetapi masih tampak ragu apakah itu akan berpengaruh. Saat saya naik lift bersamanya, kami bertemu dengan seorang profesor lain. Ketika saya menyebutkan bahwa saya hampir menyelesaikan disertasi saya, dia sangat gembira. Saya pernah berbicara dengannya sebelumnya tentang Dafa dan Shen Yun. Ketika saya menyerahkan petisi, dia ragu sejenak, tetapi kemudian melihat nama profesor lain di sana. Dia bertanya, "Apakah ini Profesor A?" Saya menjawab ya, dia seorang profesor genetika. Profesor kedua segera menandatangani juga.

Tak lama kemudian, saya mengelilingi kampus untuk mengumpulkan tanda tangan dari mahasiswa. Saat kembali ke pintu masuk gedung, tanpa sengaja bertemu lagi dengan profesor kedua itu. Kali ini dia ditemani beberapa profesor lain yang juga saya kenal dengan baik. Saya menjelaskan secara singkat situasinya dan kembali menekankan bahwa Falun Dafa-lah yang telah membantu saya pulih dari depresi dan membuat saya bisa kembali menulis disertasi. Mereka semua mengetahui kondisi saya dan merasa senang untuk saya. Selama percakapan, profesor tadi mendorong rekan-rekannya untuk menandatangani. Salah satu profesor yang merupakan sahabat dekatnya awalnya tidak ingin menandatangani. Dia bertanya, “Kenapa tidak? Tanda tangan saja!” Profesor itu tak bisa memberikan alasan, ragu sejenak, dan akhirnya ikut menandatangani.

Dengan penuh sukacita, saya membawa kembali petisi itu ke kantor saya. Dalam perjalanan, saya bertemu lagi dengan profesor pertama. Saya menunjukkan kepadanya tanda tangan profesor lainnya dan mengatakan bahwa mereka menandatangani karena melihat namanya di situ. Dia terlihat sangat tersentuh dan berkata, “Kita ini tim yang hebat.”

Saya tahu bahwa semua ini telah diatur oleh Guru. Yang perlu saya lakukan hanyalah mengultivasi hati saya. Setelah saya mencapai standar yang dibutuhkan, Guru dapat mempertemukan saya dengan orang-orang yang ditakdirkan untuk diselamatkan.

Menerobos Konsep Tentang Latar Belakang Seseorang

Seorang praktisi yang menjadi koordinator di lokasi klarifikasi fakta di luar konsulat Tiongkok mengatakan bahwa konsulat itu adalah sarang PKT. Setelah beberapa pengalaman sebelumnya, saya merasa bahwa pergi ke konsulat akan membantu saya menetobos ketakutan terdalam saya. Dalam perjalanan ke sana, saya tidak bisa menahan rasa gembira dan bahagia, seolah-olah saya telah menanti hari ini sejak lama. Begitu tiba di sana, saya melihat seorang pria berdiri di pinggir jalan dekat pintu masuk, sedang mengamati para praktisi. Tanpa banyak berpikir, saya langsung mendekatinya dan mulai mengklarifikasi fakta. Saya berbicara dengan sedikit terbata-bata, dan pada awalnya dia menolak mendengarkan. Lalu saya membahas pandemi dan kemungkinan banyak virus lain di masa depan, sambil mengatakan bahwa saya berbicara demi kesehatannya dan berharap dia bisa memahami kebenaran. Dia pun mulai mendengarkan, meskipun masih agak enggan.

Belakangan saya sadari bahwa ini adalah kesempatan yang langka. Biasanya, saat saya mendekati orang Tionghoa, mereka langsung menjauh sebelum saya sempat bicara banyak. Tapi agen PKT dibayar untuk berdiri di sana dan mendengarkan. Mereka adalah makhluk yang ditakdirkan dan tidak akan pergi begitu saja. Ini memberi saya kesempatan untuk melatih keterampilan klarifikasi fakta kepada orang Tionghoa. Jika saya bertemu mereka lagi, saya ingin berbicara dengan belas kasih, sehingga mereka bisa memahami fakta dan mundur dari PKT demi keselamatan mereka, atau faktor negatif di balik mereka akan begitu takut sehingga tidak berani datang lagi. Begitu saya sungguh-sungguh menerobos konsep tentang evolusi, saya benar-benar percaya bahwa setiap orang adalah makhluk Dewa yang turun ke dunia manusia demi Fa. Mereka hanya memilih identitas mereka saat ini karena telah terkubur terlalu lama di bawah kebohongan dan debu. Ketika mereka benar-benar memahami fakta, mustahil bagi mereka untuk terus melakukan perbuatan jahat, mereka adalah korban sejati dan justru yang paling membutuhkan penyelamatan. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah saya bisa mencapai kondisi belas kasih yang baik dan rasional, sehingga mampu menjelaskan dengan cara yang mereka pahami. Saat saya berpikir seperti ini, saya tidak lagi merasa takut maupun memiliki emosi negatif terhadap mereka.

Ketika kemudian saya mengumpulkan tanda tangan, saya menjadi semakin tenang dan mendekati orang-orang dengan pola pikir bahwa menandatangani nama mereka adalah untuk keselamatan mereka. Terkadang hanya perlu beberapa kata agar seseorang bersedia menandatangani. Saya bertemu seorang pria Tionghoa yang bekerja di rumah sakit terdekat. Setelah mendengarkan dan memahami, dia sangat tersentuh dan langsung mengambil pena untuk menandatangani. Saya semakin menyadari bahwa apakah seseorang bisa diselamatkan atau tidak, atau bersedia menandatangani atau tidak, bukan ditentukan oleh apa yang saya katakan, melainkan apakah hati saya benar-benar tulus ingin menyelamatkan mereka, bertindak demi mereka, dan bukan hanya sekadar mencari dukungan.

Seolah-olah alam semesta membenarkan pemahaman ini. Seorang wanita muda Barat dengan sangat tulus menandatangani petisi untuk dua praktisi yang tidak fasih berbahasa Inggris. Saya mendekatinya untuk menjelaskan tentang apa yang kami lakukan. Dia langsung bertanya apakah dia bisa mendapatkan lebih banyak bunga lotus kecil. Saya memberinya segenggam. Dia sangat senang, dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tas. Dia berkata ingin membagikannya kepada teman-temannya di komunitas seniman. Saya memintanya untuk menyampaikan apa yang telah kami katakan dan melafalkan kata-kata yang tertulis di bunga lotus itu. Dia berjanji dengan antusias. Dia mengatakan bahwa dia mengerti semuanya dan memeluk saya. Dia memberitahu bahwa dia selalu membawa Alkitab di dalam tasnya. Dia sangat bahagia dan meminta lebih banyak brosur.

Saya kemudian berbicara dengan seorang homoseksual. Setelah memahami kebenaran, dia ingin membantu anak dan pasangannya menandatangani petisi. Setelah ragu sejenak, saya segera melepaskan konsep saya dan memberinya bunga lotus, lalu memintanya melafalkan kata-kata yang tertulis pada bunga lotus. Dia mengatakan bahwa semua yang saya katakan persis seperti yang dikatakan pasangannya. Akhirnya, dia dengan bersemangat meminta lebih banyak bunga lotus kecil, mengatakan bahwa dia tidak sabar untuk naik bus dan mulai berbagi pesan tersebut dengan orang lain. Itulah pertama kalinya saya menyaksikan perubahan yang begitu mendalam pada seseorang yang benar-benar memahami kebenaran. Keinginannya untuk menyelamatkan orang lain, ketakutan mereka untuk meninggalkan orang yang ditakdirkan untuk mereka, sangat menyentuh dan menginspirasi saya.

Dalam perjalanan pulang, saya terus merenungkan kembali. Saya menyadari bahwa terlepas dari ras—Tionghoa, Kulit Hitam, atau Kulit Putih; terlepas dari pekerjaan—profesor atau mata-mata; terlepas dari agama—Kristen atau Islam; terlepas dari kelompok—kebenaran paling mendasar adalah bahwa setiap orang adalah makhluk yang turun dari alam tinggi dan membawa sisi Dewa. Yang menghalangi kita untuk menyelamatkan mereka bukanlah identitas mereka, melainkan konsep manusia saya tentang mereka. Ketika saya melepaskan konsep-konsep saya tentang identitas seseorang, mereka juga melepaskan identitas itu, menembus lapisan demi lapisan konsep dangkal, dan terhubung langsung dengan sisi Dewa mereka—hingga akhirnya tersadarkan.

Setelah pulang, saya merasa benar-benar sedang menapaki jalan Dewa. Saya benar-benar melepaskan kecemasan dan keterikatan saya tentang kapan disertasi saya akan selesai. Saya berkata pada diri sendiri bahwa selama saya bisa melakukan yang terbaik, itu sudah cukup.

Setelah saya benar-benar rileks, dan tidak lagi terobsesi untuk membuktikan apa pun, saya tiba-tiba melihat perspektif dalam data penelitian saya yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tiba-tiba, saya punya ide untuk disertasi saya, saya bisa menulis lagi! Saya merasa bahwa penghalang hidup dan mati yang telah menjerat saya selama bertahun-tahun akhirnya akan segera berlalu.

Saya sangat berterima kasih kepada Guru. Terima kasih kepada rekan-rekan praktisi!

Ini adalah pemahaman saya di tingkat saya saat ini. Mohon tunjukkan dengan baik jika ada hal yang tidak sesuai dengan Fa. Heshi.

(Artikel Berbagi Pengalaman Terpilih yang Disampaikan pada Konferensi Fa Kanada 2025)