(Minghui.org) - Salam hormat kepada Shifu Yang Agung,
Salam gigih maju kepada seluruh Praktisi,

Nama saya : Arum. Oleh teman – teman, saya biasa dipanggil Ibu Arum. Saya praktisi Denpasar. Suami saya anggota TNI di Kodam Udayana Saya mempunyai empat orang anak, dua orang perempuan dan dua orang laki – laki. Anak saya yang keempat lahir setelah anak saya yang nomor tiga berumur 10 tahun, dan saat ini ia berusia dua tahun.

Suami saya tidak mendukung tetapi juga tidak melarang saya ikut Falun Dafa. Ia mendalami aliran spiritual yang saya tidak tertarik untuk mengikutinya, karena tidak cocok dengan nurani saya. Anak saya yang pertama dan kedua sama seperti ayahnya. Mereka tidak begitu begitu mendukung namun tidak menentang saya untuk berkultifasi Falun Dafa. Anak saya yang ketiga karena umurnya masih kecil, ia belum memiliki respon yang pasti dengan apa yang saya lakukan dalam kegiatan spiritual. Meski ia sering bingung, saya merasakan ia percaya bahwa Falun Dafa pilihan ibunya adalah baik.

Sejak kecil saya berkeinginan untuk menjadi orang baik. Saya berpikir, bahwa dengan menjadi orang baik maka saya akan mampu mengatasi segala masalah hidup saya. Dalam hidup saya, sebelum saya memperoleh Dafa, saya juga selalu berdoa agar saya bisa menyelesaikan tugas hidup saya. Namun saya tidak pernah tahu apa tugas hidup saya yang sebenarnya. Ketidak tahuan ini dan keinginan menjadi orang baik menyebabkan saya menjadi gelisah sepanjang hidup saya. Saya terus menerus mencoba mencari jawabannya untuk mengatasi kegelisahan saya. Pada akhirnya saya menyimpulkan, saya harus mendapatkan guru spiritual yang sejati, yang bisa membimbing saya untuk mengatasi kegelisahan saya, yang bisa menunjukkan makna dari hidup saya yang sebenarnya.

Sudah banyak aliran spiritual yang saya coba ikuti, jajagi dan mendalaminya. Namun saya belum juga menemukannya. Saya bahkan pernah kuliah di Universitas Hindu Indonesia di Denpasar, hanya semata – mata karena keinginan saya mendapatkan guru sejati tersebut. Saya tetap saja merasa saya tidak pernah menemukan guru sejati yang saya cari.

Sampai pada akhirnya, pada bulan Pebruari 2005. Saya jalan – jalan di Lapangan Bajra Sandhi di Denpasar. Saya berjalan-jalan dilapangan Bajra Sandhi. Ketika saya melihat kearah teras timur monumen saya melihat dari jauh ada spanduk yang berisi tulisan :”Tempat Latihan Falun Dafa”. Saya jadi teringat dengan artikel yang pernah saya baca dan menyentuh hati saya pada tahun 1999. Dalam artkel itu ditulis bahwa praktisi Falun Gong dianiaya oleh pemerintah China walaupun sebenarnya Falun Gong itu baik. Saat itu saya bersimpati dengan Falun Gong. Saya bertanya – tanya dalam hati, apakah mungkin ini yang dimaksud dengan Falun Gong sebagaimana artikel yang pernah saya baca. Saya lalu masuk kearena tempat orang – orang yang sedang berlatih Falun Dafa. Dan lalu saya ikut berlatih. Sore harinya saya ke Gramedia membeli buku Zhuan Falun sebagaimana yang disarankan praktisi yang melatih saya. Dalam tiga hari saya selesai membacanya. Dan ketika saya selesai membacanya, tiba – tiba saja saya tersadar dan merasa yakin bahwa inilah guru sejati yang saya cari – cari selama ini.

Dalam awal – awal perjalanan saya berkultivasi, saya kemudian teringat kembali dengan doa – doa saya sebelum berkultivasi yakni untuk bisa melakukan tugas – tugas hidup saya sebagaimana mestinya, yang seperti telah saya ceritakan saya sama sekali tidak mengetahui apa sebenarnya tugas – tugas saya tersebut. Melalui membaca buku Zhuan Falun dan ceramah – ceramah Shifu, enam bulan setelah saya berkultivasi Falun Dafa, saya kemudian menyadari bahwa melakukan tiga hal itulah yang merupakan tugas hidup saya yang seharusnya saya jalani. Saya menyadari bahwa berklarifikasi dan menyelamatkan mahluk hidup adalah suatu tugas yang harus saya jalani disamping saya belajar Fa, berlatih, dan Fa Zheng Nian.

Saya mulai berusaha, setiap saat memompa semangat saya untuk selalu melakukan klarifikasi. Dalam setiap kesempatan, disela – sela waktu luang, saya menemui orang – orang yang saya kenal untuk berklarifikasi. Saya membagi – bagi brosur, membagi – bagikan koran The Epoch Time dan Daijuan kepada orang – orang yang saya temui. Saya juga menaruh brosur – brosur diwarung – warung yang saya kenal dan juga di ATM – ATM.

Dan kemudian, muncul dalam benak saya Cirebon, sebuah kota di Jawa Barat. Saya berpikir, kenapa saya tidak berklarifikasi di Cirebon?. Kota ini bagaikan magnit yang semakin hari semakin kuat menarik diri saya agar sesegera mungkin melakukan klarifikasi pada penduduknya, dan saya menjadi terobsesi agar bisa membuka tempat latihan di Cirebon. Saya yakin, dengan adanya tempat latihan di Cirebon, maka klarifikasi di kota Cirebon akan berjalan meluas secara otomatis.

Dan mulailah saya rajin pulang ke Cirebon, tetapi dalam waktu yang singkat-singkat. Setiap kali saya pulang ke Cirebon saya selalu mengutamakan waktu saya untuk melakukan klarifikasi. Seperti yang saya lakukan di Bali, saya juga membagi – bagi brosur ke Mall – mall, menaruhnya di ATM – ATM, dan berklarifikasi pada orang – orang yang saya temui. Kegiatan ini sudah beberapa kali saya lakukan, namun tetap saja saya tidak berhasil untuk membuka tempat latihan. Tidak pernah ada orang yang menyatakan keinginannya untuk berlatih Falun Dafa. Saya merasa sedih, dan saya berpikir pasti ada sesatu yang salah dengan diri saya. Kegagalan ini menyebabkan saya terus berpikir keras untuk mencari jalan agar saya bisa mengatasinya.

Suatu saat saya membaca ceramah Shifu di New York tanggal 24 Nopember 2004. Beliau mengatakan : “Saya cemas, saya cemas demi kalian, waktu sudah semakin mendesak. Anda sekalian telah melihat, perubahan situasi juga sangat besar. Jika penganiayaan ini mendadak berakhir, maka sudah tidak ada kesempatan apapun, segalanya sudah akan ditentukan”.

Membaca ceramah ini, saya berpikir, saya tidak boleh berlengah – lengah. Saya merasa saya harus sesegera mungkin untuk bergerak melakukan klarifikasi. Sekaranglah saatnya untuk melakukan klarifikasi, tidak ada waktu lagi untuk melakukannya lain kali. Saya merasa saya harus segera berangkat ke Cirebon.

Akhirnya pada bulan Oktober 2007. Saya memutuskan untuk kembali lagi ke Cirebon, dan juga memutuskan saya harus tinggal di Cirebon dalam waktu yang lama, paling tidak tiga bulan. Tidak mungkin dalam waktu yang singkat – singkat seperti sebelumnya. Pengalaman yang lalu mengajarkan, saya tidak pernah berhasil membuka tempat latihan jika saya tinggal dalam waktu yang terlalu singkat.

Namun tidaklah begitu gampang untuk menjalankan rencana ini. Muncul konflik perasaan pada diri saya. Bagaimana tidak, saya punya keluarga, punya suami dan anak – anak yang membutuhkan saya. Jika saya tinggalkan mereka, maka tidak akan ada yang mengurus mereka, dan rasanya saya mengingkari harkat saya sebagai seorang istri dan ibu. Mereka tentunya akan sakit hati dengan kepergian saya, dan tentunya saya akan kehilangan cinta mereka. Anak saya yang nomor tiga menangis berkepanjangan ketika saya ceritakan rencana saya ini. Hati saya terenyuh.

Disisi lain, kesadaran saya sebagai seorang praktisi yang sedang xiulian Falun Dafa juga semakin mencuat. Saya adalah seorang praktisi Falun Dafa, saya sedang mengemban kewajiban untuk melakukan tiga hal. Dan Shifu sudah mengingatkan saya bahwa saya harus segera melakukan penyelamatan manusia. Saat – saat tersadarkan seperti ini, saya berpikir, selaku seorang yang xiulian semestinya saya tidak boleh larut pada perasaan dan pikiran sebagai seorang manusia. Ya saya tidak boleh berpikir sebagai seorang manusia biasa.

Saya terombang – ambing dalam konflik perasaan yang berkepanjangan.

Saya kemudian mencoba mencari kedalam dan mencari penyelesaian lewat Fa. Saya lalu secara intensif mendalami ajaran Shifu yang menyangkut masalah yang sedang saya hadapi.

Pada ceramah Shifu di Los Angeles 28 Pebruari 2004, saya menemukan tulisan Shifu sebagai berikut :
Tanya : Di daerah kami ada seorang pengikut Dafa karena sibuk dengan pekerjaan Dafa sehingga mengabaikan kewajiban yang harus dipikulnya dalam keluarga.
Shifu : Praktisi yang mengajukan pertanyaan ini sepertinya juga punya keterikatan, jangan memanfaatkan ucapan Shifu. Yang saya beritahu kalian adalah dimanapun juga harus menjadi seorang yang baik, juga harus supaya orang-orang mengatakan anda adalah seorang pengikut Dafa. Pekerjaan keluarga harus ditangani dengan baik, urusan dalam lingkungan kerja harus ditangani dengan baik. Sebagai pengikut Dafa, bagaimana hasil Xiulian anda, bagi orang-orang di dunia justru terwujud dalam hal-hal tersebut. Anda mengatakan kultivasi saya baik, saya adalah pengikut Dafa, tetapi anda justru berpenampilan tidak baik didalam hal-hal tersebut bagi orang-orang di dunia, jadi bagaimana dapat mewujudkan Xiulian anda itu baik, (tertawa) bukankah demikian? Tentu saja, ada sebagian pengikut Dafa kita kultivasinya memang baik, hanya saja telah mengabaikan pada aspek tersebut, tetapi kondisi dari kultivasi yang baik bukan ditampilkan secara buatan, melainkan terbawa sendiri oleh orang Xiulian.

Di Jingwen pada artikel Larangan bagi Orang Yang Xiulian, diparagraf yang terakhir, Shifu mengatakan :
“Terikat dengan hubungan perasaan kekeluargaan, pasti akan dibuat letih olehnya, terjerat olehnya, tersiksa olehnya, dengan memegang erat tali hubungan perasaan kekeluargaan akan mengganggunya seumur hidup, pada akhir usianya menyesalpun sudah terlambat”.

Dari Ceramah dan Jingwen tersebut saya memperoleh pemahaman bahwa sebagai seorang xiulian saya harus mampu melepas keterikatan diri pada perasaan termasuk keterikatan diri pada perasaan kekeluargaan. Saya hanya membutuhkan suatu keberanian untuk melepaskan diri dari ketakutan akan perasaan kekeluargaan. Saya harus berani meninggalkan keluarga saya.

Sempat terpikir oleh saya, apakah tindakan saya tidak terlalu ekstrim?. Dan ketika terpikirkan hal ini, saya kemudian secara tiba – tiba tersadar bahwa keluarga saya, suami dan anak – anak saya adalah pribadi – pribadi yang mandiri. Mereka mampu untuk tidak terlalu menggantungkan diri mereka pada istri dan ibu mereka. Beberapa kali saya telah meninggalkan mereka ke Cirebon, dan ketika saya kembali berkumpul dengan mereka, saya merasa mereka tetap dalam kondisi semula seperti sebelum saya tinggalkan, tidak ada yang berubah, baik hidup mereka maupun cinta mereka kepada saya. Kami selalu berkumpul kembali secara utuh sebagaimana semula sebelum saya pergi ke Cirebon.

Tekad saya untuk melepaskan diri dari keterikatan pada keluarga semakin kuat setelah saya kemudian membaca Ceramah Shifu di Chicago 23 Mei 2004. Shifu berkata : ”Kejahatan akan memanfaatkan segala celah kekosongan, setiap gerak pikiran dan perbuatan kalian semuanya diamati dengan tamak dan buas oleh kejahatan. Apa yang kalian jadikan keterikatan maka kejahatan akan memperkuatnya, bila pikiran kalian tidak lurus mereka akan membuat kalian jadi tidak rasional.”

Saya akhirnya berangkat ke Cirebon. Seluruh waktu saya pergunakan untuk melakukan klarifikasi dan membagi – bagikan brosur ke pelosok – pelosok Cirebon. Satu bulan sudah berlalu. Tetap saja tidak seorangpun yang tertarik untuk berlatih Falun Dafa. Saya tetap belum mampu untuk membuka tempat latihan. Dihadapan foto Shifu, saya menunduk malu, sedih, dan meneteskan air mata tanpa saya sadari. Saya sudah cukup lama meninggalkan keluarga, namun usaha saya tetap sia – sia. Aneh, saya merasa hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin tidak ada seorangpun penduduk Cirebon yang tidak memiliki jodoh pertemuan dengan Dafa.

Saya mencoba dengan hati jernih mencari kedalam. Dan secara tiba – tiba bisa menemukannya jawabannya. Ternyata selama ini saya terkungkung oleh keterikatan saya pada perasan kekeluargaan, perasaan terhadap orang tua, perasaan sungkan terhadap orang tua. Ceritanya : ketika saya awal – awal pulang ke Cirebon, saya secara terbuka bercerita pada kedua orang tua saya - yang muslim, bahwa saya telah berkultivasi tunggal pada Falun Dafa. Ayah saya tidak secara terbuka menyatakan melarang, namun saya tahu beliau tidak setuju dengan apa yang saya lakukan. Tidak demikian dengan ibu saya. Beliau dengan keras meenentang keputusan saya, dan berkata pada saya :”Awas kalau kamu disini menyebarkan Falun Dafa”.

Cukup lama saya tidak berani melawan mereka, dan saya berusaha menjaga tindakan saya agar tidak menyakiti hati mereka. Saya tidak berani melakukan klarifikasi dihadapan mereka, dan juga tidak berani melakukannya pada tetangga – tetangga orang tua saya. Dan kini saat saya mencari kedalam, saya tersadar bahwa saya telah terkungkung begitu kuat dan begitu lama dengan keterikatan perasaan saya. Saat itu juga saya kemudian bertekad, saya akan mendobrak keterikatan saya pada perasaan terhadap orang tua, dan saya memutuskan mulai besok akan melakukan klarifikasi pada tetanga.

Aneh, esok harinya datang kerumah saya tetangga yang namanya Bu Joko. Ia mengeluh menderita sakit bermacam – macam penyakit. Dan tanpa berpikir panjang, tanpa terikat oleh perasaan sungkan dan takut pada orang tua, saya langsung melatihnya perangkat gerakan I, III, dan IV dua kali putaran. Esoknya ia datang kembali dan menyatakan tubuhnya terasa lebih enak dan lebih sehat. Lalu saya latih lagi, dan saya mengajak kedua orang tua saya untuk ikut berlatih.

Bu Joko yang sudah sembuh ternyata berklarifikasi pada tetangga – tetangga lainnya, dan mulailah mereka berdatangan untuk ikut berlatih. Kami berlatih dirumah saya termasuk kedua orang tua saya. Karena semakin banyak yang ikut berlatih, akhirnya saya buka latihan secara terbuka di balai kampung saya tinggal. Diluar itu setiap malam ada sekitar lima sampai delapan orang yang berlatih dirumah saya. Kami juga sempat sekali berlatih dilapangan umum di Kota Cirebon.

Tidak terasa, tiga bulan saya telah meninggalkan keluarga saya. Anak saya yang ketiga telah berulangkali menelpon saya, meminta saya agar saya pulang. Keinginan saya untuk bisa membuat orang – orang Cirebon berlatih sudah terwujud. Sudah sepantasnya saya pulang untuk merawat keluarga saya setelah sekian lama saya tinggalkan. Saya pikir, jika situasi memerlukan, maka saya bisa kembali lagi ke Cirebon pada kesempatan yang lain.

Saya kembali kekeluarga saya, dan saya menemukan mereka tetap seperti sediakala, tidak ada yang berobah. Saya merasa, rumah saya, kehidupan mereka, cinta mereka kepada saya, dan juga cinta saya kepada mereka tetap seperti semula. Saya yakin Shifu telah melindungi saya dan keluarga saya, beliau telah mengatur segalanya, dan ini terjadi karena saya berjalan pada jalan Dafa.

Saya sadar bahwa apa yang saya lakukan bukanlah sesuatu yang istimewa. Pekerjaan seperti ini bisa dilakukan oleh setiap praktisi karena apa yang diberikan oleh Shifu kepada semua praktisi adalah sama.

Sebenarnya, pada awalnya saya malu untuk menceritakan semuanya ini, tetapi saya pikir seandainya ini dapat bermanfaat bagi teman – teman praktisi, maka semestinya saya tidak menyimpan sendiri pengalaman kultivasi ini sendirian.

Mohon teman-teman sudi untuk meluruskan jika ada yang salah dengan cerita saya.

Denpasar, 25 Juni 2008