(Minghui.org) Siapa tidak mengenal Ubud, daerah yang dipandang sebagai pusat kesenian di Bali? Banjar (baca: dusun) Tebongkang terletak sekitar empat kilometer di sebelah Barat Daya Ubud. Tebongkang merupakan salah satu dusun di Desa Singakerta, Kecamatan Ubud di Kabupaten Gianyar. Sejak awal September 2009 para praktisi Falun Dafa setempat telah mengadakan latihan di halaman wantilan (gedung serba guna) seberang jalan sebelah Timur Pura Puseh.

Rabu, 11 November 2009, sore hari koresponden Kebijakanjernih.net - menyaksikan sekitar tujuh belas orang praktisi sedang berlatih. Selain dari Tebongkang, praktisi yang ambil bagian dalam latihan juga berasal dari dusun dan desa sekitarnya. Sebagai contoh Desak Ariani (36), ibu dua orang anak dari Banjar Mambal Kanginan ini harus menempuh jarak lumayan jauh datang berlatih di Tebongkang. Ia mengaku baru berlatih sebanyak empat kali dan hatinya sekarang merasa tenang. Seorang praktisi memberikan dorongan semangat kepada karyawan pabrik air minum Aqua ini untuk rajin membaca buku Zhuan Falun.

Praktisi sedang berlatih

Ketenangan hati dan kesehatan pribadi juga didapatkan oleh Ni Wayan Darsi (35) dari Banjar Kengetan. Wanita yang setiap pagi berjualan daging dan sayur-mayur di Banjar Lobong ini telah berlatih Falun Dafa sejak enam bulan lalu bersama suaminya. Kesaksian serupa diberikan oleh Sang Putu Budha (68). Mantan pedagang ini sudah berlatih Falun Dafa selama setengah tahun dan penderitaannya akibat penyakit asam urat sudah jauh berkurang. Ia sekarang merasa sehat dan tenang. Ia mengatakan akan terus berkultivasi Falun Dafa dengan sungguh-sungguh.

Seperti di tempat-tempat latihan lainnya, para praktisi Falun Dafa yang sedang berlatih di depan wantilan Tebongkang tidak terusik hiruk-pikuk lalu-lintas jalanan. Setiap orang tampak berkonsentrasi melatih diri sendiri, tidak memikirkan keramaian situasi sekitar. Seluruh praktisi tampak sangat serius melakukan setiap gerakan. Keseragaman gerakan latihan ini sempat menarik perhatian para pemain bulutangkis yang akan bertanding petang hari itu. Dari dalam wantilan dua orang menengok ke luar ke arah para praktisi.

Seorang di antara mereka bertanya keheranan, “Kok gerakannya bisa seragam ya? Apakah musik itu yang memberikan komando?”

“Ya!” jawab praktisi yang sedang mengambil gambar di dekat mereka. “Kami memang berlatih dengan iringan musik. Apakah anda berdua sudah mengetahui latihan Falun Dafa ini?”

“Belum!” jawab mereka serempak. Lalu praktisi ini mengambil brosur Falun Dafa dari dalam tasnya dan memberikannya kepada kedua pemain bulutangkis tersebut. “Silakan dibaca,” lanjut praktisi.

Spanduk Falun Dafa di pinggir jalan

Untuk membantu orang-orang yang belum mengetahui Falun Dafa, di pintu masuk wantilan di pinggir jalan raya praktisi juga memasang spanduk. Mereka yang lalu-lalang dapat melihat spanduk ini sepanjang latihan berlangsung. Mereka yang sempat berhenti sejenak akan dapat membaca dengan jelas tulisan “Falun Dafa. Kultivasi Jiwa dan Raga. Bebas Biaya.”

Latihan berakhir pukul 18.10 seusai para praktisi melakukan pemancaran pikiran lurus bersama-sama. Setelah para praktisi bubar dan kembali ke rumah masing-masing, koresponden Kebijakanjernih sempat bercakap-cakap sejenak dengan penanggungjawab tempat latihan, Dewa Putu Madia (57) alias Dewa Aji. Cuplikan wawancara dan kisahnya tersaji seperti berikut.

KJ: “Dapatkah anda bercerita sedikit tentang awal mula ikut latihan Falun Dafa?

DA: “Kalau tidak salah ingat, saya menerima buku Zhuan Falun pemberian adik ipar saya di bulan Agustus 2005. Saat itu sikap saya acuh dan tidak peduli, buku itu saya letakkan di atas lemari berbulan-bulan.”

Suatu saat adik iparnya bertanya, “Apakah buku Zhuan Falun sudah dibaca?”

Dengan ringan Dewa Aji menjawab, “Saya sibuk, tidak ada waktu!”

Beberapa waktu kemudian adik iparnya kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Ia pun memberikan jawaban yang tidak berbeda, “Saya sibuk, tidak ada waktu!”

Jawaban ini tidak membuat adik iparnya patah semangat, sebaliknya ia terus memikirkan cara untuk membantu sang kakak ipar. Akhirnya ia memberikan kepada sang kakak ipar sepasang kaca mata baca. Agaknya inilah yang meluluhkan kekerasan hati Dewa Aji, ia pun terdorong membaca buku.

“Terus terang saya mulai membaca buku setelah diberi kaca mata oleh adik ipar saya.  Anehnya, ketika saya membaca pertama kali, saya tidak bisa berhenti membaca. Saya tidak mau berhenti membaca, dan saya ingin terus membaca.”

Dalam kesaksiannya, Dewa Aji mengaku sebelum berlatih Falun Dafa ia menderita sakit kepala yang sangat parah. Ketika penyakitnya kumat, mulutnya mengalami kesemutan dan tidak jarang hal itu membuatnya jatuh pingsan. Dewa Aji merasa bersyukur atas anugerah kesehatan prima karena berkultivasi Falun Dafa. Ia pun sudah meninggalkan kegemarannya di masa lalu metajen (sabung ayam) dan maceki (main kartu).

Koresponden Kebijakanjernih juga sempat mencatat kejadian unik yang dialami Dewa Aji di bawah ini.

Suatu hari Dewa Aji melihat sebuah ranting pohon melintang di dekat rumahnya. Kemudian ia mengambil blakas (pisau besar), lalu memotong ranting pohon itu. Ranting itu sendiri tidak besar, tapi anehnya blakas yang demikian kuat bisa terlepas sendiri dari gagangnya. Ia pun tidak mengayunkan blakas itu dengan sekuat tenaga. Secara aneh mata pisau blakas itu berbalik arah dan melukai bibirnya. Darah pun muncrat deras keluar. Kejadian ini membuat bibir atasnya hampir putus terpotong. Dokter yang menanganinya heran, blakas itu mestinya terlebih dahulu menghantam dahi dan hidungnya. Tapi ini hanya bibir atas yang jadi sasaran. Tentu saja, peristiwa ini berlangsung sangat cepat. Anehnya, kendati menderita luka parah Dewa Aji tidak merasa sakit sedikit pun dan hatinya tetap tenang.

Seperti praktisi Falun Dafa lainnya, berkat ketekunan belajar Fa dan berlatih Gong serta meningkatkan kualitas moral (xinxing), Dewa Aji menikmati kesehatan pribadi yang baik. Hal ini membuat kakek beberapa orang cucu ini bisa terus aktif melakukan kesibukannya sehari-hari di rumah serta terlibat dalam kegiatan adat di desanya. Sebagai seorang wirausaha, Dewa Aji belum memasuki masa persiapan pensiun. Sampai saat ini ia masih giat menekuni usaha jual-beli sapi yang telah digelutinya selama bertahun-tahun.

Pada suatu hari Dewa Aji hendak membeli seekor anak sapi. Anak sapi ini tampak sehat, berumur sekitar 6 – 7 bulan. Ketika datang melihatnya, entah mengapa anak sapi ini tiba-tiba menjadi garang. Dari jarak 10 meter ia berlari dengan kecepatan tinggi menerjang Dewa Aji. Anak sapi ini menghantam Dewa Aji tepat di dada sebelah kiri. Dewa Aji terpental jungkir-balik sebanyak tiga kali ke belakang. Orang-orang di lokasi kejadian tidak bisa berbuat apa-apa. Semuanya berlangsung mendadak, demikian cepat. Semua orang kehilangan kata-kata. Dengan wajah cemas akhirnya orang-orang membantu Dewa Aji bangkit berdiri dari tanah. Mereka khawatir Dewa Aji akan muntah darah, tetapi ternyata Dewa Aji baik-baik saja.

Saat kejadian berlangsung, Dewa Aji mengaku tidak merasa takut sedikit pun, juga tidak merasa sakit ketika diterjang demikian keras oleh anak sapi. Ia yakin semua keanehan dan keajaiban ini berkat berlatih Falun Dafa. Kejadian itu sendiri berlangsung sekitar tengah hari. Ketika itu Dewa Aji sadar akan saatnya memancarkan pikiran lurus. Ketika kembali ke rumah, ia meneteskan air mata karena mengingat kejadian yang baru saja menimpa. Ia tak kuasa menahan rasa haru dan syukur serta penyesalan yang bercampur menjadi satu. Rasa haru dan syukur memenuhi hatinya karena belas kasih dan perlindungan Shifu. Pada saat yang sama penyesalan sangat menyesakkan dadanya karena saat itu ia tidak menjalankan kewajiban seorang praktisi, memancarkan pikiran lurus!