(Minghui.org) Praktisi Falun Gong Jerman mengadakan rapat umum di Berlin pusat pada tanggal 13 Juli 2016, di Potsdamer Platz untuk meningkatkan kesadaran atas penganiayaan di Tiongkok. Tiga praktisi menceritakan pengalaman mereka ketika ditahan dan disiksa di kamp kerja paksa di Tiongkok karena menolak untuk melepaskan latihan Falun Gong, sebuah latihan kultivasi damai yang berdasarkan atas prinsip-prinsip Sejati-Baik-Sabar.

Kurus Kering dan Tangan Cacat

Xu Hui, praktisi dari Provinsi Liaoning, ditangkap tiga kali karena berlatih Falun Gong, pernah ditahan di lebih dari 10 lokasi termasuk di Kamp Kerja Paksa Masanjia yang terkenal jahat. Praktisi Falun Gong disiksa dengan sangat parah di Masanjia.

“Wajah saya ditampar, disetrum dengan tongkat listrik, dicekok paksa, dipaksa menelan obat-obatan, diborgol atau digantung untuk waktu yang lama. Dilarang tidur sudah menjadi hal yang saya alami setiap hari,” katanya mengenang.

Kedua tangan Xu Hui cacat akibat penyiksaan. Dia tidak bisa mengepalkan tangan kanannya
Kedua tangan Xu Hui cacat akibat penyiksaan. Dia tidak bisa mengepalkan tangan kanannya

Setelah diborgol dengan erat pada pipa pemanas selama tiga hari berturut-turut, tangannya menjadi cacat. Karena athropia otot serta mati rasa di tangannya, kini dia tidak bisa mengepalkan tangan kanannya. Cekok paksa yang brutal juga membuatnya kehilangan tiga buah gigi.

Xu Hui, sebelumnya memiliki berat badan hampir 60kg, akibat penganiayaan dan kondisi hidup serta kondisi kerja yang buruk, dia menjadi kurus kering. Beratnya turun menjadi 40kg (88 pon).

Tidak Tidur Selama 15 Hari Berturut-turut

Li Jun, juga berasal dari Provinsi Liaoning, ditangkap sebanyak empat kali sejak penindasan dimulai pada tahun 1999. Dia juga pernah ditahan dua kali di Kamp Kerja Paksa Masanjia.

“Saya dikirim ke Kamp Kerja Paksa Dalian pada Agustus 2003, untuk menjalani hukuman di sana selama dua tahun,” katanya. Dia dipaksa berdiri dalam waktu yang lama, pernah selama 15 hari berturut-turut di dalam kurungan isolasi.

“Saya harus berdiri di dalam kerangkeng besi 24 jam sehari,” kenang Li. Selain itu, para penjaga melarangnya untuk menggunakan toilet. Mereka juga memerintahkan tahanan lain untuk mengawasinya sepanjang waktu dan memukulinya dengan brutal bilamana dia memejam mata. Akibatnya, kakinya bengkak parah, wajahnya memar-memar, dan dia hampir kehilangan kesadaran.

Li sering digantung dengan tangan terborgol pada pipa pemanas, dengan kaki tidak menyentuh lantai. Borgol di tangannya kemudian mengiris daging pergelangan tangannya, menyebabkan rasa sakit yang sangat hebat.

Lebih dari 30 Macam Penyiksaan

Guo Jufeng, penduduk dari Kota Shuangyashan, Provinsi Heilongjiang, ditangkap sebanyak empat kali di Tiongkok karena berlatih Falun Gong. “Setelah penangkapan terakhir, saya ditahan di tiga kamp kerja paksa, dimana saya mengalami lebih dari 30 macam metode penyiksaan fisik maupun mental.” Suatu kali, dia disetrum dengan tongkat listrik selama lima jam, sampai dia sendiri bisa mencium bau dagingnya terbakar.

Selain itu, Guo ditahan di sel isolasi dua kali, dengan total lebih dari 40 hari. Selnya sangat kecil. Makanan hanya diberikan dua kali sehari, masing-masing sepotong roti jagung. Karena roti jagung yang diberikan sudah dingin dan kering, maka sulit untuk ditelan. Namun demikian, tidak ada air yang diberikan. Dia harus minum air dari toilet ketika merasa haus.

“Selama bertahun-tahun, ada lebih dari 20 praktisi Falun Gong yang saya kenal kehilangan nyawanya akibat penyiksaan di penahanan,” kata Guo.

Ketika Guo datang ke Jerman untuk urusan bisnis pada Januari 2008, gelombang penindasan lain terjadi di Tiongkok sebelum Olimpiade Beijing. Jadi sejak saat itu dia tinggal di Jerman.

Dukungan dari Masyarakat

Klaus Linke dan Elke Heitz, yang tinggal di Berlin Barat selama Perang Dingin, berkata bahwa mereka sudah biasa dengan teror yang dibawa oleh komunisme. Setelah mendengar tentang pengambilan organ paksa dari praktisi Falun Gong yang masih hidup di Tiongkok, Linke berkata bahwa dia pernah membaca tentang hal itu sebelumnya, namun ternyata kondisi sebenarnya jauh lebih parah dari pada yang dia pikirkan sebelumnya.

Klaus Linke (kanan) dan Elke Heitz (kiri) terkejut atas kebrutalan penganiayaan yang terjadi di Tiongkok

Klaus Linke (kanan) danElke Heitz (kiri) terkejut atas kebrutalan penganiayaan yang terjadi di Tiongkok

Satu keluarga yang terdiri dari empat orang, keluarga Hein, mendiskusikan penganiayaan untuk waktu yang cukup lama setelah mereka berbicara dengan seorang praktisi. “Saya benar-benar suka meditasinya, sangat indah dan damai,” kata Annet Hein.

“Dan penindasan yang terjadi di Tiongkok membuat kami terkejut,” kata Ulrich Hein. “Pengambilan organ paksa benar-benar gila.”

Satu keluarga, Alexandra Sekolska (kedua dari kanan) dan Wogtek Diotrowicz (pertama dari kanan) merasa prihatin dengan penganiayaan yang terjadi di Tiongkok

Satu keluarga,Alexandra Sekolska (kedua dari kanan) danWogtek Diotrowicz (pertama dari kanan) merasa prihatin dengan penganiayaan yang terjadi di Tiongkok

Alexandra Sekolska dan Wogtek Diotrowicz dari Polandia sedang berkunjung. Mereka pernah membaca berita tentang penganiayaan di koran beberapa tahun lalu.

“Tiongkok adalah negara yang indah, tapi orang-orang di sana tidak mempunyai kebebasan,” kata Diotrowicz.

“Kami orang Polandia telah meninggalkan komunisme, dan merasa sedih melihat rakyat Tiongkok masih menderita karena komunisme,” kata Sekolska. Dia berharap situasi di Tiongkok akan segera berubah.

Chinese version click here

English version click here