(Minghui.org) Pegunungan Himalaya sepanjang sejarah selalu menjadi tempat tinggal bagi banyak orang Xiulian, orang-orang menjalani hidup dengan sederhana, setiap orang pandai menyanyi dan menari, selain ini semua -- adalah menganut Fa Buddha. Pada saat itu ada seorang praktisi Xiulian bernama Milarepa. Semua status Buddha dan Bodhisattva adalah buah hasil kultivasi dari banyak kehidupan dan kalpa, tetapi Milarepa sebaliknya telah berhasil mencapai GongDe yang sepadan seperti Buddha dan Bodhisattva ini dalam satu generasi dan kehidupan, dan kemudian hari menjadi leluhur pendiri Tantra Tibet aliran Putih.
-------------------------------------------------------------------------
(Menyambung artikel sebelumnya)
Rechungpa berkata: “Yang Mulia! Anda yang saya hormati mengatakan pada awal mula menjalankan praktik hitam, itu bagaimana ceritanya?”
Milarepa menjelaskan: “Pada mulanya menjalankan praktik hitam, tepatnya adalah menggunakan teknik mantra pembunuh manusia dan teknik menurunkan hujan es -- sehingga telah menghasilkan karma buruk yang sangat besar.”
“Yang Mulia!” Rechungpa bertanya lagi: “Anda mengapa ingin Xiulian teknik mantra?”
Milarepa menjawab dengan berkata: “Ketika saya belajar kultivasi di Mithogekha, suatu hari, penduduk di dataran Kya Ngatsa ingin mengadakan sebuah pesta musik, jadi mengundang Shifu saya sebagai tamu utama. Lalu Shifu pun pergi dengan membawa serta saya. Para penduduk desa telah mempersiapkan perjamuan yang sangat mewah, bahkan menggunakan arak terbaik kelas tinggi untuk menyambut Shifu. Ah! Hari itu arak terbaik mereka sungguh banyaknya bukan main! Semua orang menikmati minuman mereka, saya juga minum banyak sekali hingga lupa diri, hingga pada akhirnya, minum hingga perut menjadi sangat kembung, kepala juga sangat berat dan pusing, ikut mabuk dalam kelompok.”
“Shifu melihat bahwa saya telah mabuk, lalu meminta saya membawa barang persembahan pulang ke kuil terlebih dahulu. Pikiran saya masih dipengaruhi oleh rasa mabuk, tubuh masih terasa malas, hati senang gembira -- tanpa kekhawatiran melewati jalan kecil pegunungan yang curam, sepanjang jalan badan goyang kanan kiri, terus menyeret dua tungkai dengan ringan, dengan sempoyongan terus berjalan ke arah kuil. Di jalan tiba-tiba saya teringat dengan orang yang menyanyi di perjamuan, mereka menyanyi dengan sangat menyentuh, sambil mengingat-ingat, tenggorokan juga ikut menjadi gatal, akhirnya tidak dapat menahan diri lalu ikut bernyanyi:”
“Selesai saya bernyanyi, dalam ingatan penduduk desa -- saya aslinya memang ada sedikit reputasi, walau hari ini ada kesan mabuk, namun suasana hati baik sekali, suara juga luar biasa jernih; pada saat yang sama nada lagu juga baik, jiwa hati terbang dalam kehampaan, dua tungkai mengambang seakan terbang, sambil jalan sambil melompat, sambil menari sambil bernyanyi, dan tanpa sadar telah melangkah hingga ke jalan pulang ke rumah. Terus hingga akhirnya tiba di depan pintu rumah, saya masih tetap menari-nari sambil bernyanyi. Saat itu ibu saya sedang mengoseng biji gandum, ketika mendengar suara ini sangat terheran-heran, sambil berkata pada diri sendiri: {Suara orang yang menyanyi ini, mirip seperti suara putra saya! Namun di atas dunia ini sudah tidak ada lagi orang yang lebih menderita dibanding kami ibu dan anak, putra saya tidak akan ada suasana hati menyanyi dengan begitu gembiranya!} Ibu heran juga curiga, dalam hati tidak percaya, maka berlari ke jendela untuk melihat-lihat. Begitu melihat bahwa sungguh adalah saya, marahnya bukan main hingga mengguncang tubuh, segera membanting penjepit api yang ada di tangan kanan ke lantai, sekop untuk mengoseng biji gandum di tangan kiri dibuang ke lantai; juga tidak peduli dengan biji gandum yang telah hangus terbakar. Tangan kanan mengambil sebuah tongkat, tangan kiri mengambil segenggam abu depan tungku, sambil berlari juga melompat – dari lantai atas bergegas ke bawah, lari hingga luar pintu, lalu menebarkan abu di tangan kiri ke muka saya, tongkat di tangan segera dipukul membabi-buta ke kepala saya, dengan suara keras berteriak:”
“{Oh papa Mila Gyaltsen! Anda lihatlah putra anda ini! Penerus anda telah terputus punah! Anda lihatlah nasib kami ibu dan anak!}”
“Sambil menangis sambil berteriak, saking marahnya hingga pingsan terjatuh ke tanah. Pada saat ini, adik Peta juga bergegas keluar dari rumah, sambil menangis, sambil berkata:”
“{Abang! Anda cepatlah sadar! Cobalah anda lihat bagaimana keadaan ibu!}”
“Saya di bawah serangan hujan badai dadakan yang demikian hebat, masih dalam kondisi linglung; begitu mendengar perkataan adik, barulah terbangun sadar. Serangan rasa malu dan duka mendalam, membuat lubuk hati saya menyesal sangat mendalam, dan air mata tanpa hentinya mengalir. Adik dan saya sambil menangis, sambil menggenggam tangan ibu, mengguncang tubuh ibu, dan memanggil-manggil ibu. Setelah sekian lama, ibu barulah bisa tersadar. Ibu melihat saya dengan matanya yang masih bergelinang air mata dan berkata:”
“{Oh putraku! Di atas dunia masih adakah orang yang lebih tragis dibanding kita ibu dan anak? Apakah kamu masih memiliki jantung untuk menyanyi dengan demikian gembiranya? Coba lihatlah ibumu----nenek tua ini, kamu ingin menangis pun tidak sanggup!}”
“Selesai berkata kembali menangis meraung-raung, adik dan saya juga ikut bersedih dan menangis dengan suara keras. Kemudian, setelah saya berhasil menahan kesedihan, dengan tegas berkata kepada ibu.”
“{Ibu, mohon anda jangan bersedih seperti ini lagi, perkataan anda sungguh sedikit pun tidak salah, saya sekarang telah menetapkan hati: bila ibu ada keinginan, tak peduli ingin saya berbuat apa pun, saya pasti akan melaksanakannya!}”
“{Saya ingin kamu membalas dendam kepada musuh menjijikkan yang memakai mantel wol sambil menunggangi kuda gemuk! Dengan kekuatan kita sendiri terlalu lemah, satu-satunya cara untuk membalas dendam, hanyalah metode kutukan maut dan teknik mantra. Saya ingin kamu pergi mempelajari metode kutukan, teknik mantra, metode menurunkan hujan es, setelah selesai mempelajari, barulah kemudian pulang, gunakan teknik mantra untuk membunuh tuntas paman bibi dan para tetangga yang kejam terhadap kita hingga sembilan generasi! Ini adalah satu-satunya keinginan saya, apakah kamu mampu melaksanakannya?}
“{Saya pasti mewujudkannya, mohon ibu segera bantu saya persiapkan biaya perjalanan dan persembahan untuk Maha Guru!} Saya berkata dengan tanpa keraguan.”
“Untuk itu ibu lagi-lagi menjual sebagian dari tanah ladang Trede Tenchung, lalu menggunakan uang ini untuk membeli sebuah batu pirus besar ‘Kemilau Cahaya Bintang’. Kemudian membeli lagi seekor kuda putih yang bernama ‘Singa Tanpa Pelana’, ditambah seember pewarna, dan setumpuk kulit sapi, untuk digunakan sebagai persembahan kepada Maha Guru dan sebagai biaya perjalanan saya. Saya lalu menginap beberapa hari di penginapan Lhundup di Gungthang, untuk menunggu teman yang mungkin seperjalanan.”
“Tidak lama, dari daerah Ngari Dol telah datang lima anak muda yang semuanya ingin ke U Tsang untuk belajar Fa dan teknik mantra. Saya sangat gembira bisa memperoleh kesempatan yang demikian langka, maka mengajukan diri kepada mereka untuk menjadi teman perjalanan; mereka juga sangat setuju bisa bertambah satu teman perjalanan, maka memutuskan untuk menerima saya.”
“Saya mengundang mereka ke daerah Gungthang, dan menginap di rumah beberapa hari. Ibu dengan antusias menjamu mereka, sebelum berpisah, ibu berkata kepada mereka:”
“{Anda semua, Thopaga saya ini, adalah anak muda yang tidak tahu apa-apa, diri sendiri tidak tahu bagaimana mengejar cita-cita, mohon anda semua lebih sering mendorong dia, agar dia belajar teknik mantra dengan baik, saat pulang nanti saya pasti akan mempersembahkan tanda terima kasih kepada anda semua!}”
“Mereka semuanya setuju untuk membantu saya setiap saat, sekaligus meminta ibu untuk jangan khawatir.”
“Kemudian kami pun pergi melakukan perjalanan, pewarna dan barang bawaan semuanya diletakkan di atas kuda, batu pirus disembunyikan di samping tubuh. Ibu mengantar kami hingga sangat jauh, sepanjang perjalanan menyajikan arak dan makanan perpisahan kepada kami, dan berulang-ulang kali mengingatkan kembali teman-teman untuk menjaga saya dengan baik. Kemudian secara khusus menarik saya sendiri ke suatu tempat, dan menggenggam tangan saya dengan erat. Perasaan berpisah mencekik hati kami ibu dan anak, napas kami menyesakkan, kami saling memandang tanpa bicara sepatah kata pun, ada ribuan omongan dan ratusan kata ingin segera disampaikan dalam sekejap mata, namun sebaliknya tidak tahu ingin mulai dari mana. Setelah mengumpulkan seluruh kekuatannya, ibu akhirnya memecahkan kesunyian yang sulit ditahan ini:”
“{Oh anakku! Kamu harus pikirkan baik-baik pengalaman pahit kita ibu dan anak! Tidak peduli bagaimana pun juga kamu harus melancarkan mantra ke desa ini! Tujuan dari teman seperjalanan kamu belajar teknik mantra adalah tidak sama dengan kita, mereka hanya ingin menghidupi diri sendiri dengan mengandalkan teknik mantra! Akan tetapi, kamu harus giat maju dengan baik! Anakku! Apabila kamu pulang tanpa dapat melancarkan mantra ke desa ini, maka ibu kamu akan mati di depanmu!}”
“Saya dengan penuh emosi bersumpah di depan ibu:”
“{Ibu, apabila saya tidak berhasil belajar, saya sama sekali tidak akan pulang! Mohon Anda jangan khawatir!}”
“Saya secara perlahan-lahan melepaskan tangan ibu, dan kembali berkumpul bersama teman seperjalanan, lalu mengucapkan salam perpisahan dengan ibu. Namun dalam hati saya masih sulit berpisah dengan ibu, maju beberapa langkah, kembali menolehkan kepala untuk melihat-lihat, melangkah beberapa langkah, kembali menolehkan kepala untuk melihat-lihat, air mata terus menetes tanpa henti. Ibu juga sepertinya sulit berpisah dengan saya, terus hingga sudah tidak terlihat diri saya, masih terus memandang arah perginya saya, saya ingin sekali lari kembali untuk melihat ibu. Pada saat ini di dalam lubuk hati saya yang paling dalam, seakan-akan ingin memberitahu saya, ini adalah perpisahan antara kami ibu dan anak untuk yang terakhir kalinya, sejak saat itu, saya tidak akan bisa bertemu dengan ibu lagi!”
“Ibu terus menunggu hingga tidak dapat melihat bayangan punggung saya, barulah kemudian pulang ke rumah sambil menangis. Beberapa hari ini orang-orang di desa semuanya tahu bahwa putra Nyangtsa Kargyen telah pergi belajar teknik mantra.”
“Kami berangkat dari jalan raya menuju U Tsang, setelah tiba di Yakde daerah Tsangrong, saya menjual pewarna dan kuda kepada orang kaya setempat, menukarnya dengan emas, dan membawanya di badan. Setelah melewati sungai Tsang Po lalu berbelok ke arah daerah U. Setelah tiba di Tuhnlok Rakha wilayah Ru kuno, bertemu dengan banyak sekali biksu, saya lalu bertanya-tanya kepada mereka, di daerah U apakah ada orang yang ahli teknik mantra - metode kutukan dan metode menurunkan hujan es. Ada seorang biksu berkata kepada saya, bahwa di daerah Kyorpo ada seorang Lama yang bernama Yungton Trogyel, dia adalah biksu pembaca mantra yang ahli dalam teknik mantra dan metode kutukan. Kemudian kami meneruskan perjalanan ke Kyorpo. Setelah tiba di Kyorpo, lalu memberi persembahan kepada Lama Yungton Trogyel. Lima pelajar yang menjadi teman seperjalanan, setiap orang memberi Shifu ini satu macam persembahan. Saya mempersembahkan emas, batu pirus, dan segala benda kepada dia, bahkan bersujud dan berkata kepada dia:”
“{Tidak hanya sejumlah emas, batu pirus ini saja, segala materi juga boleh dipersembahkan kepada Maha Guru, bahkan segala milik saya termasuk Tubuh, Mulut, Pikiran, juga dipersembahkan kepada Anda. Oh Shifu! Tetangga dan kerabat saya telah berbuat hal yang keji terhadap keluarga saya, saya ingin menggunakan teknik mantra untuk menghukum mereka, mohon Anda yang saya hormati untuk mewariskan kepada saya teknik mantra yang paling hebat! Sekalian segala pakaian dan makanan saya selama belajar Fa di sini, juga akan mengandalkan Anda yang saya hormati untuk menganugerahkannya kepada saya!}”
“Setelah Lama mendengar perkataan saya, sambil tersenyum, berkata:”
“{Saya ingin secara perlahan-lahan melihat apakah yang kamu katakan itu perkataan benar atau bukan!}”
“Maha Guru sama sekali tidak mengajari kami teknik mantra yang paling mendalam, hanya mengajari kami satu dua mantra jahat, serta sejumlah lafalan dan Fa kultivasi. Fa secuil ini menghabiskan waktu setahun lebih barulah selesai diajarkan. Setelah selesai menerima sejumlah Fa mantra ini, semua teman kelas saya telah bersiap-siap untuk pulang, Setiap orang dianugerahi oleh Lama sebuah pakaian wol yang diproduksi daerah U. Namun saya sebaliknya tidak memiliki rasa percaya diri, dalam hati termenung, jika menggunakan teknik mantra semacam ini untuk balas dendam, takutnya tidak akan ada efek apa pun, membawa teknik mantra yang tidak berguna ini pulang ke rumah, ibu pasti akan bunuh diri. Setelah berpikir-pikir, maka memutuskan untuk tidak pulang. Teman seperjalanan saya berkata kepada saya: {Thopaga! Kamu tidak pulang?}”
“Saya berkata: {Saya mana mungkin tidak terpikir untuk pulang? Hanya saja jika mantra belum berhasil dikuasai, merasa malu untuk pulang.}”
“Mereka berlima berkata: {Sejumlah lafalan ini sangat mendalam! Lama sendiri juga berkata bahwa lafalan yang lebih mendalam dari ini sudah tidak ada lagi! Kita semuanya percaya diri setelah pulang ke kampung halaman, status reputasi sudah tidak menjadi masalah! Namun jika kamu berkeinginan untuk tetap tinggal, kami juga tidak menentang, dengarkan keinginanmu sendiri saja!}”
“Akhirnya mereka berlima menghadap Maha Guru untuk memberi hormat dan salam perpisahan, lalu melakukan perjalanan pulang. Saya juga mengenakan pakaian yang dianugerahkan oleh Maha Guru, lalu mengantar perjalanan mereka selama setengah hari. Dalam perjalanan pulang ke rumah Maha Guru, di sepanjang jalan memungut kotoran sapi, hingga penuh satu kantong besar, dan di atas ladang Maha Guru yang paling baik, dijadikan pupuk. Pada saat itu, Maha Guru tepat berada di dalam kamar tidur, dari jendela melihat saya, maka dia lalu berkata kepada seorang pengikutnya yang lain:”
“{Pengikut yang tiba di tempat saya ini untuk belajar Fa sangatlah banyak, namun tidak ada yang sebaik Thopaga ini, di kemudian hari takutnya sudah tidak ada pengikut yang sebaik dia ini lagi! Pagi hari ini dia tidak bertemu saya untuk mengucapkan perpisahan, adalah menandakan dia masih ingin pulang ke sini. Ketika pertama kali datang -- dia langsung berkata kepada saya, bahwa kerabat dan tetangga dia telah berbuat salah kepada keluarga dia, dan memohon saya mengajari dia teknik mantra untuk balas dendam. Dia juga berkata: ‘Tubuh, Mulut, Pikiran semuanya dipersembahkan untuk saya’; sungguh seorang manusia yang berhati lurus. Jika perkataan dia semuanya adalah benar, maka, tidak mengajari dia teknik mantra sungguh terlalu menyedihkan.}”
“Teman sekelas ini lalu memberitahukan perkataan Maha Guru kepada saya, dalam hati saya sungguh gembira, karena mengetahui masih ada teknik mantra lain yang bisa diajarkan kepada saya, maka dengan gembira berlari ke hadapan Maha Guru. Maha Guru berkata:”
“{Thopaga! Kamu tidak pulang, apa alasannya?}”
“Saya melepaskan baju yang dianugerahkan oleh Maha Guru kepada saya, lalu mempersembahkannya kembali kepada dia, kening menyentuh kaki Guru untuk memberi hormat, dan berkata:”
“{Oh Shifu yang saya hormati! Paman bibi dan tetangga saya, telah melakukan hal yang sangat jahat kepada kami bertiga ibu dan anak! Mereka menggunakan muslihat yang tidak adil, merebut aset kami, dan telah memberi kami berbagai macam penderitaan. Kami tidak memiliki kemampuan untuk membalas dendam, oleh karena itu ibu meminta saya datang untuk belajar teknik mantra; jika teknik mantra saya tidak tinggi lalu pulang ke kampung halaman, ibu saya pernah berkata, dia pasti akan bunuh diri di hadapan saya! Itu sebabnya saya tidak boleh pulang. Mohon Shifu mengasihani saya, ajarkan saya teknik mantra yang paling hebat!}”
“Sambil berkata, karena tidak dapat menahan emosi maka telah menangis. Lama lalu bertanya kepada saya:”
“{Kerabat anda dan penduduk desa bagaimana caranya menganiaya kalian?}”
“Saya lalu bercerita bagaimana paman dan bibi menguasai aset dan menganiaya kami setelah ayah Mila Gyaltsen meninggal dunia, sambil menangis sambil berkata, secara rinci menceritakan seluruhnya. Setelah Maha Guru mendengarnya, juga tidak dapat menahan air mata. Maha Guru berkata:”
“{Bila apa yang kamu katakan adalah benar, mereka sungguh keterlaluan. Mengenai orang yang memohon teknik mantra saya, datangnya dari berbagai tempat; yang datangnya dari Ngari Korsum -- mempersembahkan ratusan ribu emas dan giok hijau; yang datangnya dari U Tsang -- mempersembahkan ratusan ribu beludru, mentega dan kol hijau; yang datangnya dari tiga daerah Dho - Kham - Gung -- mempersembahkan teh dan kain satin terbaik; yang datangnya dari tiga daerah Jyayul - Dakpo - Kongpo -- mempersembahkan ribuan kuda - sapi - kawanan domba. Akan tetapi, yang menggunakan Tubuh Mulut Pikiran untuk dipersembahkan -- hanya ada kamu seorang saja! Sungguh, saya tidak boleh begitu saja mewariskan teknik mantra kepada kamu. Baiklah! Saya sekarang terlebih dahulu mengutus seseorang untuk menyelidiki perkataan kamu apakah benar atau tidak!”
“Di antara teman kelas kami, ada seseorang yang memiliki kaki terbang seringan bulu, larinya lebih cepat dibanding kuda, ketika berdiri setinggi dan sebesar gajah pada umumnya. Maha Guru lalu mengutus dia ke kampung halaman saya untuk menyelidiki. Belum lewat beberapa hari, dia telah pulang kembali, dan berkata kepada Maha Guru: {Shifu yang saya hormati! Perkataan yang disampaikan oleh Thopaga sedikit pun juga tidak palsu, mohon anda ajarkan kepada dia sebuah teknik mantra yang paling baik!}”
“Maha Guru berkata kepada saya:”
“{Thopaga! Awalnya saya mengajar kamu teknik mantra seperti ini, adalah khawatir kamu yang berkepala naif dan berotak bodoh akan menyesal; sekarang karena tahu bahwa segala sesuatunya adalah tanpa rekayasa, saya segera akan mewariskan teknik mantra kepada kamu. Saya memiliki dua metode rahasia: Yang pertama adalah {Erangan Metode Pembunuh}, yang satunya lagi adalah {Ludahan Metode Penghancur}; ada seorang Lama bernama Khulungpa Yonten Gyatso [Lautan GongDe dari Khulung], tinggal di wilayah Tsangrong desa Nub, dia ahli pengobatan, sekaligus pakar dalam teknik mantra. Dia juga memiliki sebuah mantra rahasia, namanya adalah metode menurunkan hujan es, kami setelah saling mengajarkan metode rahasia pribadi kami, lalu menjadi teman baik. Ini sebabnya, setiap kali ada orang yang datang ke tempat saya ini untuk belajar teknik mantra, saya juga mengirim dia ke sana; dia juga akan mengirim orang yang memohon teknik mantra kepada dia ke tempat saya ini. Sekarang kamu ini juga tidak terkecuali, maka putra sulung saya akan menemani kamu ke sana!}”
“Shifu telah mempersiapkan makanan untuk saya, juga telah memberi saya kain bagus, kain wol asal wilayah U untuk dibawa serta; juga memberi saya sejumlah hadiah untuk dipersembahkan kepada Shifu Khulungpa. Kami memuat barang-barang ini ke atas kuda, lalu berangkat ke Tsangrong.”
“Setelah tiba di desa Nub, lalu bertemu dengan Lama Khulungpa, hadiah-hadiah yang saya bawa serta semuanya dipersembahkan kepada dia, kemudian kembali menceritakan secara detail semua pengalaman pahit saya dan alasan di balik memohon metode kutukan, lalu memohon Lama mewariskan metode mantra kepada saya. Lama berkata: {Lama Yungton Trogyel dan saya adalah teman baik sehidup semati, dia mengirim kalian ke sini pasti ada alasannya, saya sendiri seharusnya mewariskan metode kutukan rahasia kepada anda. Akan tetapi, langkah pertama kalian harus terlebih dulu membangun sebuah aula untuk latihan metode di suatu tempat di bawah gunung yang tidak terlihat oleh orang-orang.}”
“Kami berdua lalu di kaki gunung di suatu tempat yang terpencil, mendirikan sebuah aula untuk latihan metode yang sederhana. Menggunakan sebuah batu sebesar sapi untuk menutupi bangunan itu.”
“Maha Guru kemudian di dalam aula untuk latihan metode, mewariskan lafalan rahasia dari teknik mantra kepada saya.”
“Setelah tujuh hari saya berkultivasi metode itu di dalam aula, Lama berkata kepada saya: {Di waktu lalu, metode ini setelah berkultivasi tujuh hari sudah cukup; kamu sekarang hanya berkultivasi tujuh hari juga sudah cukup!}”
“Tapi saya sudah katakan bahwa tempat yang ingin saya kirim mantra kutukan sangatlah jauh, mohon biarkan saya berkultivasi tujuh hari lagi! Sesampainya malam hari ke empat belas, Maha Guru kembali berkata kepada saya: {Malam ini, di samping Mandala (altar Fa), akan ada manifestasi dari keberhasilan metode kutukan.}”
“Seperti yang diharapkan, malam itu, Sang pelindung sumpah Dewa Sanmeiye (bahasa Sanskrit, Sanmeiye Handuoyi, menjaga isi sumpah agar ‘tidak melampaui’ kehendak, merujuk kepada Dewa pelindung Fa dari aliran esoterik Buddhisme) di tangan memegang kepala dan jantung dari tiga puluh lima orang -- sambil berkata kepada saya:”
“{Ini hal yang kalian minta saya kerjakan!}”
“Pagi esok harinya, Lama kembali datang menanyai saya: {Dewa pelindung Fa berkata kepada saya, orang yang harus dibunuh, masih ada dua orang, masih perlu dibunuh atau tidak?}”
“Saya berkata dengan penuh rasa puas diri:”
“{Biarkan mereka tinggal di atas dunia sebagai saksi, untuk menyaksikan pembalasan terhadap diri sendiri, mohon maafkan mereka saja!}”
“Karena hal ini, maka paman dan bibi berhasil tetap hidup tidak dikutuk hingga mati. Pada akhirnya, kami kembali berkultivasi metode untuk memberi persembahan kepada Sang pelindung sumpah Dewa Sanmeiye, dan mengantar pergi Sang pelindung sumpah Dewa Sanmeiye, lalu membubarkan metode dan membereskan altar.”
“Saat itu, di Kya Ngatsa kampung halaman saya, indikasi dari efek teknik mantra adalah seperti apa? Ternyata hari itu putra sulung dan menantu dari paman telah mengundang banyak sekali tamu ke rumah untuk pesta perkawinan. Tiga puluh orang lebih yang dulunya membantu paman dan bibi menganiaya kami juga telah tiba di rumah paman untuk memberi selamat. Selain itu ada juga sekelompok orang yang bersimpati kepada kami juga ikut diundang dan sedang berada dalam barisan, sambil secara perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam rumah paman, semua orang masih membicarakan kejahatan paman dan bibi. Ada yang berkata: ‘Pepatah berkata: Tamu menjadi tuan, tuan menjadi anjing. Perkataan ini sungguh tidak salah; sejumlah orang jahat ini sungguh tidak punya malu, setelah menguasai aset keluarga Thopaga masih juga menganiaya mereka ibu dan anak; Thopaga telah pergi belajar mantra, jika mantra dia tidak datang, pembalasan dari Tiga Pusaka [Buddhisme] cepat lambat juga akan datang!’”
“Pada saat itu seluruh keluarga paman dan bibi sangat sibuk menerima tamu, orang-orang yang datang untuk memberi selamat semuanya minum arak dengan suka cita. Seorang gadis yang dulunya pernah bekerja di keluarga saya -- saat itu sedang bekerja di tempat paman, menuruni tangga untuk memanggul air; ketika tiba di bawah tangga, terlihat tanah penuh dengan kalajengking besar, ular besar dan kepiting besar sedang bergeliat-geliut sana sini. Kalajengking besar menggunakan penjepit besar mereka untuk menjepit pilar rumah, ingin menumbangkan pilar. Gadis itu takutnya bukan main, dengan suara keras berlarian ke luar pintu.”
“Hari itu di bawah lantai terikat penuh dengan kuda para tamu, di antaranya ada seekor kuda jantan yang ingin menganiaya seekor kuda betina, kuda jantan yang lainnya tidak terima, lalu mulai mengamuk, kuda betina itu lalu dengan mantapnya ingin menendang kuda jantan, namun entah bagaimana terjadinya, sebuah kaki malah telah menendang pilar hingga roboh. Dibilang waktu berjalan lambat, namun waktu itu kejadian begitu cepat, seluruh bangunan lalu roboh ke bawah menimbulkan suara gemuruh, di semua tempat kedengaran suara tangisan dan teriakan. Putra paman, pengantin, dan tiga puluh orang lebih itu, sekaligus tertimpa mati. Yang memenuhi tanah hanya terlihat bangunan yang telah roboh, dan setumpuk debu; di bawah patahan kayu dan atap bocor, tertimpa sekelompok mayat.”
“Pada saat ini adik saya Peta sedang ada di sekitar tempat itu untuk melihat-lihat, setelah melihat pemandangan ini, segera bergegas pulang ke rumah, dengan buru-buru berkata kepada ibu:”
“{Mama! Mama! Anda lihat? Rumah paman telah roboh, banyak sekali orang mati!}”
“Ibu tidak terlalu percaya, namun dalam hati sebenarnya diam-diam tersenyum, dan segera bergegas ke luar untuk melihatnya. Terlihat rumah paman, hanya tersisa puing-puing, dan debu-debu beterbangan memenuhi langit. Ibu terkejut namun juga senang, buru-buru dari baju kasarnya sembarangan mengoyak sebilah kain, lalu cepat-cepat mengikatnya ke atas sebuah tongkat panjang; sambil melambaikan bendera kain kasar ini, juga sambil bergegas lari ke luar, dengan suara keras berteriak:”
“{Anda semua lihatlah! Wahai Langit! Wahai Lama! Wahai Tiga Pusaka [Buddhisme]! Mohon terimalah persembahan! Oi! Para tetangga! Saya beritahu kalian! Mila Gyaltsen bukankah memiliki putra? Saya Nyangtsa Kargyen mengenakan pakaian koyak, memakan barang kotor, untuk mendorong putra saya belajar teknik mantra, tujuannya bukankah telah tercapai? Anda semua lihatlah! Paman dan bibi berkata: {Jika punya orang banyak maka boleh ikut melawan, jika orang sedikit maka gunakan teknik mantra}. Anda semua lihat, bagaimana sekarang? Sekarang Thopaga hanya melepaskan sedikit teknik mantra saja, namun untuk melakukan perang besar saja -- masih lebih lihai. Kalian lihatlah! Wahai manusia yang ada di atas, kekayaan yang ada di tengah, dan ternak yang ada di bawah! Saya hidup sampai hari ini belum mati, bisa melihat putra saya menampilkan pertunjukan ini, saya Nyangtsa Kargyen sungguh bahagianya bukan main! Ha! Ha! Ha! Ha! Saya seumur hidup juga belum pernah demikian senangnya! Anda semua lihatlah! Anda semua lihatlah!}”
“Dia membawa bendera itu sambil dilambai, sambil diayun, sambil berteriak, sambil berlari, sungguh senang bukan main. Paman bibi dan seluruh penduduk desa telah mendengar. Di antaranya ada orang berkata:”
“{Ah perkataan yang diucapkan oleh perempuan ini sungguh menakutkan sekali!}”
“Orang lain berkata: {Sungguh benar sekali, hanya saja yang dikatakannya sedikit terlalu berlebihan!}”
“Orang-orang begitu mendengar bahwa saya menggunakan teknik mantra telah membunuh begitu banyak orang, orang-orang lalu berkumpul dan berkata:”
“{Wanita ini, telah membuat keributan yang begitu besar, masih ke mana-mana berteriak dengan senangnya, kita harus memeras keluar darah dari jantungnya dia!}”
“Ada seorang lansia dengan cepat menyarankan: {Anggaplah wanita itu telah dibunuh, lalu apa gunanya? Jika demikian bukankah membuat putra dia semakin membenci kita, hanya akan lebih banyak melepas mantra untuk membunuh kita beberapa orang hingga mati. Kita terlebih dahulu harus memikirkan cara untuk membunuh Thopaga, baru kemudian membunuh wanita ini, maka ini tidak akan ada masalah!}
“Dengan demikian tidak jadi membunuh ibu saya. Namun setelah paman mendengarnya lalu berkata:”
“{Putra saya sudah meninggal, menantu juga sudah meninggal, saya juga akan hitungan dengannya, tidak ingin hidup lagi!}”
“Sambil berkata, lalu ingin bergegas membunuh ibu saya. Semua orang segera menghalangi dia sambil berkata:”
“{Semuanya karena kamu, barulah bisa terjadi hal ini; sekarang Thopaga masih hidup, jika kamu sekarang membunuh Nyangtsa Kargyen, Thopaga akan melepas teknik mantra lagi, kami semuanya tidak dapat hidup. Jika kamu tidak mendengar perkataan kami, maka kami akan membunuh kamu terlebih dahulu!}”
“Dengan demikian barulah berhasil menenangkan paman. Semua penduduk desa kemudian berdiskusi bagaimana mengutus orang untuk membunuh saya. Jiujiu saya lalu datang ke tempat ibu untuk berkata:”
“{Kemarin perkataan dan perbuatan kamu, membuat semua penduduk desa ingin membunuhmu dan putra kamu, kamu apakah ada persiapan atau tidak? Ah! Melepaskan sekali teknik mantra juga sudah cukup! Untuk apa kembali membangkitkan kemarahan penduduk!} Nasihat demi nasihat diberikan, lalu ibu berkata:”
“{Ah! Apakah kamu masih belum memahami kami? Peristiwa ini juga saya tahu dengan jelas, saya karena ingin memberi pembalasan kepada orang-orang yang merebut aset kami itu, barulah menanam benih jahat ini! Dendam ini diukur dengan alat pengukur juga tidak akan selesai diukur!}”
“Kata lain sepatah pun juga tidak terucap, hanya ada tangisan. Jiujiu menghela napas dan berkata:”
“{Kata-kata kamu tentu saja juga benar, akan tetapi, takutnya orang yang akan membunuh kamu segera akan datang, kamu lebih baik menutup rapat pintu utama saja!}
“Ibu lalu menutup rapat pintu, dalam rumah berpikir sana sini, hati sangat tidak tenteram. Mantan pembantu kami, dikarenakan menaruh kasihan kepada ibu saya, lalu diam-diam datang ke ibu untuk mengatakan:”
“{Mereka sekarang sebenarnya tidak akan mencelakakan anda, mereka ingin mencelakakan tuan muda, anda cepatlah memberitahu dia, agar dia lebih baik berhati-hati!}”
“Ibu setelah mendengar perkataan dia, untuk sementara waktu -- hati menjadi tenang.”
“Ibu kembali menjual setengah dari ladang Trede Tenchung yang tersisa, total terjual tujuh tael emas. Ingin memberikan semua uang ini kepada saya, namun sulit meminta penduduk desa untuk mengantarnya. Pada akhirnya, saat terpikir diri sendiri saja yang mengantarnya, kebetulan sekali ada seorang biksu yoga asal daerah U yang datang ke Nepal untuk melakukan Chaoshan [perjalanan ke kuil di gunung; dengan tiga langkah satu kali sujud sembah], telah tiba di desa kami, sambil tangan memegang mangkuk untuk meminta-minta. Ibu secara mendetail menanyakan asal usul dia, dan merasa dia sangat cocok sebagai utusan untuk mengantarkan surat; dengan demikian ibu pun berkata kepada dia:”
“{Shifu! Mohon anda menginaplah di sini barang lima sampai enam hari; anak saya sekarang sedang belajar Fa di daerah U Tsang, ingin mohon bantuan Shifu membawa serta dia.}”
“Biksu yoga itu pun menyanggupi, ibu lalu menerima dia menginap beberapa hari.”
“Malam itu, ibu menyalakan sebuah lampu, berlutut di depan Dewa dan bersumpah: {Jika keinginan saya dapat terwujud, maka lampu altar ini tidak akan padam; andaikan keinginan saya tidak dapat terpenuhi, mohon segera padam; doa dipanjatkan pada leluhur Thopaga, Dewa pelindung Fa, dengan ini tunjukkanlah kepada saya.} Setelah bersumpah demikian, lampu itu menyala sepanjang hari tidak padam, ini sebabnya ibu percaya bahwa apa yang direncanakan pasti dapat berhasil terpenuhi. Lalu esok harinya dia berkata kepada biksu yang melakukan Chaoshan itu:”
“{Shifu, pakaian dan sepatu dari orang yang melakukan Chaoshan sangatlah penting, pakaian anda biarlah saya coba tambal, dan biarlah saya sumbangkan sepasang sepatu untuk anda!}
“Selesai berkata demikian lalu diberilah dia sepotong kulit yang panjang juga besar untuk dijadikan sepatu, lalu melepaskan jubah dia yang sudah usang juga sudah koyak-koyak, lalu bagian-bagian yang koyak itu ditambal dengan kain. Di bagian punggung dari jubah itu, tujuh tael emas, disembunyikan di dalamnya, dan disulam dengan kain hitam berukuran satu kaki persegi, di antara kain hitam dengan menggunakan benang berwarna putih, telah dibordir enam bintang kecil, lalu digunakan lagi kain untuk menutupi bintang-bintang ini, sama sekali tidak membiarkan biksu mengetahuinya. Di samping itu juga telah mempersembahkan banyak sekali hadiah kepada biksu itu, amplop surat ditutup dengan sebuah segel, lalu surat itu diberikan kepada biksu, dan memohon dia membawanya.
“Saat ini ibu berpikir dalam hati {Sekarang para penduduk desa ini, tidak tahu sedang merencanakan apa, harus pikirkan sebuah cara untuk membuat mereka takut.} Lalu berkata kepada adik Peta: {Kemarin biksu itu, membawakan sebuah surat dari abang kamu.} Peta pun pergi ke empat penjuru memberitahu semua orang, agar semua orang tahu bahwa ada yang mengirim surat pulang ke rumah kepada saya. Ibu dengan meniru gaya bicara saya -- telah menuliskan sepucuk surat palsu, dalam surat tertulis:”
“{Wahai ibu yang terhormat -- ananda memberi salam hormat: mantra kutukan memberi efek, hati ananda senang sekali. Jika penduduk desa masih bersikap tidak hormat kepada ibu dan adik Peta, mohon beritahu nama dan marga keluarganya, agar segera dikasih mantra. Ananda dapat menggunakan teknik mantra, merengut nama marga orang, semudah membalikkan telapak tangan, mengutuk hingga sembilan generasi, memusnahkan hingga akar tunas, bagaikan mengacak-acak kantung untuk mengambil barang saja. Jika penduduk desa semuanya tidak baik, mohon ibu dan adik Peta meninggalkan tempat ini. Ananda ketika pertama kali meninggalkan desa ini, diri sendiri tidak ada sepeser pun, sekarang ini malah penuh dengan aset, sudah tidak habis untuk digunakan, terima kasih kepada belas kasih Buddha, Thopaga memberi hormat.}”
“Lalu ditutup dengan sebuah segel palsu, surat terlebih dahulu diberikan kepada mereka yang dekat dengan paman dan bibi, terakhir lalu menyimpan surat di tempat Jiujiu. Dengan demikian, mereka mengubah rencananya -- tidak berani lagi berpikir untuk membunuh kami; juga karena kekuatan dari surat ini, para penduduk desa lalu menuntut agar paman mengembalikan ladang segitiga ErMa kepada ibu.”
“Kembali ke cerita biksu yang melakukan Chaoshan itu, setelah mendengar saya tinggal di Nub, maka ke Nub untuk mencari saya. Situasi ibu dan adik serta desa, semua secara detail dijelaskan kepada saya; juga memberikan surat dari ibu kepada saya. Saya membawa surat ke tempat yang tidak ada orang, lalu membukanya untuk dilihat, di dalam surat tertulis:”
“Memberitahu putraku Thopaga: Ibu sangat sehat, tidak perlu khawatir. Ibumu memiliki anak seperti kamu, juga tidak akan menyesal; ayahmu Mila Gyaltsen walaupun berada di Mata Air Kuning [alam baka], juga pasti tersenyum tidak menyesal. Hasil dari ananda melepaskan mantra, telah menimpa mati keluarga musuh sebanyak tiga puluh lima orang. Ada kabar bahwa penduduk desa akan secara rahasia mengutus pembunuh, untuk membunuh anakku, kemudian barulah mengutus ibumu, oleh karena itu harus selalu waspada. Aku masih menaruh hati dendam, diri tidak dapat memaafkan, harus turunkan hujan es sembilan lapis, hancurkan biji-bijian dan gandum, barulah ibumu bisa puas. Jika biaya belajar sudah habis, boleh menghadap ke gunung sebelah utara, jauh di kedalaman awan hitam, di bawah siraman cahaya enam bintang, ada tujuh rumah keluarga saudara saya, boleh minta kepada kerabat itu. Anakku jika tidak tahu tempat tinggal kerabat saudara itu, dan desa gunung itu ada di mana, pergilah cari di badan biksu -- pasti ketemu. Di desa gunung ini, hanya biksu seorang saja yang tinggal, juga jangan paksa dia yang mencari. Tanda tangan Nyangtsa Kargyen.”
“Setelah saya membaca surat tersebut, tidak mengerti makna dalam surat itu, lalu teringat dengan kampung halaman, teringat dengan ibu. Desa gunung dan saudara yang disebutkan dalam surat tersebut juga tidak tahu, biaya belajar yang diperlukan untuk memberi persembahan juga tidak terambil, tidak tahan air mata deras mengalir turun. Setelah menangis sesaat, lalu mengeringkan air mata, melangkah ke arah biksu dan berkata:”
“{Katanya anda mengetahui desa gunung tempat tinggal saudara saya, mohon anda memberitahu saya -- bolehkah?}
“Biksu tersebut berkata: {Saya hanya pernah mendengar di Gongdekang di bawah pegunungan Himalaya ada saudara kamu!} Saya bertanya kepada dia: {Anda masih tahu tempat yang lainkah? Mohon tanya kampung halaman anda di mana?} Biksu berkata: {Selain desa gunung tersebut, saya tahu banyak sekali, akan tetapi saudara kamu tinggal di mana, saya sebaliknya tidak tahu; saya adalah orang dari daerah U!} Saya berkata: {Kalau begitu, mohon anda tunggu sebentar, saya segera kembali!}”
“Saya lalu memberi surat tersebut kepada Maha Guru untuk dilihat, dan memberitahukan secara detail apa yang terjadi. Maha Guru berkata: {Ibu kamu amarah hatinya sungguh tidak kecil! Setelah membunuh banyak orang masih tidak cukup, masih ingin menurunkan hujan es!} Lalu lanjut bertanya: {Saudara anda di belahan utara tempatnya di mana?} Saya menjawab: {Saya dulu tidak pernah mendengar di belahan utara ada saudara, namun dalam surat jelas-jelas tertulis demikian; saya bertanya kepada biksu yang melakukan Chaoshan itu, dia juga berkata tidak tahu, sebenarnya apa yang terjadi?}”
“Kala itu, Shimu [istri Shifu] yang memiliki kebijaksanaan seperti Jalan Kosong [Dakini] juga ada di tempat, setelah melihat surat tersebut, berkata: {Kamu panggil masuk biksu itu!} Shimu lalu membakar api dalam satu baskom, mengundang biksu tersebut masuk menghangatkan diri dan minum arak. Shimu menunjuk Langit menggambar Bumi [basa basi], berkata sana-sini, secara sambil lalu dari balik punggung biksu itu, melepaskan jubah besar dia, lalu dipakaikan di tubuh sendiri sambil berkata: {Mengenakan pakaian yang demikian lusuh ini untuk melakukan Chaoshan, keberuntungan pasti akan datang.} Sambil berkata-kata, lalu berjalan terus hingga ke lantai atas. Shimu saat membuka jubah tersebut, telah mengambil keluar emasnya, lalu menambalnya seperti sediakala, jubah itu pun dikembalikan kepada biksu, menjamu dia makan, dan mempersilakan dia untuk menginap.”
“Shimu berkata kepada saya: {Thopaga! Thopaga! Datanglah ke Maha Guru sini!} Saya dan Shimu berdua tiba di depan Maha Guru, Shimu lalu memberi saya tujuh tael emas. Saya bertanya dengan sangat takjub: {Emas ini dari mana datangnya?} Shimu lalu berkata:”
“{Ibu kamu sungguh cerdik! Di tubuh biksu tersebut -- tujuh tael emas disembunyikan dengan demikian baik! Apa yang disebutkan dalam surat, desa gunung sebelah utara, tepatnya adalah tempat yang tidak dapat dijangkau oleh sinar matahari, lapisan dalam dari jubah biksu, bukankah itu tidak dapat terjangkau oleh sinar matahari? Awan hitam tepatnya adalah disulam dengan menggunakan kain hitam; siraman cahaya enam bintang, tepatnya adalah menggunakan benang putih untuk menjahit enam tempat; tujuh keluarga saudara yang disebutkan kemudian, tepatnya adalah tujuh tael emas; jika tidak ketemu, harus tahu bahwa di desa gunung ini hanya ada biksu saja yang tinggal di sana, tidak perlu mencari orang lain; ini artinya emas berada di tubuh biksu yoga itu, tidak perlu mencari orang lain!}”
“Maha Guru tertawa terbahak-bahak dengan muka menghadap langit, sambil berkata: {Orang-orang selalu berkata kalian para wanita sangat cerdik, perkataan ini sungguh tidak salah!}”
“Saya memberi satu koin emas ke biksu itu, biksu senangnya bukan main. Saya setelahnya segera mempersembahkan kepada Shimu tujuh koin emas, dan mempersembahkan kepada Maha Guru tiga tael emas. Juga berkata kepada Maha Guru:”
“{Ibu saya masih menginginkan saya menurunkan hujan es, mohon Maha Guru memberi saya sebuah metode menurunkan hujan es yang paling rahasia!}”
“Maha Guru berkata: {Bila kamu ingin belajar metode menurunkan hujan es, lebih tepat ke tempatnya Yungton Trogyel!}”
“Dengan demikian Maha Guru pun menulis surat dan memberi barang-barang produksi lokal kepada saya untuk dibawa ke Kyorpo. Setelah memberi hormat kepada Maha Guru, mempersembahkan tiga tael emas, lalu surat dan produk lokal pun diberikan, secara detail menceritakan keinginan untuk belajar metode menurunkan hujan es. Maha Guru bertanya: {Teknik mantra apakah sudah berhasil?} Saya berkata: {Teknik mantra sudah berhasil, telah membunuh tiga puluh lima orang; saya juga menerima surat dari ibu yang meminta saya menurunkan hujan es, oleh karena itu mohon Maha Guru wariskan kepada saya!} Maha Guru berkata: {Baik! Puaskan keinginan kamu saja!} Lalu metode menurunkan hujan es pun diwariskan kepada saya. Saya kembali berkultivasi selama tujuh hari di dalam aula untuk latihan metode. Ketika tiba di hari ke tujuh, dari celah karang gunung muncullah sekelompok awan hitam, cahaya listrik berkilauan, suara geledek bergemuruh, seperti akan turun badai besar yang memenuhi langit. Saya tahu bahwa kemampuan saya sudah dapat mengendalikan turunnya hujan es.”
(Bersambung)
Seluruh konten dilindungi oleh hak cipta © 2023 Minghui.org
Kategori: Kisah Milarepa