(Minghui.org) Saya mulai berlatih Falun Dafa pada tahun 2019, dan selalu merasakan belas kasih Guru Li (pencipta Falun Dafa) sejak saya mulai berkultivasi.

Melenyapkan Karma Penyakit

Tidak lama setelah saya mulai berlatih, Guru mulai membersihkan tubuh dan melenyapkan karma saya. Saya terserang diare. Begitu keluar dari kamar kecil, saya harus kembali ke toilet. Saya terus melakukan ini, dan mulai khawatir karena anus terasa sangat sakit. Konsep manusia tentang suatu penyakit muncul di benak saya. Berpikir harus pergi ke rumah sakit untuk perawatan darurat jika terus seperti ini. Saya tidak tahu harus berbuat apa.

Saya memegang pipa air dengan kedua tangan karena kesakitan. Saya memejamkan mata dan berkata dalam hati, "Falun Dafa baik, Sejati-Baik-Sabar baik."

Saya hampir menangis karena kesakitan. Pikiran menjadi tidak stabil dan saya pikir akan pingsan.

Kata-kata Guru tiba-tiba muncul di benak:

“Tubuh kita tiba-tiba akan merasa tidak enak, karena perihal membayar karma dapat termanifestasi dalam segala aspek. Sampai suatu saat tertentu bahkan anda akan dibuat sangsi apakah semua ini benar atau palsu, agar anda merasa apakah Gong ini benar ada atau tidak, apakah dapat berkultivasi, apakah Xiulian ini benar-benar dapat dilanjutkan, apakah Buddha itu benar ada, asli atau palsu.” (Ceramah 6, Zhuan Falun)

Saya berteriak dalam hati: "Saya adalah pengikut Dafa. Saya adalah pengikut Guru. Saya harus melewati ujian ini. Mohon bantu saya Guru!"

Pada saat itu, saya merasa Guru dengan belas kasih memasukkan kalimat ini ke dalam pikiran saya: "Hadapi rasa sakit dengan tenang, Guru yang mengurus semuanya."

Saya segera ditarik kembali dari ambang kehancuran. Saya menjadi penuh kekuatan lagi. Saya berteriak pada rasa sakit didalam hati: “Ayo! Saya tidak takut padamu. Saya adalah pengikut Dafa, dan ada Guru!”

Dengan perhatian Guru yang belas kasih, saya akhirnya berhasil menerobos setelah hampir dua hari melenyapkan karma. Pengalaman ini membuat saya percaya diri untuk menganggap diri saya sebagai seorang kultivator, mampu menghadapi ujian di masa depan dan melenyapkan lebih banyak karma.

Tidak lama kemudian saya mengalami babak kedua penghapusan karma. Kali ini, saya muntah-muntah dan diare. Penyiksaan ganda dengan cepat membawa saya ke ambang gangguan mental. Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir. Namun, dari pengalaman terakhir saya menahan rasa sakit, itu membuat saya bertekad untuk melewatinya. Saya mengulangi dalam pikiran, “Falun Dafa baik, Sejati-Baik-Sabar baik. Guru, saya menyerahkan diri saya kepada Guru hari ini. Saya mengikuti instruksi dan pengaturan Guru. Semua terserah pada pengaturan Guru!"

Hanya memikirkan hal ini, tiba-tiba melihat dalam benak saya substansi hitam yang sangat halus menghilang ke udara.

Melenyapkan karma adalah sesuatu yang harus kita lalui dalam kultivasi. Ini adalah ujian seberapa teguh pengikut Dafa percaya pada Guru dan Fa. Selama kita bertekad untuk melewati ujian, Guru dengan belas kasih akan menjaga dan membantu kita.

Mencabut Keakar

Ketika pertama kali berlatih Falun Dafa, saya hanya tahu harus mengikuti prinsip Sejati-Baik-Sabar. Ajaran Guru memenuhi pikiran saya sepanjang waktu, tetapi saya takut tidak bisa melakukannya dengan baik.

Suatu hari, putra saya, yang masih duduk di bangku sekolah menengah, sedang bermain-main dengan telepon genggamnya saat dia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ketika saya mendesaknya untuk fokus pada pekerjaan rumahnya, dia tidak senang dan membalasnya.

Saya terus berbicara dengannya, dan dia terus menjawab kembali. Setelah bolak-balik ini, kami bertengkar. Dia memaki dan memukul saya. Saya berkata pada diri sendiri ini adalah ujian, dan tidak boleh terpengaruh atau marah. Saya memberi tahu dia tentang perilakunya yang tidak pantas, dan berpikir saya bertindak sesuai dengan Fa.

Guru berkata:

"Namun acap kali saat konflik terjadi, jika tidak sampai menusuk lubuk hati seseorang, akan sia-sia dan tidak berguna, tidak akan mendapat peningkatan." (Ceramah4, Zhuan Falun)

Ayah menelepon saya dari ruangan lain, meminta untuk keluar dan berhenti mendisiplinkan putra saya. Melihat saya tidak meninggalkan kamar puta saya, dia langsung masuk ke kamar dan menyeret saya keluar. Ketika putra saya melihat kakeknya datang untuk mendukungnya, dia segera berdiri di atas tempat tidur dan berteriak kepada saya, seolah-olah dia tidak takut pada apapun. Saat menghibur cucunya, ayah mengusir saya dari kamar.

Saya sangat marah, karena air mata mengalir di wajah saya. Saya menangis dan berkata kepada ayah: “Putra saya memukul ibunya. Alih-alih mendisiplinkan dia, Ayah malah mengusir saya. Apakah ayah masih melindunginya setelah dia menyakiti orang tuanya? Jika saya memukul ibu, apakah ayah akan membiarkannya pergi? Mengapa ayah memanjakan dia seperti ini?"

Saya benar-benar tidak bisa mengendalikan amarah, dan sifat keiblisan saya keluar.

Guru berkata,

“Kami katakan dalam menghadapi konflik, dengan mundur selangkah anda akan menemukan laut luas dan angkasa tak berbatas, pasti adalah suatu pemandangan lain.” (Ceramah 9, Zhuan Falun)

Saya menenangkan diri, dan berpikir bahwa saya adalah seorang kultivator. Bagaimana bisa bersikap seperti manusia biasa? Kemarahan saya segera mereda. Saya menjadi tenang dan damai seolah-olah batu besar yang menekan telah disingkirkan.

Saya mulai dengan tenang mencari ke dalam. Mengapa saya merasa dianiaya? Mengapa saya marah? Saya pikir ayah akan membantu mendidik putra saya, tetapi dia memihak putra saya. Saya tidak berlatih kesabaran karena ada balas dendam yang tersembunyi jauh di dalam diri saya. Sebagai seorang kultivator, saya harus memenuhi persyaratan Guru,"... dipukul tidak membalas, dicaci tidak membalas, harus sabar." (Ceramah 9, Zhuan Falun)

Saya tahu harus mendidik putra saya dengan tenang dan sabar, tetapi tetap merasa sedih. Saya tahu pasti ada keterikatan yang belum ditemukan. Saya bertanya pada diri sendiri apa yang menyebabkan perselisihan yang membuat saya berdebat dengan putra saya. Saya khawatir kebiasaan buruknya akan menghalangi dia dalam pelajaran dan karirnya di masa depan.

Saya melakukan pendidikan di rumah sebelum memperoleh Fa, dan putra saya sangat disiplin. Tetapi setelah saya mulai berlatih sebentar, saya bingung bagaimana cara mendidik putra saya.

Ketika tidak banyak belajar Fa, saya cenderung marah. Dan setelah marah, akan bertengkar dengan putra saya. Sulit bagi saya untuk mempertahankan Xinxing. sering bergumul dan bertanya-tanya apakah saya harus mendisiplinkan dia. Saya ingin tahu bagaimana saya dapat meningkatkan Xinxing sambil mendisiplinkan dia, dan tidak berkelahi dengannya. Namun, jika saya tidak mendisiplinkannya, saya tidak akan dianggap sebagai orang tua yang bertanggung jawab.

Melalui kejadian dengan ayah, menyadari benar mendisiplin putra saya, tetapi saya harus bersikap seperti seorang kultivator, dan menyingkirkan emosi. Saya tidak perlu mengkhawatirkan masa depannya karena takdirnya sudah diatur sejak lahir. Tanpa emosi, saya dapat dengan tenang memahaminya, berbicara dengannya dari sudut pandangnya, dan membimbingnya tentang cara menangani berbagai hal, dan menangani orang dengan cara yang hormat.

Saya berbicara dengan seorang rekan praktisi tentang situasi putra saya. Dia berkata, “Saya tahu seorang ibu tunggal, dan tinggal bersama orang tua. Hidup terkadang sulit bagimu, tapi kali ini saya tidak akan bersimpati padamu. Saya merasa kasihan pada putramu. Konflik itu disebabkan oleh sentimen - emosimu. Terlalu terikat pada putramu, dan selalu fokus pada kesalahannya. Karena celah kekosonganmu, kekuatan lama mengambil keuntungan dan membuatnya bertengkar denganmu. Dia membantu menemukan celah kekosonganmu, dan membantu berkultivasi. Masih memikirkan bersaing dengannya."

Saya terkejut dengan apa yang dikatakan praktisi ini. Saya salah. Jelaslah yang menyebabkan semua masalah itu. Mengapa harus bersaing dengan putra saya? Saat saya memahami hal ini, saya hampir menangis, dan menyadari betapa buruknya saya terhadap putra dan ayah saya. Saya berdiri, mengucapkan terima kasih, dan langsung pulang untuk meminta maaf kepada putra dan ayah saya.

Sejak mengenali masalah, saya berhasil melepaskan sentimen, dan terus mengingatkan diri sendiri tidak boleh membiarkan keterikatan mendominasi saya. Saya harus mentolerir kekurangannya dengan belas kasih dan kesabaran.

Tanpa campur tangan sentimen, saya menjadi lebih sabar, perhatian, dan memperhitungkan perasaannya. Dia juga berangsur-angsur berubah menjadi lebih baik. Dia menjadi lebih positif dan ceria, dan dia bersedia mengikuti bimbingan saya.