(Minghui.org)

Mengipasi Bantal - Menghangatkan Selimut dan Dua Puluh Empat Bakti pada tahun 1950-an.

Huangxiang, nama panggilan Wenjiang, lahir di Anlu, Jiangxia, Dinasti Han Timur. Ibu Huangxiang meninggal ketika dia berusia sembilan tahun, dan dia melayani ayahnya dengan sangat berbakti. Di musim panas, Huangxiang mengipasi alas bantal untuk ayahnya; di musim dingin, dia menggunakan tubuhnya untuk menghangatkan tempat tidur ayahnya. Ayat dalam Kitab “San Zi Jing": “Huangxiang Berusia Sembilan, Sanggup Menghangatkan Kasur, Bakti Pada Orangtua, Seharusnya Digenggam Erat”, tepatnya menggunakan perbuatan berbakti Huangxiang ketika dia masih kecil, untuk menggambarkan bahwa perilaku berbakti semacam ini adalah kewajiban setiap anak. Kitab "Dua Puluh Empat Bakti" dari Dinasti Yuan juga memasukkan kisah Huangxiang.

Huangxiang saat masih muda suka mempelajari kitab klasik, dengan bakat sastra yang cemerlang, dan di ibu kota terkenal luas dengan "Bocah Huang asal Jiangxia, Tiada Tanding di Dunia”. Selama masa pemerintahan Kaisar An (107-125), Huangxiang menjabat sebagai prefektur Wei (sekarang bagian dari Hebei). Prefektur Wei dilanda bencana banjir, dan Huangxiang berusaha sekuat tenaga untuk membantu para korban.

Karya Huangxiang antara lain: "Puisi Istana Sembilan", "Pujian kepada Putra Langit" dan seterusnya.

Lukisan Tiongkok yang dipilih dalam artikel ini (gambar di atas Huangxiang mengipasi bantal) seharusnya dilukis oleh Tuan Chen Yunzhang (nama panggilan Shaomei). Tuan Chen Shaomei (1909-1954) adalah pelukis paling menonjol yang meneruskan lukisan gaya "Dinasti Song Utara" sejak akhir Dinasti Ming, dan memiliki reputasi sebagai "penerus Tang Yin". Karakter dalam lukisan Chen Shaomei memiliki tema yang luas, meliputi sastrawan terkenal, wanita istana, bayi bermain, hingga gambar Buddha Guanyin dan Bodhidharma.

"Berbakti" adalah inti dari etika Konfusianisme, adalah kriteria moral untuk menjaga hubungan keluarga dalam masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun, juga merupakan nilai-nilai kebajikan dasar sebagai manusia dalam Kebudayaan Warisan Dewa. Guo Jujing di Dinasti Yuan menyusun cerita tentang dua puluh empat putra berbakti di zaman kuno dan menyusunnya menjadi Kitab "Dua Puluh Empat Bakti". Salinan cetakan selanjutnya semuanya disertai dengan gambar, umumnya dikenal sebagai “Gambar Dua Puluh Empat Bakti", yang menjadi bahan bacaan populer untuk mempromosikan kesalehan berbakti. Namun, setelah Partai Komunis Tiongkok berkuasa pada tahun 1949, bakti tradisional dianggap sebagai "sampah feodal" dan dihapus.

Tuan Chen Shaomei, seorang pelukis, percaya bahwa prinsip-prinsip moral tradisional bangsa Tiongkok tidak boleh sepenuhnya ditinggalkan. Berbakti seperti menjaga dan mempromosikan kemajuan dan perkembangan masyarakat dengan keluarga sebagai selnya, harus tetap dikembangkan dan disebarluaskan. Oleh karena itu, pada musim dingin tahun 1950, atas permintaan seorang teman, dia menggambar halaman album (18,5 × 24,4 cm) "Gambar Dua Puluh Empat Bakti", menjadikan "Gambar Dua Puluh Empat Bakti" sebagai buku bergambar baru dengan tingkat artistik tinggi. Sebuah buku bergambar dengan konten seperti itu yang diproduksi dalam periode sejarah seperti itu, sehingga bisa dikatakan unik dan berharga bukan main.

Pada tahun 1951, Tuan Chen Shaomei sendiri sudah mengalami kesulitan keuangan, tetapi dia menggunakan upah hasil "Gambar Dua Puluh Empat Bakti" untuk membawa ibunya kembali dari Xiangshan ke Beijing, dalam hal ini dapat terlihat dia juga mempraktikkan nilai Bakti itu sendiri.