(Minghui.org) Saya berusia 63 tahun. Sebelum mulai berlatih Falun Dafa, saya menderita hernia tulang belakang dan berbagai masalah ginekologis, termasuk dua tumor di rahim yang menyebabkan pendarahan dan tekanan darah rendah. Karena sering merasa pusing, saya hanya bisa bekerja setengah hari. Mertua saya membantu mengurus putra kami, dan suami saya selalu dalam keadaan murung. Kehidupan keluarga kami hampir tidak memiliki kebahagiaan.

Setelah mulai berlatih Falun Dafa pada 1996, semua masalah kesehatan saya lenyap, sehingga menghemat banyak biaya pengobatan. Saya merasa bahagia, penuh energi, dan sangat baik dalam menyelesaikan semua tugas pekerjaan, bahkan beberapa kali menerima penghargaan sebagai karyawan teladan. Saya juga mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah tangga. Depresi suami saya pun menghilang, dan rumah kami dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan.

Falun Dafa telah memberi saya kehidupan baru, dan saya sangat berterima kasih kepada Guru Li atas penyelamatan Guru yang penuh belas kasih. Sejak mulai berlatih Falun Dafa, meskipun keluarga saya mengalami banyak kesulitan, semuanya selalu berakhir dengan baik. Izinkan saya memberi satu contoh.

Putra saya selalu menjadi anak yang pengertian dan berperilaku baik, serta termasuk salah satu murid terbaik di sekolah. Meskipun dia tidak berlatih Falun Dafa, dia tahu bahwa Dafa itu baik dan percaya pada prinsip Zhen Shan Ren (Sejati, Baik, Sabar). Ketika saya mencuci pakaiannya, saya sering menemukan kertas kecil di sakunya yang berisi pengingat untuk menjadi orang baik dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut. Dia juga telah membaca Zhuan Falun berkali-kali.

Ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) melancarkan penindasan terhadap Falun Dafa secara nasional, saya mengalami penganiayaan. Putra saya tetap mendampingi saya di masa sulit itu. Ketika kerabat-kerabat menelepon dan memintanya membujuk saya agar berhenti berlatih Falun Dafa, dia dengan tegas berkata, “Itu keyakinan ibu. Saya tidak akan menghentikannya.”

Kadang-kadang dia bercerita kepada kami tentang sekolah, “Kelas kami mendapat penghargaan sebagai ‘Kelas Teladan,’ tapi tidak ada yang mau membantu mengambil air. Semua buru-buru pulang, tidak ada yang mau menutup jendela atau mematikan lampu.”

Saya berkata kepadanya, “Kamu bisa melakukannya. Itu hal yang mudah untukmu.”

“Ya, saya memang sudah melakukannya, tapi teman-teman sekelas bilang saya bodoh,” katanya dengan tenang.

Saya menyemangatinya, “Jangan khawatir. Jangan anggap itu hal buruk ketika kamu disebut ‘bodoh’ saat melakukan sesuatu yang baik.”

Putra saya diterima di universitas ternama, lulus, dan mulai bekerja. Dia penuh semangat dan memiliki impian besar untuk mewujudkan cita-citanya di dunia profesional. Namun, realitas yang dia hadapi di masyarakat sangat bertolak belakang dengan mimpinya. Dunia kerja dipenuhi dengan korupsi dan hubungan antarpribadi yang rumit. Para pemimpin tidak menghargai mereka yang benar-benar kompeten, sementara mereka yang punya koneksi justru dipuji-puji.

Menghadapi korupsi dan kenyataan hidup yang begitu keras, putra saya menjadi depresi dan tidak bahagia. Dia hidup sendiri dan jarang berbicara dengan kami. Ketika dia merasa tak sanggup lagi menghadapi kenyataan, dia mematikan ponselnya dan menghilang.

Dia selalu menjadi kebanggaan keluarga kami. Kepergiannya yang tiba-tiba terasa seperti langit runtuh bagi kami, dan baik saya maupun suami merasa hancur dan kehilangan arah. Di lautan manusia yang begitu luas, di mana kami bisa menemukan putra kami ini?

Saya menenangkan diri dan mengingat apa yang Guru katakan: “… satu orang berlatih Gong, seluruh keluarga memperoleh manfaatnya” (Ceramah Fa pada Konferensi Fa Australia). Kami memutuskan untuk menunggu.

Pada pagi hari ketiga setelah putra saya menghilang, saya melihat sebuah pemandangan: ombak laut surut, dan banyak orang terseret pergi tanpa jejak. Putra saya adalah salah satu dari mereka. Saat itu juga, sebuah tangan besar menariknya ke tepi pantai. Sebuah pikiran melintas di benak saya: "Guru sedang menyelamatkan putra saya."

Saya segera membangunkan suami saya, memberitahunya apa yang saya lihat, dan berkata, “Guru telah menyelamatkan putra kita. Cepat. Pergilah ke apartemennya!” Suami saya langsung memanggil taksi dan pergi. Benar saja, putra kami sudah kembali ke apartemennya. Lalu suami saya menceritakan apa yang terjadi saat dia sampai di sana.

Suami saya mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ketika dia membukanya, dia melihat botol anggur kosong di meja—padahal putra kami jarang sekali minum. Kamar tidurnya kosong, jadi suami saya memeriksa kamar mandi. Di sana, putra kami duduk di lantai hanya mengenakan pakaian dalam, kepalanya tertunduk. Suami saya memanggil-manggil namanya berulang kali, tapi dia tidak merespons dan tubuhnya sangat dingin. Dia pasti sudah duduk di sana cukup lama. Ketika suami saya melihat silet di sampingnya, dia terperanjat ketakutan dan segera mencoba menyadarkannya.

Setelah putra kami pulang ke rumah, dia berkata, “Bu, maaf telah membuat ibu sangat khawatir.” Saat saya mencoba menenangkannya, dia berkata, “Sungguh sulit menjadi orang baik di masyarakat yang buruk seperti ini. Ibu ingin saya menjadi orang baik, tapi itu tidak membawa saya ke mana-mana. Para pemimpin hanya memihak pada mereka yang menyanjung dan memberi hadiah serta uang. Saya tidak bisa dan tidak mau melakukan itu. Walaupun saya punya kemampuan profesional yang luar biasa, saya justru disingkirkan. Saya mulai meragukan apakah menjadi orang baik di masyarakat seperti ini masih layak.”

Putra saya tinggal jauh dari kami selama empat tahun saat menempuh pendidikan di universitas. Selama masa itu, dia terkejut menyaksikan kemerosotan moral yang terjadi di Tiongkok saat ini. Dia mulai meragukan makna kehidupan dan segala sesuatu di sekelilingnya. Dia menjadi depresi dan kehilangan arah. Kebahagiaan yang dulu dia rasakan ketika menjadi orang baik saat masih kecil pun menghilang, dan dia bahkan mulai memercayai ateisme.

Sayangnya, putra saya bukanlah satu-satunya yang merasa seperti ini di Tiongkok saat ini, di mana segalanya berpusat pada keserakahan dan kepentingan pribadi—mengatakan satu hal tetapi melakukan hal lain, menipu atasan sambil menipu masyarakat umum. Orang-orang melupakan bahwa langit selalu mengawasi, dan bahwa kebaikan maupun kejahatan pada akhirnya akan menerima balasan yang setimpal.

Saya berbicara banyak dengan putra saya, meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi orang yang baik dan berhati tulus:
“Norma sosial di Tiongkok sekarang benar-benar rusak dan bobrok. Kita sebagai individu tidak bisa mengubah kenyataan itu, tetapi kita bisa mengubah diri kita sendiri dan berusaha menjadi orang yang baik.”

“Mereka yang tampaknya berhasil karena korupsi sesungguhnya bukanlah orang yang benar-benar ‘sukses’. Banyak pejabat tinggi yang dulu ikut menganiaya praktisi Falun Dafa akhirnya masuk penjara karena berbagai alasan. Prinsip Zhen Shan Ren (Sejati, Baik, Sabar) adalah satu-satunya standar untuk mengukur baik dan buruk di alam semesta, jadi kita harus berusaha menjadi orang yang jujur, baik hati, sabar, dan bertanggung jawab.”

Setelah melalui percakapan yang tulus dan mendalam, serta belajar Fa dan mendengarkan kisah-kisah tentang budaya tradisional Tiongkok yang terinspirasi oleh Dewa, hati putra saya terbuka dan dia kembali terhubung dengan jati dirinya yang sejati. Pikirannya menjadi jernih dan mantap lagi untuk menjadi orang yang baik. Kini, dia penuh energi dan selalu ceria lagi.

Pada malam Tahun Baru, keluarga kami menonton pertunjukan Shen Yun di NTDTV. “Ini benar-benar luar biasa!” seru putra saya. Malam itu juga, dia menulis sebuah pernyataan yang khidmat, memohon maaf atas hal-hal yang pernah dia katakan atau lakukan yang tidak menghormati Guru, dan meminta pengampunan.

Berkat bimbingan Guru, dia menemukan pekerjaan baru yang cocok, menikah, dan kini dia dan istrinya telah dikaruniai seorang bayi laki-laki. Dia sangat bahagia dan berusaha untuk terus menjadi orang yang baik. Dia terus meningkatkan diri dalam bidang profesinya dan mendapatkan penghasilan yang layak.

Jika saya tidak berlatih Falun Dafa dan tidak memahami prinsip universal Zhen Shan Ren (Sejati, Baik, Sabar), mungkin saya akan ikut terbawa dengan pola pikir putra saya yang keliru. Saya mungkin akan mengatakan kepadanya untuk tidak terlalu baik, bahwa dia harus “cerdik”: belajar bersikap bijak, tahu cara menyiasati keadaan, mengikuti arus, dan memahami apa yang disukai atasan agar bisa mendapatkan keuntungan. Bisa jadi, saya telah menghancurkan masa depan putra saya sendiri.

Banyak anak muda di Tiongkok saat ini yang tersesat, namun merasa bahwa mereka sedang baik-baik saja. Ketika musibah datang, bukannya merenungkan tindakan mereka, mereka menganggapnya sebagai kebetulan semata. Ateisme yang ditanamkan oleh Partai Komunis Tiongkok telah merusak empat generasi rakyat Tiongkok.

Pada saat yang paling krusial dalam sejarah ini, Guru Falun Dafa yang penuh belas kasih telah datang untuk menyelamatkan umat manusia! Kami sangat bersyukur atas karunia Guru dan Falun Dafa yang tak terbatas. Keluarga kami terselamatkan dari perpecahan. Kami merasakan rasa syukur yang tak terhingga!